Gawai dan Medsos Sejumlah Presiden Mahasiswa Diretas Jelang Aksi 11 April, TII: Aparat Tak Pernah Serius Ungkap Pelaku Peretasan

| 11 Apr 2022 12:38
Gawai dan Medsos Sejumlah Presiden Mahasiswa Diretas Jelang Aksi 11 April, TII: Aparat Tak Pernah Serius Ungkap Pelaku Peretasan
Ilustrasi aksi demonstrasi BEM SI (Antara)

ERA.id - Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mendapatkan ancaman hingga serang siber sebelum melakukan aksi demonstrasi pada hari Senin (11/4/2022). Aksi demonstrasi tersebut direncanakan digelar untuk melakukan penolakan perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu.

Namun menjelang aksi, sejumlah presiden mahasiswa dan koordinator aksi mengalami peretasan gawai dan sosial media. Contohnya, seperti peretasan akun instagram milik Koordinator Pusat BEM SI, Kaharuddin.

Hemi Lavour Febrinandez, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), menjelaskan bahwa peretasan yang dialami oleh warga negara sebelum hingga sesudah demonstrasi merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan merupakan upaya untuk menggembosi demokrasi.

Selain itu, tidak pernah terkuaknya siapa pelaku peretasan terhadap aktivis, jurnalis, mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil merupakan bukti kegagalan implementasi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Masih hangat diingatan kita semua kasus-kasus peretasan yang terjadi di aksi demonstrasi menolak revisi UU KPK dan Omnibus Law Cipta Kerja, Tolak Tes TWK di KPK, hingga yang dialami oleh warga Desa Wadas yang menolak penambangan batu andesit di desanya. Namun, hingga saat ini tidak pernah terungkap siapa pelaku dari rangkaian serangan siber tersbeut.” ungkap Hemi dikutip dari keterangan resminya.  

Lebih lanjut, Hemi menjelaskan bahwa terdapat dua faktor yang membuat pelaku peretasan-peretasan itu tidak pernah tertangkap. Pertama, tidak adanya upaya maksimal dari aparat penegak hukum untuk mengusut kasus peretasan yang terjadi di sekitar aksi demonstrasi.

“Kemudian alasan keduanya adalah salah arah penerapan UU ITE. Selama ini UU ITE lebih banyak digunakan untuk memenjarakan kritik masyarakat terhadap penguasa hingga persoalan terkait dengan pencemaran nama baik. Amat jarang sekali UU ITE digunakan untuk menyelesaikan masalah seperti peretasan dan berbagai bentuk serangan siber lainnya,” jelas Hemi.

Hemi juga menegaskan bahwa Pasal 30 ayat (1) UU ITE secara eksplisit mengatur tentang larangan untuk mengakses komputer atau gawai milik orang lain dengan cara apapun dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara.

“Ketentuan hukum hingga ancaman sanksi terhadap pelaku peretasan sudah diatur di dalam UU ITE, seharusnya aparat penegak hukum dapat secara serius mengungkap siapa pelaku peretasan yang seringkali menyasar aktivis seperti yang dialami oleh kawan-kawan BEM SI,” tegas Hemi.

“Peretasan terhadap aktivis dan kelompok masyarakat sipil bukanlah suatu hal yang dapat disepelekan, peretas-peretas yang tidak pernah terungkap identitasnya itu tidak hanya meretas gawai para aktivis, tetapi secara langsung juga meretas demokrasi dan hak sipil yang dimiliki oleh masyarakat untuk bersuara,” pungkas Hemi.

Rekomendasi