Agama sangat penting dalam menentukan pola perilaku dan bentuk struktur sosial. Dalam hal itu, ulama memiliki ruang tersendiri untuk mendorong bahkan menahan gejolak sosial yang terjadi.
Mengenai peran ulama dalam proses perkembangan sosial masyarakat Indonesia, ada beberapa tokoh penting. Salah satunya KH. Hasyim Asy’ari, ulama pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan Nahdlatul Ulama (NU), yang dalam perkembangannya tumbuh menjadi organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia.
Awal kelahiran NU sendiri tidak dapat dipisahkan dari kehadiran dua faktor utama, yaitu realitas keislaman dan realitas ke-Indonesiaan. Realitas keislaman NU lahir sebagai suatu wadah bergabungnya para ulama Indonesia dan wadah dalam perjuangan tradisi pemahaman dan pengalaman, serta ajaran Islam yang sesuai dengan nilai dan kultur Indonesia.
Sepanjang sejarahnya, NU banyak mengalami aktivitas organisasi yang fenomenal. Mulai dari keikutsertaannya dalam demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin dan menjadi partai politik. Perjalanan di dunia politik dimulai saat NU bergabung dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang merupakan cikal bakal berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Mulanya, Masyumi merupakan sebuah organisasi non politik. Namun, setelah Indonesia merdeka terjadi perubahan visi dalam tubuh organisasi. Masyumi kemudian menjadi partai politik, berkerjasama dengan NU dan organisasi islam lainnya sebagai wujud dukungan terhadap perjuangan Masyumi.
Namun, seiring berjalannya waktu, NU mulai menarik diri dari Masyumi. Anggota Masyumi yang heterogen, banyaknya kepentingan politik di dalam Masyumi serta kurang harmonisnya hubungan antara pemimpin NU dan pemimpin Masyumi menjadi alasan utama keluarnya NU. Langkah ini diputusukan dalam kongres ke-19, April 1952 di Palembang. Dengan demikian, NU secara praktis menarik para tokoh besarnya yang aktif di Masyumi untuk membesarkan nama partai NU.
Di sisi lain, NU merasa organisasinya telah mengalami kemajuan pesat. Banyak ulama muda lulusan pesantren yang memperoleh kemajuan kemudian mengembangkan pikiran dalam bidang politik. Ruang gerak tersebut tentu akan semakin pesat jika NU menjadi partai politik.
Pemilihan umum pada 1955 adalah pemilihan umum pertama yang diadakan di seluruh Indonesia secara serentak. Pemilu 1955 seringkali dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis, karena melibatkan seluruh elemen masyarakat dengan ideologi yang berbeda-beda.
Menghadapi pemilu pertama, NU membentuk panitia yang khusus menangani pemilu yakni Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama (Lapunu) pada Mei 1953. Panitia ini dipimpin oleh Saleh Surjaningprodjo. Lapunu bertanggungjawab secara total dengan kebutuhan NU dalam menghadapi pemilu, seperti mengatur logistik, menata formasi caleg, menyiapkan metode kampanye, serta kebutuhan lainnya.
Kerja keras NU tidak sia-sia, hasil pemilu 1955 menunjukkan NU berhasil di posisi atas setelah masyumi dan PNI. Jumlah kursi di parlemen semasa bergabung dengan Masyumi hanyalah sebanyak 8 kursi, melonjak berkali-kali lipat menjadi 45 kursi. Di dalam Kabinet, dari 25 Menteri yang diperebutkan, NU berhasil mendudukkan 5 kadernya sebagai Menteri. Jabatan Menteri yang diduduki oleh NU adalah Wakil Perdana Menteri (KH. Idham Chalid), Menteri Dalam Negeri (Mr. Sunaryo), Menteri Perekonomian (Mr. Burhannudin Harahap), Menteri Sosial (Mr. KH. Fattah Yasin) dan Menteri Agama (KH. M. Ilyas). Keberhasilan NU pada pemilu 1955 ini tentu merubah peta politik Indonesia dan mengejutkan banyak pihak, terkhusus dari kalangan Masyumi yang pada waktu itu memandang sebelah mata NU.