Berapa Usia Alam Semesta?

| 21 Jul 2020 08:25
Berapa Usia Alam Semesta?
Ilustrasi alam semesta (Flickr)

ERA.id - Sebuah pengamatan astronomi dilakukan melalui teleskop kosmologi di Chile terhadap gelombang cahaya paling tua di alam semesta. Hasilnya, para pengamat memperkirakan bahwa alam semesta saat ini berusia 13,8 miliar tahun.

Dari puncak gunung yang terletak di Gurun Atacama di Chile, pengamat astronomi menggunakan alat Atacama Cosmology Telescope (ACT) milik National Science Foundation untuk mengamati cahaya tertua dalam tatanan alam semesta. Setelah dipadukan dengan aspek geometri kosmik, analisa terhadap cahaya yang dinamai cosmic microwave background ini menghasilkan taksiran bahwa alam semesta berusia 13,77 miliar tahun.

Teleskop ACT yang terletak di puncak gunung di Gurun Atacama, Chile

Estimasi terbaru ini cocok dengan penghitungan melalui model alam semesta standar dan metode analisa usia cahaya yang pernah dilakukan melalui satelit Planck milik Badan Antariksa Eropa (ESA).

Kesepakatan ini lantas mengubah alur debat yang sedang berlangsung dalam komunitas astrofisika.

Pada tahun 2019, sebuah kelompok riset yang mengukur pergerakan galaksi di alam semesta, memperkirakan bahwa usia alam semesta adalah ratusan miliar tahun lebih muda daripada yang diperkirakan oleh tim riset Planck. Perbedaan itu meyakinkan komunitas astrofisika untuk memperbarui pemodelan alam semesta. Selain itu, ada kekhawatiran terbaru bahwa salah satu alat ukur astronomi yang selama ini digunakan keliru.

Sebagian dari citra cahaya tertua di alam semesta yang bernama cosmic microwave background (Atacama Cosmology Telescope)

Dalam komentarnya, Simone Aiola yang bekerja sebagai periset di Pusat Komputasi Astrofisika dari Flatiron Institute, berkata bahwa pengamatan di Chile menunjukkan keserasian antara analisa Planck dan ACT. Lebih-lebih, hal ini menunjukkan bahwa "kedua pengukuran tersebut bisa dipercaya."

Sementara peneliti lain dari Universitas Cornell, Steve Choi, mengaku bahwa penemuan terbaru dari teleskop ACT "menambah rasa yakin kita pada pengukuran cahaya paling tua dalam alam semesta."

Namun, meski telah terjadi kesepakatan antara dua institut astrofisika ternama, masih ada kekhawatiran akan adanya peristiwa fisika yang tak diketahui para peneliti.

Seperti dilakukan melalui satelit Planck, tim ACT mengamati sisa berkas cahaya yang tersisa dari fenomena Big Bang. Namun, alih-alih muncul sejak cikal-bakal alam semesta, cahaya yang dikenal dengan nama cosmic microwave background ini baru muncul 380.000 tahun setelah lahirnya alam semesta, yaitu ketika elemen proton dan elektron bergabung untuk menciptakan atom yang pertama dalam alam semesta. Sebelum periode waktu tersebut, tatanan kosmos tidak tersentuh cahaya dan menjadi misteri. Padahal, bagian ini penting untuk melengkapi gambaran utuh mengenai usia alam semesta.

Satu hal yang dilakukan untuk menemukan ‘puzzle yang hilang’ itu adalah menghitung jarak yang ditempuh cahaya cosmic microwave background menuju ke Bumi. Hal ini sangat sulit dilakukan. Namun, para peneliti menemukan satu cara untuk mengukurnya.

Yang dilakukan oleh para peneliti adalah memilih dua obyek di alam semesta, yang jaraknya mereka pahami secara pasti. Lalu, mereka akan mengukur jarak kedua benda itu terhadap Bumi, sehingga terbentuk suatu bidang segitiga kosmik. Rumus pythagoras yang dipelajari di bangku SMP akan membantu para peneliti menjawab pertanyaan sulit itu.

Keberhasilan tim ACT dalam melakukan pengamatan astronomi memberi gambaran yang lebih jelas tentang cahaya cosmic microwave background dan juga pemahaman yang lebih pasti mengenai umur alam semesta.

Setelah ini, tim penelitian ACT akan mempelajari fenomena fisika yang selama ini dianggap berbeda dari model kosmologi yang sudah ada. Konsep fisika yang terakhir ini yang dianggap akan menyelesaikan perbantahan di kalangan komunitas astrofisika.

"Kami akan terus mengamati separuh langit dari Chile, menggunakan teleskop kami. Dengan makin presisinya alat kami, kami makin terdorong untuk mengatasi perdebatan yang saat ini sedang berlangsung," kata Mark Devlin, wakil direktur tim ACT dan profesor astronomi dan astrofisika di Universitas Pennsylvania.

Rekomendasi