ERA.id - Ekonomi Singapura sudah memasuki masa resesi karena susutnya produk domestik bruto (PDB) selama dua triwulan berurut-turut. Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan Indonesia tak akan mengalami hal yang sama.
"Apakah Indonesia bakal mengalami derita sangat dalam seperti Singapura? Insya Allah tidak," ujar Faisal seperti dikutip dari blog pribadinya faisalbasri.com, Minggu (19/7/2020).
Faisal memaparkan, pada triwulan kedua periode April-Juni 2020, pertumbuhan PDB Singapura merosot 41,2 persen dibandingkan triwulan I-2020. Dia mengatakan, jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun lalu kemerosotan ekonomi Singapura hanya 12,6 persen. Walaupun lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan per kuartal, kemerosotan dua digit itu tetap saja cukup curam.
Singapore slumps into recession with GDP falling 41.2%, providing a window on how severe a contraction other Asian economies are likely to face https://t.co/ADG98Zqv6s pic.twitter.com/T60X5RgrJs
— Bloomberg (@business) July 14, 2020
Dampaknya, sektor konstruksi yang menjadi andalan Singapura praktis tak bergerak akibat terkontraksi hingga 95,6 persen.
Dia mengatakan, penyebab resesi ekonomi Singapura adalah besarnya porsi eskpor-impor di negara tersebut. Peranan ekspor barang dan jasa dalam PDB di Singapura sangat tinggi, bahkan jauh lebih besar dari PDB, yaitu 174 persen. Di sisi lain, porsi impor dalam PDB lebih rendah, yaitu 146 persen.
"Mengapa ekspor lebih besar dari PDB, padahal ekspor adalah salah satu komponen dari PDB? Karena Singapura adalah negara transhipment dan menjadi hub (penghubung) dari negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia," kata Faisal.
Indonesia, kata Faisal, masih lebih beruntung. Sebab, peranan ekspor barang dan jasa relatif rendah dan jauh lebih rendah dari Singapura, yaitu hanya 18,4 persen. Sementara peranan impor hampir sama dengan peranan ekspor, yaitu 18,9 persen.
"Kebetulan juga impor merosot lebih dalam dari impor. Jadi kemerosotan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) justru positif buat pertumbuhan ekonomi, sehingga memberikan sumbangsih dalam meredam kemerosotan pertumbuhan," kata Faisal.
Melihat data tersebut, ekonom senior Indef ini mengatakan Indonesia masih punya peluang terhindar dari jurang resesi apabila berhasil tumbuh positif pada triwulan III 2020. Dengan catatan, pandemi COVID-19 bisa segara dijinakkan.
Dia mengungkapkan, tumpuan Indonesia agar terhindar dari krisis lebih dalam adalah belanja pemerintah dan menahan laju penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan penopang utama perekonomian dengan sumbangan dalam PDB sebesar 57 persen. Di sisi lain, investasi, sebagai penyumbang kedua terbesar pada PDB, tidak bisa diandalkan saat ini, kata Faisal, sebab dunia usaha sedang fokus mempertahankan produksi yang ada.
Untuk itu, Faisal mengatakan, perlu [ada] berbagai macam bantuan kepada masyarakat yang rentan dari dampak COVID-19. Seperti Bantuan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan (PKH) yang yang dinaikkan nilai bantuannya dan diperluas jumlah penerimanya serta paket bantuan lainnya, menurut dia, sangat membantu menopang daya beli masyarakat.
"Kalau COVID-19 bisa segera dijinakkan, kita berpeluang tidak mengalami resesi karena pertumbuhan triwulan III-2020 masih ada kemungkinan positif kembali. Namun, separah-parahnya tekanan yang bakal kita hadapi, agaknya resesi tidak akan sedalam Singapura dan beberapa negara tetangga. Masih ada waktu menyiapkan beragam amunisi," pungkasnya.