ERA.id - Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Mulyanto, mensinyalir pemerintah memanfaatkan momen pandemi COVID-19 untuk memperkuat kekuasaannya. Pemerintah kerap berdalih untuk menanggulangi pandemi COVID-19 dalam menyusun berbagai peraturan dengan mereduksi peran DPR.
Anggota Legislasi DPR RI ini menilai pemerintah perlu selalu diingatkan untuk kembali menghormati nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan negara. Mulyanto khawatir jika tidak ada oposisi yang mengingatkan, maka sangat besar peluang pemerintah membajak demokrasi untuk kepentingan memperbesar kekuasaan.
"Kita merasakan pembajakan itu faktual. Secara umum saya setuju dengan pandangan Prof. Jimly tentang pembajakan demokrasi melalui Pandemi COVID-19 ini," ujar anggota Majelis Syuro PKS ini.
Sebelumnya, dalam diskusi daring yang diselenggarakan LP3ES, Guru Besar Tata Negara yang juga anggota DPD RI, Prof. Jimly Asshiddiqie menyebut pemerintah membajak demokrasi dengan memanfaatkan isu pandemi. Pemerintah dinilai menuju pemerintahan otoritarian tapi dengan cara konstitusional. Secara proses terkesan demokratis tapi secara nilai jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.
Mulyanto menyebut ada beberapa kasus yang dapat dijadikan contoh adanya pembajakan demokrasi oleh Pemerintah. Pertama dalam kasus Perppu Nomor 1/2020 tentang COVID-19 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 2/2020.
Dalam Perppu itu pemerintah secara nyata mereduksi peran DPR terutama dalam fungsi anggaran. Alokasi prioritas anggaran yang semula dilaksanakan DPR dengan UU, dipindah menjadi kewenangan eksekutif. Di dalam Perppu itu terdapat pula pasal imunitas pejabat pelaksana UU tersebut yang tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana.
Kedua dalam kasus UU Omnibus Law Cipta Kerja. Atas nama penanggulangan ekonomi dampak pandemi COVID-19, pembahasan RUU 'ngebut' tidak kenal waktu libur dan waktu reses.
Meski pembahasan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan tapi pelaksanaan rapat menjadi tidak maksimal dan penuh keterbatasan. Akibatnya aspirasi publik tidak terserap secara maksimal, pembahasan tidak berjalan optimal bahkan terkesan ugal-ugalan.
"Padahal RUU Ciptaker ini tidak dirancang untuk penanggulangan COVID-19, sehingga tidak perlu tergesa-gesa. Namun faktanya, COVID-19 menjadi alasan untuk membajak demokrasi," kata Mulyanto.
"Hal seperti ini harus disudahi. Mari kita tanggulangi musibah COVID-19 ini dengan akal sehat, scientific based, tidak grasa-grusu. Berbagai kebaikan yang sudah ada di negeri ini, termasuk anugerah demokrasi, kita jaga dan kita rawat," tandas Mulyanto.
Riset dari lembaga survey Indikator yang dirilis 25 Oktober 2020 menyimpulkan bahwa meskipun dukungan normatif terhadap demokrasi masih tinggi, saat ini lebih banyak responden yang menilai Indonesia menjadi kurang demokratis, dua kali lipat dari yang menilai menjadi lebih demokratis.
Kekecewaan publik juga terlihat dari kondisi kebebasan sipil yang dinilai negatif. Mayoritas menilai saat ini warga makin takut menyatakan pendapat 79,6 persen, makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes 73,8 persen, dan aparat dinilai makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa. Beberapa hal terkait kebebasan sipil, memberikan sinyal yang mengkhawatirkan bagi demokratisasi di Indonesia.