Fakta 12 Poin Permasalahan Undang-Undang Cipta Kerja Versi Buruh

| 09 Oct 2020 13:52
Fakta 12 Poin Permasalahan Undang-Undang Cipta Kerja Versi Buruh
Ilustrasi (Gabriella Thesa/era.id)

ERA.id - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan buruh akan menempuh gugatan hukum dalam menolak UU Cipta Kerja. Said Iqbal kemudian meluruskan 12 poin-poin di RUU Cipta Kerja.

"Terkait dengan beredar di tengah masyarakat mengenai hoaks tentang 12 point permasalahan sekitar omnibus law UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang tidak sesuai dengan faktanya," uajr Said Iqbal, Jumat (9/10/2020).

Berikut adalah analisa dan jawaban serikat buruh terhadap 12 hoaks point permasalahan tersebut. 

1. Benarkah uang pesangon akan dikurangi?

Faktanya : Uang pesangon dikurangi.  Bahkan jal ini diakui sendiri oleh Pemerintah dan DPR, jika uang pesangon dari 32 kali dikurangi menjadi 25 kali (19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan). Lagipula dalam masih belum jelas, yang oleh JKP itu 6 kali atau 6 bulan, karena kami tidak menemukan hal ini dalam omnibus law. Di mana bisa saja besarnya hanya sekian ratus ribu selama 6 kali.

KSPI berpandangan, ketentuan mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar pesangon sebesar 6 bulan upah tidak masuk akal. Dari mana sumber dananya? Pengurangan terhadap nilai pesangon, jelas-jelas merugikan kaum buruh. 

Selain itu, karena dalam omnibus law buruh kontrak dan outsourcing tanpa batasan jenis industri dan bisa “seumur hidup”, maka besar kemungkinan tidak ada pengangkatan karyawan tetap. Ketika tidak pengangkatan, dengan sendiri pesangon akan hilang (tidak lagi didapatkan buruh).

2. Benarkah UMP, UMK, UMSK, dan UMSP dihapus?

Faktanya: Upah Minimum Sektoral (UMSP dan UMSK) dihapus. Sedangkan UMK ada persyaratan.

Dihapusnya UMSK dan UMSP merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab sektor otomotip seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai upah minimumnya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara.

Fakta lain adalah, UMK ditetapkan bersyarat yang diatur kemudian adalah pemerintah.  Bagi KSPI, hal ini hanya menjadi alibi bagi Pemerintah untuk menghilangkan UMK di daerah-daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di pemerintah. Padahal dalam UU 13 Tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa syarat.

Fakta yang lain, UU Cipta Kerja yang wajib ditetapkan adalah upah minimum provinsi (UMP). Ini makin menegaskan kekhawatiran kami bahwa UMK hendak dihilangkan, karena tidak lagi menjadi kewajiban untuk ditetapkan.

Adapun yang diinginkan buruh adalah UMSK tetap ada dan UMK ditetapkan sesuai UU 13 Tahun 2013 tanpa syarat, dengan mengacu kepada kebutuhan hidup layak (KHL).

3. Benarkah Upah buruh dihitung per jam?

Faktanya: Aturan dalam omnibus law (tentang perubahan terhadap Pasal 88B UU 13 Tahun 2003) memungkin adanya pembayaran upah satuan waktu, yang bisa menjadi dasar pembayaran upah per jam. Di mana upah per jam yang dihitung per jam ini pernah disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan, sebagaimana bisa kita telusuri kembali dari berbagai pemberitaan di media (ketik “pemerintah akan terapkan upah per jam” di google untuk melihat beritanya).

Adapun permintaan buruh adalah menegaskan di dalam Ommibus Law UU Cipta kerja, bahwa upah per jam tidak dibuka ruang untuk diberlakukan.

4. Benarkah hak cuti  hilang dan tidak ada kompensasi?

Faktanya: Cuti panjang bukan lagi kewajiban yang harus diberikan pengusaha, sehingga berpotensi hilang.

Dalam UU 13 tahun 2003 Pasal 79 Ayat (2) huruf d diatur secara tegas, bahwa pengusaha harus memberikan hak cuti panjang selama 2 bulan kepada buruh yang sudah bekerja  selama 6 (enam) tahun. Sedangkan dalam omnibus law, pasal yang mengatur mengenai cuti panjang diubah, sehingga cuti panjang bukan lagi kewajiban pengusaha.

Buruh juga meminta agar cuti haid dan melahirkan tidak dipotong upahnya. Sebab kalau upahnya dipotong, maka buruh akan cenderung untuk tidak menghambil cuti. Karena meskipun cuti haid dan melahirkan tetap ada di undang-undang, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan tidak akan bisa berjalan jika upahnya dipotong, karena pengusaha akan memaksa secara halus buruh perempuan tidak mengambil cuti haid dengan menakut-nakuti upahnya akan dipotong.

