ERA.id - Usai Presiden Joko Widodo melarang total (moratorium) ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO), Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus jadi bingung.
Alasannya, karena tidak adanya penjelasan yang tuntas kepada publik terkait masalah tersebut. Ia pun menyoroti Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan menteri terkait lainnya.
Katanya, mereka semestinya memberikan informasi kepada publik tentang langkah-langkah yang sedang dilakukan oleh pemerintah sebagai tindak lanjut pasca berlakunya "beleid" moratorium ekspor.
"Ini Pak Menko, Kemenperin dan Kemendag pada ke mana, mereka kan pelaksana teknis yang harus bertanggung jawab," ucapnya.
Menurut Anggota Fraksi PDI Perjuangan ini, siapa pun yang ditugaskan, harus berkomunikasi tentang masa depan industri sawit, sehingga tidak muncul kekacauan di lapangan.
Menurut dia, petani kecil ingin tahu sampai kapan mereka akan dikorbankan oleh kebijakan ini. Begitu juga pelaku industri sawit lainnya baik sedang, menengah, atau besar.
Berdasarkan laporan yang diterimanya, ketidakjelasan ini sangat merugikan karena saat ini buah sawit produksi petani mulai ditolak oleh pabrik kelapa sawit (PKS) karena terbatasnya kapasitas penampungan.
Petani juga kewalahan karena harga tandan buah segar (TBS) sawit yang merosot tajam, sehingga tidak mampu menutup biaya produksinya.
"Sementara bagi pengusaha besar yang usahanya terintegrasi dari kebun, PKS, pabrik minyak goreng hingga distribusi tidak mengalami kerugian yang berarti. Saya khawatir sebab petani sudah mulai menjerit, apabila harga terus jatuh, maka kemampuan mereka membeli pupuk juga hilang," papar legislator asal Dapil Kalimantan Utara itu.
Jika itu terjadi maka bisa dipastikan produktivitas sawit petani akan turun drastis tahun depan, sebab sawit sangat sensitif terhadap pemupukan.
Deddy menyarankan agar pemerintah segera mengatur kebijakan tata niaga yang baru. Mulai dari penetapan harga TBS, harga CPO hingga harga minyak goreng curah dan kemasan.
Dia juga mengusulkan agar pemerintah kembali menetapkan keharusan "Domestic Market Obligation" (DMO) minyak goreng curah dan kemasan, dengan mengatur rujukan harga keekonomian (DPO) dan HET.
Jadi acuannya bukan harga internasional yang memicu kelangkaan barang di pasar dan harga tinggi di tingkat konsumen.
"Persoalan menentukan harga itu adalah persoalan hulu yang harus dibereskan terlebih dahulu. Komponen pembentuk harga TBS, CPO dan minyak goreng harus dirumuskan secara tepat dan benar," tutur Deddy.
Menurut dia, pemerintah juga bisa menugaskan BUMN atau BUMD untuk menyerap sawit produksi petani dan pengusaha kecil untuk diolah menjadi minyak goreng curah dan kemasan.
Pemerintah bersama BUMN dan BUMD bisa membangun pabrik minyak goreng di sentra-sentra perkebunan sawit rakyat yang juga bertanggung jawab melakukan proses distribusi atau bersama dengan Bulog.
"Harap diingat, produksi sawit rakyat dan kebun skala kecil hingga sedang itu jumlahnya mencapai sekitar 30 persen dari total produksi nasional. Hal ini akan memberikan kepastian di tingkat petani dan usaha kecil," papar Deddy.
Selain itu, pemerintah juga harus membangun tangki penyimpanan cadangan nasional minyak goreng untuk stabilisasi harga.
Sementara bagi usaha besar, Deddy menilai Pemerintah bisa mempersilakan untuk menjual produksinya untuk produk turunan sawit, biofuel, atau ekspor dengan pengenaan pajak yang tinggi.
"Pemerintah tinggal pilih, kebijakan mana yang akan diambil. Tetapi kebijakan mana pun yang akan diambil harus diputuskan sesegera mungkin," ujarnya.