Minim Akses Internet dan Gawai Belajar Online, Pemerintah Jangan Lakukan Pembiaran

| 02 Aug 2020 18:02
Minim Akses Internet dan Gawai Belajar Online, Pemerintah Jangan Lakukan Pembiaran
Ilustrasi belajar jarak jauh (Dok. Antaranews)

ERA.id - Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian mengatakan keluhan yang dominan muncul dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) yaitu minimnya akses terhadap internet, keterbatasan gawai, dan tingginya biaya kuota. Setelah lebih dari 4 bulan keberjalanan PJJ, keluhan-keluhan tersebut masih juga muncul sebagai masalah yang paling dominan. 

"Padahal, ketiga hal tersebut merupakan elemen-elemen yang sangat esensial bagi keberjalanan pembelajaran. Ini berarti, terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan, negara belum berhasil memberikan solusi bagi masalah yang telah muncul sejak awal PJJ ini dilaksanakan," kata Hetifah pada wartawan, Minggu (2/8/2020).

Ia menilai untuk menyelesaikan masalah ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masalah pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang telah menumpuk selama bertahun-tahun tidak mungkin mendadak diselesaikan dalam semalam. Begitu juga dengan keberadaan gawai belajar bagi setiap anak dan guru, mengingat selama bertahun-tahun kita saja belum mampu menyediakan perangkat TIK yang memadai bagi setiap sekolah. 

"Tapi hanya karena itu sulit bukan berarti hal tersebut tidak dapat dilakukan. Pembiaran atas kondisi ini sama halnya dengan kita membiarkan saja jurang kesenjangan antar kelompok masyarakat makin melebar," kata Hetifah.

Menurutnya, keadaan krisis mendesak untuk membuat terobosan-terobosan yang berbeda dari kondisi normal. Meski demikian, saya belum melihat adanya upaya yang signifikan dalam menghadirkan 2 hal paling krusial dalam pembelajaran jarak jauh untuk seluruh anak Indonesia yaitu internet dan gawai. 

Pada paparan Kemenkominfo pada Panitia Kerja PJJ Komisi X Juli lalu, disampaikan bahwa terdapat 12.548 desa/kelurahan yang belum terjangkau internet 4G di seluruh Indonesia, sebagian besar atau 9.113 desa/kelurahan berada di daerah 3T. Dari semua wilayah Indonesia, hanya 49,33 persen yang telah mendapatkan jaringan 4G, 44,35 persen mendapat jaringan 3G, dan 68,54 persen yang telah mendapat jaringan 2G. Artinya, terdapat 31,46 persen luas wilayah Indonesia yang belum mendapatkan akses internet sama sekali. 

Terdapat beberapa upaya yang telah dilakukan Kemenkominfo dalam proyek percepatan layanan internet. Antara lain, dengan rencana on-going penyediaan layanan 4G untuk 1.097 desa/kelurahan di daerah 3T yang ditargetkan selesai tahun ini. Selain itu, ada pula rencana penyediaan akses internet di 7.554 lokasi yang mencakup titik-titik pelayanan publik seperti kantor pemerintah, puskesmas, dan sekolah. 

"Upaya-upaya tersebut perlu kita apresiasi. Meski demikian, harus sama-sama kita akui bahwa hal tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan di masyarakat," katanya.

Bukan hanya kantor dan fasilitas pelayanan publik yang membutuhkan akses internet, ia menegaskan jutaan anak-anak di ribuan desa/kelurahan yang belum terjangkau internet tidak dapat dibiarkan menunggu terlalu lama. Perlu ada inovasi-inovasi yang mempercepat pembangunan ini hingga 2-3 kali lipat dari keadaan normal. 

"Perlu ada pembaruan skema dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi hingga ke pelosok. Pihak swasta harus digandeng dalam hal ini, baik melalui skema User Service Obligation (USO), Corporate Social Responsivility (CSR), maupun Public Private Partnership (PPP). Intinya, pemerintah dan pemangku kepentingan harus kreatif dan tidak bisa mengandalkan cara-cara lama dalam mengatasi permasalahan di era krisis ini. Apalagi, jika hambatan-hambatan yang ada lebih bersifat birokratis," katanya.

Terkait gawai, komisinya dalam rapat bersama Kemendikbud telah menyarankan pengadaan gawai sederhana bagi siswa dan guru yang membutuhkan. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran bahwa kepemilikan gawai baik telepon pintar maupun laptop bagi banyak kelompok masyarakat masih merupakan suatu kemewahan, dan pemerintah tidak dapat menutup mata akan hal tersebut.

Ia menyarankan adanya produksi gawai dalam negeri dengan menggandeng Kemenperin dan juga universitas-universitas nasional yang kami yakin memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

"Meski demikian, hingga saat ini belum ada kelanjutan yang kami lihat akan ide tersebut," ujarnya.

Ia menilai pendataan yang akurat adalah kunci dalam keberhasilan program ini. Berapa tepatnya siswa, guru, orangtua yang belum memiliki gawai belajar memadai? 

"Untuk menjawab satu pertanyaan ini saja saat ini kita belum mampu. Tanpa adanya basis data yang akurat, sulit bagi kita untuk memetakan kebutuhan dan menyediakan bantuan yang tepat guna. Memetakan data untuk Indonesia yang begini luasnya tentu tidak sederhana. Namun sekali lagi, hanya karena itu sulit bukan berarti hal tersebut tidak dapat dilakukan, dan pembiaran menjadi dibenarkan." ujarnya. 

Belakangan ini, menurutnya, banyak sekali inisiatif-inisiatif yang diadakan berbagai kelompok masyarakat dalam membantu mereka yang kurang beruntung dalam pelaksanaan PJJ. Antara lain, program-program bantuan dalam bentuk kuota atau gawai bekas pakai. Inisiatif-inisiatif ini patut diapresiasi dan dirangkul.

"Saya sangat percaya akan niat baik dan semangat gotong royong yang masih kental dalam budaya masyarakat kita. Namun demikian, masyarakat memiliki keterbatasannya. Sebagai contoh, masyarakat tidak mengetahui gambaran besar siapa yang paling membutuhkan bantuan-bantuan tersebut. Masyarakat hanya dapat memberikan bantuan kepada orang-orang di sekitar mereka yang terlihat membutuhkan," katanya.

Menurutnya, disinilah peran pemerintah diperlukan untuk memperlihatkan peta yang lebih besar dan data yang akurat untuk memfasilitasi penyaluran bantuan tersebut kepada orang-orang yang paling kesulitan.

"Saya yakin, jika ada gerakan besar yang diorganisir oleh Kemendikbud, antusiasme masyarakat untuk membantu sesamanya akan sangat tinggi, dan jumlah mereka yang terbantu dapat meningkat secara signifikan," ujarnya.

Rekomendasi