Adapun permintaan buruh adalah, semua hak cuti buruh dikembalikan sebagaimana yang diatur dalam UU 13 tahun 2003.

5. Benarkah Outsourcing di semua jenis industri dan dengan kontrak seumur hidup?

Faktanya: Outsourcing (pemborongan pekerjaan) bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan tanpa terkecuali. 

Dalam Pasal 65 UU No 13 Tahun 2003 outsourcing (pemborongan pekerjaan) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Tetapi di dalam omnibus law justru menghapus pasal 65 UU 13 tahun 2003 yang memberikan batasan terhadap outsourcing. Sehingga outsourcing bisa bebas di semua jenis pekerjaan.

Fakta yang lain, dalam UU 13 Tahun 2003, outsouring hanya dibatasi di 5 (lima) jenis pekerjaan, sesuai dengan Pasal 66 Ayat (1): Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Tetapi dalam omnibus law, Pasal 66 Ayat (1) yang memberikan batasan mengenai pekerjaan yang boleh menggunakan pekerja outsourcing dihapus. Artinya, semua jenis pekerjaan bisa di outsourcing. Di sini akan terjadi pebudakan modern.

Di seluruh dunia, lazim penggunaan outsourcing dibatasi jenis pekerjaannya agar tidak terjadi modern slavery. Misal di Perancis hanya boleh untuk 13 jenis pekerjaan boleh menggunakan karyawan outsourcing dan tidak boleh seumur hidup, begitu pula di banyak negara industri lainnya. Di Indonesia berdasarkan UU 13 Tahun 2003 karyawan outsourcing hanya boleh dipergunakan untuk 5 jenis pekerjaan. Negara harus hadir melindungi rakyatnya agar tidak terjadi perdagangan tenaga manusia melalui agen outsourcing. 

Ketika outsourcing dibebaskan, berarti tidak ada job security atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia. Hal ini menyebabkan hilangnya peran negara untuk melindungi buruh Indonesia, termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa kepastian masa depannya dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup.

Tahun 2020 saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sekarang berkisar 70 persen sampai 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya omnibus law, bisa saja karyawan tetap hanya tinggal 5 persen.

Adapun permintaan KSPI adalah meminta outsourcing dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu dan tidak boleh seumur hidup, atau  kembali sesuai UU  13 Tahun 2003.

6. Benarkah tidak akan ada status karyawan tetap?

Faktanya: Karyawan kontrak tidak ada lagi batasan waktu. Sebagaimana bisa kita lihat di dalam perubahan pasal 59 UU 13 tahun 2003 di omnibus law, tidak lagi diatur mengenai berapa lama kontrak (pkwt) harus diberlakukan. Sehingga bisa saja terjadi pkwt seumur hidup. 

Jika hal ini diterapkan, maka buruh Indonesia tidak memiliki kepastian terhadap masa depan. No job security. Buruh tidak lagi memiliki harapan untuk diangkat menjadi karyawan tetap, karena pengusaha cenderung akan mempergunakan karyawan kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja. Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sebesar 60 persen hingga 75 persen tanpa kepastian kerja, upah rendah, tidak ada jaminan sosial. Data ini hasil survei FSPMI bersama lembaga nirlaba jerman FES di tiga propinsi yaitu jabar,  jatim, kepri.

Adapun permintaan KSPI adalah meminta tetap harus ada batas waktu kontrak bagi pekerja kontrak atau pkwt, sehingga tidak membuka ruang bagi pengusaha untuk mengontrak buruh berulang-ulang tanpa ada pengangkatan menjadi karyawan tetap.

7. Apakah Perusahaan bisa memPHK kapanpun secara sepihak?

Faktanya: Perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak, dalam omnibus law tidak lagi dikatergorikan batal demi hukum dan upah selama proses perselisihan PHK tidak dibayar.

Hal ini, karena, omnibus law menghapus pasal 155 UU 13 Tahun 2003 yang mengatur:  (1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum; (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya; dan (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Jika tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa PHK tanpa izin dari lembaga penyelesaian hubungan industrial adalah batal demi hukum dan tidak ada kewajiban untuk membayar upah hak lain selama proses perselisihan berlansung, PHK akan semakin mudah. 

Selain itu, Omnibus law juga mempermudah PHK, sebagaimana terlihat dalam Pasal 154A, khususnya Ayat 1 huruf (b) dan (i) yang mengatur: Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: (huruf b) perusahaan melakukan efisiensi; dan (huruf i) pekerja/buruh mangkir.

Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi sudah memberikan putusan bahwa PHK karena efisiensi hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen. Dengan pasal ini, bisa saja perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi meskipun sedang untung besar.

