Perpres Nilai Ekonomi Karbon Disahkan, 'Ambisi' Zero Emisi pada 2060

| 02 Nov 2021 19:15
Perpres Nilai Ekonomi Karbon Disahkan, 'Ambisi' Zero Emisi pada 2060
Luhut Pandjaitan (Dok. Antara)

ERA.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon yang mengatur kerangka kerja implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) dan pasar karbon domestik.

Luhut dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta dikutip dari Antara, Selasa (2/11/2021), mengatakan Indonesia mempertegas ambisi untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu cara yang dilakukan Indonesia untuk mencapai komitmen tersebut adalah dengan mengembangkan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) tersebut.

Indonesia, ujar dia, masih berada di jalur yang tepat untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), yaitu 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional di 2030. Strategi jangka panjang untuk pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim (Long-Term Strategies for Low Carbon and Climate Resilience 2050/LTS-LCR 2050) juga sudah dikeluarkan.

Strategi tersebut memungkinkan pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia secara lebih tajam mulai tahun 2030 dan mencapai NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dan berdasarkan perhitungan LTS-LCCR 2050 itu, Indonesia mampu mengurangi emisi hingga 50 persen dari kondisi business-as-usual (BAU) terutama dengan dukungan internasional, kata Luhut saat mengisi High Level Session di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia.

Terkait negosiasi COP26, salah satu yang menjadi perhatian Indonesia adalah masih belum selesainya negosiasi Artikel 6 Paris Agreement yang, menurut dia, dapat memudahkan negara berkembang dan sedang tumbuh seperti Indonesia untuk memobilisasi pendanaan dalam pengendalian perubahan iklim.

Artikel 6 Paris Agreement mengatur Pendekatan Kooperatif (Cooperative Approaches) tentang penggunaan mekanisme pasar karbon dan non-pasar karbon untuk pencapaian NDC. Belum terselesaikannya negosiasi di isu tersebut memukul harga pasar karbon yang sesungguhnya bisa mendorong investasi dan inovasi global untuk pengembangan energi bersih, kata Luhut.

Karenanya, ia mengatakan Indonesia tidak tinggal diam dengan belum selesainya negosiasi Artikel 6 tersebut, dengan mengembangkan instrumen NiIai Ekonomi Karbon (carbon pricing) domestik yang bisa mendukung pencapaian NDC dan pembangunan rendah karbon. Instrumen dalam bentuk Perpres itu telah ditandatangani sebelum Presiden bertolak menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G20 dan COP26.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pentingnya pendanaan untuk mencapai komitmen iklim, jadi diperlukan mekanisme pasar yang jelas dalam pemanfaatan karbon.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015-2019) dan Tahap II (2021-2025) sebagai panduan untuk mempercepat penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola di Indonesia yang berfokus pada penciptaan ekosistem keuangan berkelanjutan secara komprehensif, dengan melibatkan seluruh pihak terkait dan mendorong pengembangan kerja sama dengan pihak lain.

Rekomendasi