ERA.id - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai banyaknya kesalahan penulisan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bukan kesalahan biasa, tapi buah dari proses pembentukan regulasi yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi, bilang, kesalahan itu merupakan bentuk pelanggaran atas asas kejelasan rumusan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sekaligus menunjukan UU Cipta Kerja cacat formil.
"Hal itu semakin menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja mengandung cacat formil, dan harus dipertimbangkan serius oleh Mahkamah Konstitusi dalam menindaklanjuti permohonan uji formil nantinya," ujar Fajri melalui keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020).
Dia lantas mencontohkan sejumlah kesalahan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, seperti Pasal 6 UU Cipta Kerja mencantumkan rujukan Pasal 5 ayat (1) huruf a, padahal Pasal 5 UU Cipta Kerja tidak memiliki ayat. Selain itu, Pasal 175 ayat (5) tertulis merujuk pada ayat (3), padahal seharusnya merujuk pada ayat (4).
Berdasarkan hal tersebut, PSHK mendesak agar pemerintah tidak melanjutkan proses pembentukan peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja dan fokus terlebih dahulu untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, agar praktik bermasalah UU Cipta Kerja tidak kembali terulang.
Pemerintah dan DPR, kata Fajri juga harus melakukan evaluasi terhadap proses legislasi secara menyeluruh, agar kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam pembentukan UU Cipta Kerja tidak terulang kembali.
"Mahkamah Konstitusi melakukan koreksi total atas kesalahan prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dengan menyatakan Undang-Undang itu tidak mengikat secara hukum, dalam hal terdapat permohonan uji formil," pungkasnya.