Pengusaha Kritik Wacana Cuti Melahirkan 6 Bulan: Jangan Sampai Pengusaha Siasati Pekerjanya dengan Status Kontrak

| 02 Jul 2022 19:09
Pengusaha Kritik Wacana Cuti Melahirkan 6 Bulan: Jangan Sampai Pengusaha Siasati Pekerjanya dengan Status Kontrak
Ilustrasi (Antara)

ERA.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah resmi menetapkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) sebagai RUU usulan inisiatif DPR RI dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (30/6/2022).

Dalam Pasal 4 ayat (2) RUU KIA mengatur mengenai cuti melahirkan bagi perempuan pekerja selama enam bulan. Kemudian pada Pasal 6 ayat (2), mengatur cuti bagi suami yang mendampingi istri melahirkan atau keguguran selama 40 hari.

Meski masih sebatas usul inisiatif DPR RI dan belum mulai dibahas, wacana masa cuti tersebut mendapat kritikan dari para pengusaha

Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang meminta DPR RI dan pemerintah melakukan kajian serta evaluasi sebelum mengesahkan RUU KIA sebagai undang-undang.

"Karena ini menyangkut produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing-masing pengusaha," kata Sarman melalui keterangan tertulis yang dikutip pada Sabtu (2/7/2022).

"Psikologi pengusaha harus dijaga karena mereka lah yang akan menjalani kebijakan ini, sehingga memiliki kesiapan dan kemampuan jika RUU ini disahkan," lanjutnya.

Sarman lantas menyinggung soal aturan cuti melahirkan yang sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam perundang-undangan tersebut, cuti bagi perempuan melahirkan hanya tiga bulan.

Sarman menekankan, para pengusaha sudah menjalankan UU Ketenagakerjaan itu selama 19 tahun secara konsisten.

"(UU Ketenagakerjaan) sudah berjalan hampir 19 tahun, pelaku usaha menjalankan aturan tersebut dengan konsisten," tegasnya.

Wacana cuti melahirkan enam bulan dan suami 40 hari, kata Sarman akan berdampak pada produktivitas serta kemampuan pelaku usaha termasuk pengusaha UMKM.

Oleh karena itu, dia menilai wacana perpanjangan masa cuti dalam RUU KIA perlu dikaji lebih mendalam lagi.

"Perlu suatu kajian yang mendalam apakah harus enam bulan atau cukup empat bulan misalnya, kemudian apakah cuti suami 40 hari juga keharusan," kata Sarman.

Sarman menjelaskan, produktivitas perusahaan tentunya akan terganggu apabila ada sepasang suami istri yang sama-sama bekerja.

Dia menegaskan, jangan sampai para pengusaha mensiasati aturan tersebut dengan menggunakan sistem kontrak terhadap pekerja yang sudah berumah tangga.

"Jangan sampai nanti pengusaha mensiasati pekerjanya menjadi pekerja kontrak karena harus mengeluarkan biaya operasional dalam bentuk gaji selama enam bulan terhadap pekerja yang mendapatkan cuti hamil," tegas Sarman.

Menanggapi kritikan dari kalangan pengusaha, DPR RI berjanji akan membuka pintu dialog dan mendengar masukan-masukan dari berbagai kalangan selama pembahasan RUU KIA berjalan nantinya.

"Tentang sikap atau opini dari perspektif pengusaha, nanti silakan ikut membahas dan memberi masukan kepada DPR," ujar Ketua DPR RI Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6).

Puan menegaskan, RUU KIA bertujuan agar anak sebagai generasi penerus bangsa bisa bertumbuh kembang secara baik, dan mencetak sumber daya manusia (SDM) yang unggul.

Oleh karenanya, RUU KIA mewacanakan masa cuti melahirkan bagi perempuan pekerja menjadi enam bulan. Dengan diperpanjangnya masa cuti tersebut diyakini dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak, dan berdampak positif dalam menurunkan angka stunting di Indonesia.

"Lewat cuti melahirkan yang cukup, para ibu diharapkan secara maksimal bisa memberikan ASI kepada para bayinya yang merupakan langkah awal pemberian gizi untuk pencegahan stunting," kata Puan.

RUU KIA juga mengusulkan adanya cuti ayah selama 40 hari bagi pekerja laki-laki yang istrinya baru saja melahirkan. Sebab RUU ini menekankan pentingnya penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan, termasuk atas dukungan dari keluarganya sendiri.

“Lewat RUU ini kita akan memberikan peran yang leluasa kepada para suami untuk bersama-sama bertanggung jawab atas tumbuh kembang di masa awal lewat pemberian cuti yang cukup kepada para suami ketika istrinya melahirkan,” pungkasnya.

Rekomendasi