ERA.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menetapkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) sebagai usulan inisiatif DPR RI. Revisi ini untuk memasukkan metode omnibus yang merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pengambilan keputusan tersebut ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (8/2/2022).
"Kami menanyakan kepada sidang dewan yang terhormat apakah RUU usul inisiatif Badan Legislasi DPR RI tentang perubahan kedua atas UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan pembentukan perundang-undangan dapat disrtuji menjadi usul DPR RI?" tanya Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad kepada anggota dewan.
"Setuju," jawab anggota dewan.
Meski begitu, revisi UU PPP ini tidak sepenuhnya disetujui oleh seluruh fraksi di DPR RI. Fraksi PKS tegas menolak.
Anggota DPR Fraksi PKS Bukhori Yusuf menilai pembahasan revisi UU PPP tergesa-gesa. PKS meminta pendalaman lebih lanjut terhadap revisi UU PPP ini.
"Sehingga Fraksi PKS menolak untuk pengambilan keputusan pada hari ini sebelum adanya perbaikan hal-hal yang menjadi catatan penting Fraksi PKS," tegas Bukhori.
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati revisi Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) untuk ditetapkan sebagai usulan inisiatif DPR RI.
Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI terkait hasil penyusunan revisi UU PPP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/2/2022).
Terdapat 15 poin yang akan direvisi dalam UU PPP. Salah satunya yaitu memasukan pengertian omnibus law sebagai metode pembentukan perundang-undangan. Pengertiannya akan dimasukkan dalam Pasal 1 dalam RUU PPP tersebut.
Untuk diketahui, revisi UU PPP ini salah satunya untuk mengakomodasi revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inskonstitusional bersyarat.
Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada para pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK, dan apabila dalam tenggang waktu tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.