Alasan Jokowi Tolak Pilkada Digelar 2022 dan 2023

| 01 Feb 2021 16:51
Alasan Jokowi Tolak Pilkada Digelar 2022 dan 2023
Presiden Jokowi (Dok. BPMI)

ERA.id - Presiden Joko Widodo mengumpulkan sejumlah mantan tim suksesnya saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Kamis (28/1) lalu.

Dalam pertemuan itu, Jokowi membicarakan sejumlah isu terkini, salah satunya tentang Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Pertemuan itu pun diunggah melalui akun Instagram dua orang politisi PPP yang juga bagian dari tim sukses Jokowi-Ma'uf Amin di Pilpres 2019 lalu, mereka adalah Ade Irfan Pulungan dan Arsul Sani.

"Terima kasih kepada Pak Presiden @jokowi. Siang ini telah menyediakan waktu untuk kami dapat menyampaikan sejumlah aspirasi dan masukan dari berbagai elemen masyarakat terkait dengan pelaksanaan vaksinasi #covid19indonesia, radikalisme dan moderasi beragama, Pilkada yang akan datan," tulis Arsul dalam caption Instagram pribadinya @arsul_sani_af yang dikutip pada Senin (2/1/2021).

Sedangkan Ade Irfan Pulungan di akun Instagramnya @adeirpul menulis  keterangan pertemuan itu sebagai silaturahmi dengan Jokowi.

Ketika dikonfirmasi pada Minggu (31/1/2021), Irfan mengaku pertemuan para eks tim sukses Jokowi-Ma'ruf itu merupakan pertemuan kedua. Ada banyak hal yang dibicarakan, dan salah satunya memang mengenai RUU Pemilu yang kini tengah dibahas di DPR RI.

Jokowi dalam pertemuan itu, memberi sinyal menolak RUU Pemilu. Apa alasan Jokowi menolak Pilkada dilaksanakan 2022 dan 2023? Terlebih ketentuan mengenai gelaran Pilkada pada 2022 dan 2023. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu seolah menginginkan Pilkada tetap digelar di tahun 2024 sesuai dengan UU UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Iya (Jokowi ingin sesuai UU Pilkada). Pilkada itu kan 2024," kata Irfan.

Lebih lanjut, kata Irfan, Jokowi juga beranggapan sebaiknya UU Pemilu tidak diubah-ubah setiap kali menjelang Pemilu berlangsung. Apalagi UU Pemilu yang berlaku saat ini juga belum lama berjalan.

Namun, Jokowi sesungguhnya tidak ada masalah jika DPR ingin mengubah lagi undang-undang terkait pemilihan umum. Hanya, ditekankan agar jangan ada perubahan terhadap aturan yang belum berjalan. Salah satu contohnya mengenai pelaksanaan Pilkada.

"Beliau (Jokowi) mengatakan, UU Pemilu itu lebih baik jangan setiap periode itu diganti-ganti lah. Ya dia kan berdiskusi, menyampaikan kenapa kok setiap pemilu itu UUnya selalu berubah. Belum kita bisa menyesuaikan, udah diganti lagi diganti lagi," kata Irfan.

"Kalau pun ada perubahan jangan terlalu mengganggu. Kan kita baru bisa menyesuaikan masa sudah dirubah lagi," imbuhnya.

Meski demikian, Irfan mengaku bahwa pembicaraan dengan Jokowi hanya sebatas berdiskusi dan menerima masukan. Bukan keputusan politik yang diambil bersama partai koalisi. Adapun selain Arsul dan Irfan, sejumlah politisi lain yang nampak ikut dalam pertemuan tersebut adalah politisi Golkar Ace Hasan, Polisi NasDem Irma Suryani, hingga politisi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko.

Sinyal Jokowi ini sebelumnya juga sudah ditegaskan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menegaskan bahwa keberadaan RUU Pemilu tidak akan merubah keputusan bahwa Pilkada tetap digelar pada tahun 2024 sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dalam pasal 201 ayat 8 menjadi 'Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024'.

"Oleh karenanya, mestinya pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetap sesuai dengan UU yang ada, yaitu dilaksanakan serentak di seluruh wilayah negara indonesia pada tahun 2024," kata Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar melalui keterangan tertulis, Jumat (29/1/2021).

Dia menegaskan, pelaksanaan Pilkada serentak 2024 merupakan amanat UU yang perlu dilaksanakan, dan dievaluasi usai pelaksanaannya. Sehingga evaluasi tersebut dapat menjadi dasar dalam menentukan apakah revisi perlu dilakukan atau tidak.

"UU tersebut mestinya dilaksanakan dulu, nah kalau sudah dilaksanakan nanti tahun 2024, dievaluasi, hasil evaluasi itu lah yang menentukan apakah UU Nomor 10 tahun 2016 itu harus kita ubah kembali atau tidak, nah tetapi mestinya kita laksanakan dulu," katanya.

Rekomendasi