ERA.id - Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nusa Tenggara Timur Umbu Wulang mengatakan, pihaknya akan menyurati Gubernur NTT untuk menghentikan aktivitas di tanah konflik di Pubabu Besipae dan melakukan dialog dengan warga.
"Gubernur NTT harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini," katanya dalam keterangan yang diterima di Kupang dikutip dari Antara, Kamis (15/10/2020).
Pihaknya mengecam adanya tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap warga Pubabu Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dalam kasus konflik memperebutkan lahan yang terjadi antara warga dengan pemerintah provinsi NTT.
"Terhadap konflik lahan yang kembali terjadi di Pubabu Besipae pada Rabu (14/10), kami mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap warga Pubabu," katanya.
Dijelaskan, berdasarkan informasi yang diperoleh disertai sebuah rekaman video, terekam jelas beberapa korban masyarakat adat yang mendapat perlakukan kekerasan dari oknum aparat antara lain, Debora Nomleni, Demaris Tefa, Garsi Tani, Novi serta Marlin.
"Atas tindakan ini WALHI NTT mengecam tindakan kekerasan yang digunakan kepada masyarakat adat Pubabu Besipae," katanya.
Pihaknya juga menyatakan tidak percaya dengan kinerja penyelesaian masyarakat yang dilakukan aparat pemerintah yang menangani permasalahan di Pubabu karena lebih banyak praktik-praktik kekerasan yang dilakukan. Untuk itu, ia meminta aparat kepolisian untuk melakukan proses hukum kepada pihak yang melakukan kekerasan terhadap warga.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi NTT melalui Kepala Biro Humas Setda Provinsi NTT, Marius Jelamu juga membenarkan adanya konflik memperebutkan lahan seperti dalam video yang bereda tersebut namun ia membantah bahwa ada tindakan kekerasan yang dilakukan pemerintah di Pubabu Besipae.
"Pemerintah adalah bapak mamanya rakyat sehingga tidak mungkin menyengsarakan rakyat," katanya secara terpisah kepada wartawan Kupang, Kamis.
Marius mengatakan dalam seluruh kebijakan pembangunan, pemerintah berusaha agar kerja sama antara pemerintah dan masyarakat berjalan dengan baik.