ERA.id - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi Golkar Firman Soebagyo mendorong revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). Hal ini merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Firman menjelaskan, revisi UU PPP ini untuk menambahkan frasa 'omnibus'law'. Sebab, dalam amar putusan MK, UU Cipta Kerja dinilai inkonstitusional karena tidak mengenal metode omnibus law.
"Kita akan merevisi Undang-Undang 12/2011. Di UU PPP itu nanti kita akan normakan frasa 'omnibus law'," kata Firman dalam acara diskusi yang dikutip pada Selasa (30/11/2021).
Firman menilai, jika frasa omnibus law tak dimasukkan dalam UU PPP maka UU Cipta Kerja maupun produk perundang-undangan lainnya yang menggunakan metode serupa akan terus bermasalah.
"Artinya kalau sudah dimasukkan, maka ini menjadi konstitusional, persoalannya sudah selesai," kata Firman.
Lebih lanjut, Firman mengaku, fraksinya akan mendorong revisi UU PPP dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022, bersamaan dengan UU Cipta Kerja.
"Melalui rapat pimpinan Baleg nanti kita akan usulkan dalam mekanisme masuk dalam program legislasi nasional kita akan menyempurnakan UU 12/2011, sehingga nanti setelah frasa omnibus law dimasukkan atau dinormakan itu akan menjadi konstitusional," katanya.
Diberitakan sebelumnya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Dalam pembacaan amar putusan, Ketua MK Anwar Usman juga menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan para pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dengan DPR melakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam putusan tersebut.
Lebih lanjut, MK memerintahkan kepada para pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK, dan apabila dalam tenggang waktu tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
"Apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan [UU Cipta Kerja], undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," ucap Anwar Usman.