ERA.id - Pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk menekan angka kasus COVID-19. Namun, sudah lima hari berjalan, penambahan kasus positif harian kian melonjak bahkan menembus rekor baru berturut-turut.
Data dari Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, angka kasus per 15 Januari 2021 tembus hingga 12.818 orang.
Melihat fenomena tersebut, epidemiolog menilai PPKM yang dicanangkan pemerintah untuk menekan angka kasus tidak efektif.
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan PPKM hanya akal-akalan pemerintah, karena yang seharusnya dilakukan adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total atau lockdown.
"Tidak efektif. Menurut saya PPKM itu cuma akal-akalan, yang bener itu melakukan PSBB secara ketat karena di situ ada regulasinya. Bisa betul-betul dibatasi gerak penduduk, kalau perlu penerbangan dihentikan sementara, dibatasi, kalau nggak perlu perjalanan ya nggak usah perjalanan," ujar Pandu saat dihubungi, Jumat (15/1/2021).
Pandu juga menilai ketidakefektifan PPKM karena masih banyak kegiatan yang dilonggarkan. Menurutnya, jika ingin efektif, maka pembatasan harus diperketat.
Selain itu, pelaksanaan PPKM di lapangan juga harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebab, menurutnya, meskipun pemerintah melakukan PPKM nyatanya masih banyak masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan.
"PPKM itu bukan pelarangan lho kan masih digitu-gituin, emang nggak niat kan. Kalau mau dibatasi, dibatasi sampai mendekati total baru itu ada efeknya," kata Pandu.
"Kalau PPKM cuma di atas kertas tidak real di lapangan ya kaya gitu, percuma," imbuhnya.
Pandu juga menilai, melonjaknya kasus positif COVID-19 dalam beberapa hari terakhir ini bukan hanya dampak dari liburan akhir tahun 2020 saja, tapi juga kegagalan pemerintah dalam menangani wabah COVID-19 sepanjang tahun lalu. Padahal, dia memprediksi lonjakan kasus COVID-19 masih akan terus terjadi hingga Februari 2021.
"Masih akan sampai Februari naik terus. sudah menjadi problem yang tidak bisa diatasi dengan satu cara saja kecuali kalau benar-benar total lockdown, PSBB ketat bener," tegas Pandu.
Senada, Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman juga menilai PPKM tidak efektif. Dia mengatakan, seharusnya pemerintah belajar dari kesalahan strategi penanganan pandemi COVID-19 sepanjang tahun 2020 lalu yang dinilai pengendaliannya masih tumpang tindih antara kepentingan kesehatan dengan ekonomi.
Akibatnya, kata Dicky, program-program pembatasan yang dilakukan pemerintah tidak benar-benar bertujuan untuk menekan laju penularan COVID-19.
"Kita itu targetnya pengendalian itu bukan pada pengendalian dari atau control dari COVID-19 ini. Tapi masih diwarnai tujuan di luar kesehatan, itu yang membuat kita nggak fokus," kata Dicky saat dihubungi, Jumat (15/1/2021).
Dicky lantas mencontohkan salah satu bukti ketidakkonsistenan pemerintah dalam menekan angka kasus COVID-19, misalnya seperti diberlakukan pembatasan perjalanan namun juga memberikan diskon-diskon tiket transportasi umum hingga hotel untuk berlibur.
Tak hanya itu, Dicky juga menyoroti banyaknya kerumunan yang terjadi seperti Pilkada hingga demo di tahun 2020. Padahal pemerintah sendiri sudah melarang adanya kerumunan.
"Antara tujuan, imbauan dengan realisasi dalam kebijakan tidak bersinergi. Kita tidak ingin ada klaster, tapi ada demo, perjalanan dibatasi tapi ada diskon tiket dan hotel. Ini adalah contoh lain bahwa kita itu tidak konsisten dalam pengendalian pandemi ini," tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemilihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto menjelaskan PPKM yang dimulai sejak 11 Januari hingga 25 Januari 2021 merupakan angkah antisipasi dari pemerintah untuk menekan lonjakan kasus COVID-19 pasca libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021.
Dia menjelaskan, berdasarkan pengalaman liburan panjang sebelumnya, kasus COVID-19 kerap melonjak hingga 25-30 persen.
"Kenapa baru tanggal 11-25 Januari, kerna baru saja kita libur Natal dan Tahun Baru. Berdasarkan pengalaman, data yang ada itu sehabis libur besar itu ada kenaikan 25-30 persen. Di mana kalau kita hitung dari tahun baru itu jatuhnya pertengahan bulan Januari. Tentu ini kita harus jaga bersama dengan keterbatasan fasilitas yang akan ditingkatkan di sektor kesehatan," papar Airlangga dalam diskusi yang disiarkan melalui kanal YouTube BNPB, Kamis (7/1/2021).
Airlangga menegaskan, PPKM ini bukan pelarangan kegiatan masyarakat maupun lockdown. Melainkan hanya sebatas pembatasan kegiatan saja.
Adapun PPKM ini tetap mengacu pada Undang-Undang Kekarantinaan dan eraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Artinya, kegiatan ekonomi tetap boleh dijalankan dengan menerapkan protkol kesehatan secara ketat.
"Sekali lagi saya tegaskan kesehatan dan ekonomi ini berjalan beriringan. Jadi tidak dipertentangkan. Sehingga dengan kebijakan ini, pemerintah sesuai arahan presiden betul-betul menjaga keseimbangan antara sektor kesehatan dengan sosial ekonomi masyarat. Dengan disiplin masyarakat tetap bisa beraktivitas mencari mata pencharian tetapi dengn disiplin yang ketat," pungkasnya.