ERA.id - Kita sudah mesti tahu tentang Kiai Fuad Affandi dari pesantren Al-Ittifaq Bandung dan ajarannya tarekat “sayuriyah”. Ia mengajarkan para santrinya untuk paham agama dan wirausaha agroindustri sayur-mayur.
Dilansir dari laman resmi NU Online, pesantren Al-Ittifaq Bandung berlokasi di dataran tinggi Bandung selatan. Itu makanya, Kiai Fuad berani untuk mengajarkan tarekat "sayuriyah", karena potensi alam di daerah pesantrennya sangat berpengaruh.
Pesantren Al-Ittifaq Bandung yang berlokasi di Ciwidey ini, sebenarnya sudah berusia cukup panjang, tepatnya didirikan pada 16 Syawal 1302 H/ 1 Februari 1934 M oleh KH Mansyur, ulama setempat yang juga kakek KH Fuad Affandi.
Setelah KH Mansyur, kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan oleh H Rifai. Dua tokoh agama tersebut masih mengelola pesantren dengan cara tradisional, sehingga hanya ada 10-30 santri yang belajar di pesantren Al-Ittifaq Bandung.
Pengelolaan pesantren Al-Ittifaq Bandung mulai berubah ketika Kiai Fuad Affandi menjadi pengasuh pesantren pada tahun 1970. Jiwa mudanya pada usia 22 tahun penuh dengan semangat, ingin mengubah pesantren Al-Ittifaq Bandung untuk kondisi yang lebih baik.
Lahirlah inovasi dari pikirannya yakni menampung santri tidak mampu dan merintis kegiatan ekonomi berbasis pertanian guna membiayai operasional pesantren Al-Ittifaq Bandung.
Mang Haji, sapaan akrab Kiai Fuad, mau kalau santrinya memiliki kemampuan wirausaha yang bisa dimanfaatkan setelah pulang dari pesantren. Jadi pulang dari pesantren, tidak hanya bisa mengajar ngaji saja kepada masyarakat.
Niatnya berhasil. Jumlah santri Al-Ittifaq Bandung kian tahun bertambah. Pada 2015 lalu, santrinya berjumlah lebih dari 300 yang dibagi menjadi dua, santri yang berbayar dan santri yang gratis.
Para santri Al-Ittifaq Bandung yang tidak berbayar inilah yang ikut bekerja di sektor pertanian yang dikelola pesantren, yang selanjutnya hasilnya untuk membiayai kegiatan belajarnya.
Bisnis sayur
Pesantren Al-Ittifaq Bandung mengolah lahan seluas 14 hektare yang ditanami 25 macam sayur-mayur. Di samping memproduksi dari lahannya sendiri, Kiai Fuad juga melibatkan para petani di desanya untuk memproduksi sayur mayur yang semua produknya dipasarkan oleh pesantren.
Hasilnya apa? Sebanyak 3-4 ton secara rutin dikirimkan ke berbagai supermarket dan pasar modern di Bandung dan Jakarta setiap harinya. Para santri memilih sayuran tersebut berdasarkan kualitas.
Grade 1 yang merupakan kualitas terbaik diperuntukkan bagi supermarket dan pasar modern; grade 2 dengan kualitas sedang dijual di pasar tradisional sedangkan; grade 3 dikonsumsi sendiri. Yang tidak bisa dimakan, untuk konsumsi ternak.
Hasil itu tidak mudah dilakukan tentu saja, jika pasar tarekat "sayuriyah" sudah bermain di ranah supermarket dan pasar modern serta dipercaya menjadi pemasok secara terus-menerus.
Pesantren Al-Ittifaq Bandung dan santrinya diajari memegang prinsip, agar menjaga pasokan dengan menerapkan prinsip 3-K, yaitu kualitas, kuantitas, dan kontinyuitas. Kualitas harus dijaga standarnya secara terus menerus, kuantitasnya harus mampu memenuhi permintaan pasar, dan kapan saja ada permintaan, harus mampu dipenuhi.
Berat tentunya, sebab semua memerlukan pengelolaan yang ribet karena produk sayur mayur sangat tergantung dengan kondisi alam, belum lagi berbicara soal hama.
Itu baru bicara ranah produk kita sendiri, belum persaingan dagang. yang faktanya pasti menemui pemasok yang menawarkan nilai tambahnya kepada pembeli dengan produk terbaik dan harga bersaing.
Kiai Affandi menerapkan strategi efisiensi biaya untuk kompetisi pasar. Motonya adalah jangan sampai ada sejengkal tanah yang tidur, jangan sampai ada sedikit waktu yang nganggur, dan jangan ada sampah yang ngawur.
Meski tidak lulus SD, Kiai Affandi paham perhitungan soal usaha yang turut membesarkan pesantren Al-Ittifaq Bandung.
Kehidupan santri
Para santri binaan yang dibiayai pesantren, mulai bekerja dari pagi sampai sekitar jam 11.00 sedangkan waktu lainnya digunakan untuk belajar. Sore harinya, para petani melanjutkan pekerjaan sampai pukul 17.00. Keterlibatan masyarakat ini telah menjadikan pesantren Al Ittifaq pusat dari kegiatan ekonomi masyarakat. Pesantren bukan bagian yang asing, tetapi pusat dari aktivitas.
Oh ya, asal tahu saja, pesantren Al-Ittifaq Bandung tidak hanya mengembangkan bisnis pertanian, ia juga mengembangkan UKM sektor ternak sapi, ayam, domba, ikan dan industri garmen.
Namun, sektor ini belum berkembang seperti sektor pertanian. Para santri bekerja dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 10-20 orang untuk menangani pertanian, yang mengelola peternakan hanya 4-5 orang. Mereka rutin dirotasi agar memiliki ketrampilan mengelola berbagai produk. Untuk santri perempuan, mereka khusus menangani pengemasan, garmen dan kerajinan.
Nantinya, para santri yang terjun dalam bidang agribisnis, setelah keluar dari pondok pesantren, disarankan untuk dapat membentuk kelompok tani, selanjutnya hasil dari pertaniannya dikirim ke pondok pesantren Al Ittifaq Bandung.
Bagaimana, unik bukan?