ERA.id - Mantan anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari menilai aturan penodaan terhadap bendera negara dalam RUU KUHP overregulation (regulasi berlebihan) karena sudah ada hukum khusus (lex specialis) yang mengaturnya.
Eva K. Sundari yang juga Direktur Institut Sarinah mengatakan bahwa suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana umum dan aturan pidana khusus, maka hanya yang berlaku adalah yang khusus.
Sesuai dengan Pasal 63 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih berlaku hingga sekarang, lanjut Eva K. Sundari, yang diterapkan adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Di dalam UU No.24/2009 Pasal 24 disebutkan bahwa setiap orang dilarang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara.
Ketentuan berikutnya setiap orang dilarang memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial; mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam.
Selain itu, melarang mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara.
Larangan lainnya, memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.
"Isi Pasal 24 KUHP ini sama dengan pasal 234 dan 235 RUU KUHP. Bedanya hanya pada pemidanaan meski melakukan perbuatan yang sama," kata eks lehislator PDIP yang pernah jadi anggota Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan.
Ia mencontohkan pelanggaran UU No.24/2009 Pasal 24 Huruf b, yakni sengaja memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.
Sementara itu, di dalam RUU KUHP Pasal 235 Huruf a hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp10 juta. Padahal, kata dia, melakukan tindak pidana yang sama.
"Pemidanaan yang beda dengan UU No.24/2009 'kan bikin hakim bingung," kata Eva K. Sundari.
"Masa orang miskin yang terpaksa mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam didenda? Ketentuan ini sebaiknya ditinjau kembali," katanya.
Oleh karena itu, Eva menyarankan agar pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR RI) mencabut pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara dalam RUU KUHP karena redundant atau mubazir.
Menyinggung soal bendera Merah Putih di wuwungan (balok pada puncak rumah), dia mengatakan bahwa membungkus usuk atau keris dengan bendera merupakan praktik leluhur sebelum ada KUHP, bahkan sebelum ada republik ini.
"Jika penghinaan terhadap bendera bermotif politik, ya, ditegasi saja. Jadi, aneh kalau KUHP melebihi undang-undang lex specialis," kata Eva K. Sundari.