ERA.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan atau Revisi UU PPP telah ditetapkan sebagai RUU usulan iniasitif DPR RI. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (8/2) lalu.
Revisi UU PPP ini merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diputus inskontitusional bersyarat.
Dalam prosesnya, UU Cipta Kerja menuai polemik. Tak hanya sekadar dinilai merugikan buruh ataupun pembahasannya yang terburu-buru, tetapi juga UU tersebut terdapat kesalahan ketik atau typo bahkan setelah UU tersebut ditaken oleh Presiden Joko Widodo.
Menariknya, dalam draf Revisi UU PPP yang diterima ERA.id, terdapat pasal yang mengakomodasi perbaikan typo dalam UU yang sudah ditandatangani oleh presiden. Tepatnya, pemerintah boleh memperbaiki kesalahan teknis dalam RUU yang sudah disahkan menjadi UU.
Hal tersebut tercantum pada Pasal 72 draf Revisi UU PPP. Pada ayat (1) pasal tersebut dijelaskan, RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU.
Kemudian pada ayat (2) Pasal 72 draf Revisi UU PPP itulah tercantum bolehnya typo di UU yang sudah diteken Presiden untuk diperbaiki.
"Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikian oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas rancangan undang-undang tersebut dan pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas rancangan undang-undang tersebut," bunyi ayat (2) Pasal 72 draf Revisi UU PPP.
Kemudian pada ayat (3) di pasal yang sama ditambahkan bahwa perbaikan kesalahan teknis punulisan atau typo harus mendapat persetujuan dari pimpinan alat kelengkapan dewan DPR RI yang membahas RUU tersebut.
"Perbaikan dan penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan bersama," bunyi ayat (4) Pasal 72 draf Revisi UU PPP.
Selain Pasal 72, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI juga menambahkan satu ayat pada Pasal 73 yang menjelaskan pemerinah dibolehkan melakukan perbaikan atas kesalahan teknis dalam RUU yang sudah disahkan menjadi UU.
"Dalam hal rancangan undang-undang telah disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 masih ditemukan kesalahan teknis, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesekretariatan negara bersama dengan kementerian yang membahas rancangan undang-undang tersebut melakukan perbaikan dengan melibatkan pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas rancangan undang-undang tersebut," bunyi Pasal 73 ayat (1).
Adapun dalam UU PPP sebelum adanya draf revisi tersebut, untuk Pasal 72 hanya memuat dua ayat saja. Isi ayat dalam pasal tersebut juga hanya mengatur tentang peran Presiden untuk mengesahkan RUU yang telah disetujui DPR RI sebagai UU.
Sementara pada Pasal 73 ayat (1) hanya menyebutkan jangka waktu yang dibutuhkan Presiden untuk menandatangani RUU yang telah disetujui DPR RI. Adapun jangka waktu yang diberikan kepada Presiden untuk menandatangani RUU paling lama 30 hari.
Untuk diketahui, pada 2020 lalu, UU Cipta Kerja ramai mejadi sorotan publik. Salah satunya yaitu terkait dengan kesalahan pengetikan atau typo hingga jumlah halaman draf UU Cipta Kerja yang berubah-ubah.
Misalnya, pada draf UU Cipta Kerja yang diserahkan DPR RI kepada pemerintah jumlah halamannya hanya 905 halaman. Namun setelah UU Cipta Kerja ditantangani Presiden Joko Widodo, jumlah halamannya bertambah menjadi 1.187 halaman.
Selain jumlah halaman yang bertambah banyak, sejumlah pasal yang sebelumnya ada menjadi tidak ada atau sebaliknya.
Diantaranya adalah Pasal 6 BAB III tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, dan Pasal 53 ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang diubah dalam Pasal 175 poin 6 dalam UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kedua pasal tersebut diakui oleh pemerintah dan DPR RI mengalami kesalahan rujukan pasal.
Saat itu pemerintah dan DPR RI satu suara bahwa hal itu terjadi lantaran adanya kesalahan teknis. Namun, mereka memastikan kesalahan teknis itu tak mengubah substansi dari UU Cipta Kerja.
Belakangan, pada 2021 lalu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Dalam pembacaan amar putusan, Ketua MK Anwar Usman juga menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan para pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dengan DPR melakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam putusan tersebut.
Lebih lanjut, MK memerintahkan kepada para pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK, dan apabila dalam tenggang waktu tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
"Apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan [UU Cipta Kerja], undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," ucap Anwar Usman.