ERA.id - Koalisi Aksi Menyelamatakan Indonesia (KAMI) buka suara soal penangkapan delapan orang anggota dan petinggi KAMI Medan, Sumatera Utara. Tiga diantaranya adalah Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat. Mereka diduga melakukan penghasutan hingga menimbulkan kericuhan saat demonstrasi menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
"KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat," ujar Presidium KAMI Gatot Nurmantyo melalui keterangan tertulis, Rabu (14/10/2020).
Gatot mengatakan, penangkapan anggota KAMI khususnya Syahganda Nainggolan dinilai tidak lazim dan menyalahi prosedur. Dia meyakini penangkapan itu sarat muatan politik dibandingkan perkara pidana.
"Lebih lagi jika dikaitkan dengan KUHAP Pasal 17 tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa "dapat menimbulkan" maka penangkapan para Tokoh KAMI patut diyakini mengandung tujuan politis," katanya.
KAMI juga memyoroti pernyataan pers Mabes Polri oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono tentang penangkapan tersebut. Gatot menilai, pernyataan pers tersebut mengandung nuansa pembentukan opini, melakukan generalisasi dengan penisbatan kelembagaan yang bersifat tendensius, dan bersifat prematur yaitu mengungkapkan kesimpulan dari proses pemeriksaan yang masih berlangsung.
"Semua hal itu, termasuk membuka nama dan identitas seseorang yang ditangkap, menunjukkan bahwa Polri tidak menegakkan prinsip praduga tak bersalah, yang seyogya harus diindahkan oleh Lembaga Penegak Hukum/Polri," tegas Gatot.
KAMI menegaskan bahwa ada indikasi kuat handphone beberapa anggota dan petinggi KAMI diretas oleh pihak tertentu sehingga besar kemungkinan disadap atau "digandakan". Hal demikian, kata Gatot, sering dialami oleh para aktifis yang kritis terhadap kekuasaan negara, akibatnya "bukti percakapan" yang ada sering bersifat artifisial dan absurd.
Terkait tuduhan anggota dan petinggi KAMI merupakan biang kerusuhan dalam aksi demo beberapa waktu lalu, Gatot dengan tegas menolak jika sikap oposisi KAMI dikaitkan dengan tindakan vandal dalam unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja.
"KAMI mendukung mogok nasional dan unjuk rasa kaum buruh sebagai bentuk penunaian hak konstitusional, tapi KAMI secara kelembagaan belum ikut serta, kecuali memberi kebebasan kepada para pendukungnya untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan," kata Gatot.
"Polri justru diminta untuk mengusut adanya indikasi keterlibatan pelaku profesional yang menyelusup ke dalam barisan pengunjuk rasa dan melakukan tindakan anarkis termasuk pembakaran sebagaimana diberitakan oleh media sosial," imbuhnya.
Terakhir, Gatot menuntut aparat kepolisian membebaskan para anggota dan petinggu KAMI dari tuduhan dikaitkan dengan penerapan UU ITE yang banyak mengandung "pasal-pasal karet" dan dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi yang memberi kebebasan berbicara dan berpendapat kepada rakyat warga negara.
"Kalaupun UU ITE tersebut mau diterapkan, maka Polri harus berkeadilan yaitu tidak hanya membidik KAMI saja sementara banyak pihak di media sosial yang mengumbar ujian kebencian yang berdimensi SARA tapi Polri berdiam diri," pungkasnya.