KUHP Dinilai Belum Jangkau Pelaku Kejahatan Seksual, RUU PKS Penting Dibahas

| 16 Mar 2021 17:25
KUHP Dinilai Belum Jangkau Pelaku Kejahatan Seksual, RUU PKS Penting Dibahas
Willy Aditya (Dok. Instagram adityawilly)

ERA.id - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menyebut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) penting dibahas. Hal ini menyusul masuknya RUU PKS dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

Menurut Willy, kasus kekerasan seksual di Indonesia seperti fenomena gunung es. Oleh karenanya dibutuhkan suatu perundang-undangan yang mengatur mengenai hal tersebut. Sebab, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku belum menjangkau tentang kejahatan seksual.

"Kita masih butuh peraturan perundang-undangan yang menjangkau tindak kekerasan seksual. Kenapa? Karena KUHP kita sangat terbatas sekali dalam proses menjangkau itu," ujar Willy dalam acara diskusi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (16/3/2021).

Politisi NasDem ini mengatakan, ada sejumlah hal pokok yang menjadikan RUU PKS penting untuk dibahas. Pertama, rancangan perundang-undangan tersebut harus memiliki perspektif pendekatan kepada korban. 

"Tentu pendekatan itu yang harus kita letakkan. Kita harus gunakan dalam hal itu restorative justice bagaimana itu bisa berlaku surut terhadap pelanggaran-pelanggaran yang sudah ada," kata Willy.

Poin kedua, kata Willy, penting untuk dibahas mengenai perspektif antara penegak hukum. Dia menilai, aparat penegak hukum saat ini masih belum memiliki kesamaan prespektif ketika menangani kasus kekerasan seksual.

Misalnya, dalam kasus penggerebakan sepasang kekasih acap kali dilakukan organisasi masyarakat dan dibiarkan oleh aparat penegak hukum. 

"Perspektif antara penegak hukum itu penting. Kita masih blank nih perpektif gender atau perspektif diskrimintaif gender atau kesetaraan gender itu bagi aparat penegakan hukum," katanya.

Selanjutnya, adalah masalah edukasi. Willy menyorot, mayoritas masyarakat masih terjebak dalam dalam kultur yang masih feodalistik dan menganggap tabu ketika membicarakan soal kekerasan seksual. Padahal, faktanya kasus kekerasan seksual angkanya selalu naik dari tahun ke tahun.

Oleh karena itu, perlu ada edukasi, diskusi, dan penelitian. Dengan begitu, diharapkan RUU PKS tak lagi dibentur-benturkan dengan peradaban kebudayaan barat dan timur ataupun isu-isu leberalisasi.

"Kalau sejauh ini saya baca dari draf (RUU PKS) yang ada dan dari aspirasi publik, kita harus tabbayun, harus dialog, harus research. Untuk ini UU ini tidak terjdi perbenturan peradaban antara barat-timur antara tradisi yang individualis yang libertarian dengn tradisi yang ketimuran," pungkasnya.

Rekomendasi