Selain itu, dalam omnibus law PHK bisa dilakukan karena buruh mangkir (tanpa dijelaskan berapa lama mangkir, sehingga bisa hanya 1 hari) . Padahal dalam UU 13 Tahun 2003 PHK karena mangkir hanya bisa dilakukan setelah mangkir 5 hari berturut-turu dan dipanggil minimal 2 kali secara tertulis. 

Adapun permintaan buruh, semua hal yang mengatur mengeni PHK dikembalikan kepada UU No 13 Tahun 2003.

8. Benarkah Jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang?

Faktanya: Karena outsourcing dan karyawan kontrak bebas, di mana mereka akan mudah direkrut dan dipecat, maka sulit bagi mereka bekerja hingga masa pensiun. Sehingga tidak mendapatkan jaminan pensiun. Sekarang saja, masih banyak buruh outsourcing yang tidak mendapatkan jaminan pensiun atau jaminan sosial yang lain.

Adapun permintaan buruh adalah meminta agar aturan mengenai outsourcing dan kontrak dikembalikan seperti semula, sehingga lebih memberikan kepastian kerja dan dengan sendirinya buruh akan terjamin hak jaminan sosialnya.

9. Benarkah semua karyawan berstatus tenaga kerja harian?

Faktanya: Omnibus law mengatur hubungan yang fleksibel dengan mudah rekrut dan pecat. Sehingga mungkin saja akan banyak buruh yang berstatus sebagai tenaga kerja harian.

Selain itu, omnibus law waktu kerja fleksibel. Hal ini justru akan meningkatkan jumlah pekerja informal di industri padat karya. Misalnya, pabrik boneka, sepatu, baju, tidak lagi mendirikan bangunan pabrik tetapi cukup mendirikan kantor saja. 

Pengusaha bisa saja memberikan order ke masyarakat atau buruh yang bekerja dari rumah (home industry). Dengan sistem seperti ini, tidak ada lagi perlindungan untuk buruh. Upah hanya dibayarkan seenaknya dan tidak ada jamian kesehatan dan jaminan pensiun. 

Dampak lebih lanjut, hasil produksi dari para buruh ini menjadi tidak kompetitif dan terjadi eksploitasi terhadap tenaga buruh. Sekarang saja, hal seperti ini sudah terjadi di sektor garmen, sepatu, makanan minuman, dan boneka. Padahal tujuan omnibus law ini salah satunya adalah menambah jumlah pekerja formal dari perpindahan sektor informal. 

Adapun permintaan buruh adalah meminta agar ada kejelasan waktu kerja, sehingga tidak membuka ruang bagi pengusaha untuk mempekerjakan buruh dengan sistem harian.

10. Benarkah Tenaga kerja asing bebas masuk?

Faktanya: omnibus law menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin.

Di mana dalam Pasal 42 Ayat (1) UU 13 tahun 2003 disebutkan: Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Tetapi dalam omnibus law diubah dengan hanya memiliki pengesahan RPTKA. Tidak lagi memerlukan izin seperti dalam aturan sebelumnya.  Jelas hal ini akan mempermudah TKA masuk. Apalagi praktiknya, saat ini saja TKA unskill sudah banyak yang masuk.

Adapun permintaan buruh adalah, mengembalikan pasal mengenai TKA sesuai dengan UU 13 Tahun 2003

11. Benarkah buruh dilarang protes, ancamannya PHK?

Faktanya: Kekhawatiran ini adalah dampak dari meluasnya buruh outsourcing dan kontrak. Karyawan kontrak itu, kalau tidak nurut (banyak protes), pasti tidak akan diperpanjang kontraknya. Belum lagi diakomodirnya bahwa alasan efisiensi bisa dijadikan alasan untuk melakukan PHK. Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet untuk “menyingkirkan buruh yang vocal” dengan alasan pengurangan (efisiensi).

Adapun buruh meminta PHK karena alasan efisiensi dilakukan sebagaimana Putusan MK, hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen. 

12. Benarkah Libur Hari Raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti?

Faktanya: Ini bisa saja terjadi, sebagai dampak dari penerapan jam kerja yang fleksibel dan upah per jam sebagaimana lihat tanggapan kami di atas. Sehingga hari libur pun, buruh bisa saja diwajibkan tetap bekerja. 

Sementara terkait dengan pernyataan di atas, hal itu sendiri oleh pemerintah, bahwa hari libur di luar tanggal merah tidak diatur dalam undang-undang tetapi dalam kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, buruh meminta, meskipun hari libur ditetapkan oleh kebijakan pemerintah, ditegaskan bahwa buruh tidak boleh diwajibkan untuk bekerja.

Rekomendasi