ERA.id - Delik aduan merupakan frasa yang cukup sering disebutkan dalam perkara kasus pidana. Hal memiliki kaitan kaitan dengan hak pencabutan laporan polisi. Sebenarnya, apa itu delik aduan?
Pembahasan delik aduan tak bisa terlepas dari delik delik biasa. Untuk memahami arti dan maksud dari hal tersebut, simak penjelasan dan contoh berikut, dikutip Era dari hukumonline.com.
Memahami Apa Itu Delik Aduan
Proses hukum perkara pidana dijalankan berdasarkan jenis delik hukumnya. Secara umum, terdapat dua jenis delik, yaitu delik biasa dan delik aduan. Pertama kita akan membahas delik biasa.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), delik memiliki makna perbuatan yang bisa dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.
Delik biasa merupakan delik yang bisa langsung diproses oleh penyidik tanpa persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan. Artinya, penyidik memiliki kewajiban untuk memproses dan melanjutkan suatu perkara pidana meskipun tidak ada pengaduan. Proses hukum juga harus tetap berjalan meskipun korban telah mencabut laporannya. Beberapa contoh delik biasa adalah kasus pembunuhan, pencurian, penipuan, dan lain-lain.
Selanjutkan, apa itu delik aduan? Berdasarkan tinjauan hukum atau pemrosesan perkara, delik aduan merupakan delik yang hanya bisa diproses secara hukum jika terdapat pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban atau dirugikan berdasarkan tindak pidana. Menurut E. Utrecht dalam Hukum Pidana II, dalam delik aduan, penuntutan tergantung pada persetujuan pihak yang dirugikan atau korban.
Dalam jenis delik ini, korban berhak dan bisa mencabut laporan jika telah terjadi perdamaian antara korban (pelapor) dan pihak terlapor. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukup Pidana (KUHP) yang menyebutkan, “orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan.”
Terdapat aturan yang mengatur waktu untuk menyampaikan delik aduan. Pasal 74 KUHP menjelaskan, jika orang yang berhak mengadukan tinggal di Indonesia, pengaduan bisa dilakukan dalam kurun waktu enam bulan sejak orang tersebut mengetahui tindakan kejahatan. Sementara, jika tinggal di luar negeri, pengaduan bisa dilakukan dalam jangka waktu sembilan bulan.
Delik Aduan Relatif dan Delik Aduan Absolut
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, R. Soesilo membagi delik aduan menjadi dua jenis, yaitu delik aduan relatif dan delik aduan absolut.
Delik aduan relatif merupakan delik-delik yang umumnya bukanlah delik aduan, tetapi bisa berubah menjadi delik aduan jika dilakukan oleh sanak keluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 367 KUHP.
Pengaduan dengan delik aduan jenis ini bukan untuk menuntut suatu peristiwa, melainkan orang-orang yang bersalah dalam peristiwa tersebut. Terkait sasarannya, delik aduan relatif bisa “dibelah”. Untuk memahami konteks “dibelah”, simak ilustrasi berikut.
Terdapat dua anak bernama A dan B yang mencuri barang milik ayahnya. Si korban, ayahnya, bisa mengajukan pengaduan terhadap satu anak saja. Misalnya, si korban menuntut A, sedangkan B terbebas dari tuntutan. Inilah yang disebut dengan “dibelah” dalam delik aduan relatif.
Selanjutnya, kita akan mempelajari delik aduan absolut. Ini merupakan delik yang selalu bisa dituntut jika ada pengaduan. Dalam delik jenis ini, pengaduan mutlak dibutuhkan untuk menuntut peristiwanya.
Soesilo menjelaskan, semua pihak yang terlibat, baik melakukan, membujuk, membantu, maupun tindakan lainnya, harus dituntut. Delik absolut tidak bisa “dibelah”. Contoh berikut bisa menjadi penjelas.
Seorang istri diketahui berselingkuh serta berzina dengan pria lain. Sang suami kemudian membuat pengaduan terkait perzinaan tersebut. Dalam aduan tersebut, sang suami tidak bisa hanya menuntut pasangan selingkuh istrinya. Sang istri juga akan menghadapi tuntutan tersebut, bahkan meski sang suami tak menghendakinya karena masih cinta.
Beberapa Contoh Delik Aduan
Perbedaan mendasar dari delik biasa dan delik aduan terletak pada penyelesaiannya. Delik aduan bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau setelah tercapai kesepakatan antara korban (pelapor) dan terlapor. Untuk lebih jelasnya, simak beberapa contoh berikut.
1. Kasus Perzinaan
Tindak pidana perzinaan terancam penjara paling lama sembilan bulan. Pasal 284 ayat (2) KUHP menjelaskan, penuntutan terhadap kasus perzinaan hanya bisa dilakukan atas pengaduan suami atau istri yang bersangkutan; dan jika Pasal 27 KUH Perdata berlaku bagi mereka, dalam kurun waktu tiga bulan bisa dilakukan permintaan bercerai atau pisah ranjang karena perkara tersebut.
Dalam Pasal 284 ayat (4) KUHP dijelaskan, pengaduan bisa ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
2. Kasus Pencemaran Nama Baik
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang mengandung maksud agar hal tersebut diketahui umum atau pencemaran nama baik bisa terancam penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak Rp450 ribu.
Beberapa penjelasan dan contoh tersebut diharapkan bisa menambah wawasan Anda mengenai apa itu delik aduan dan cara kerjanya. Selain itu, bisa dipahami pula perbedaannya dengan delik biasa.