Sejarah Cuci Tangan di Indonesia yang Telah Eksis di Rumah Moyang Kita Zaman Dahulu

| 15 Oct 2020 21:37
Sejarah Cuci Tangan di Indonesia yang Telah Eksis di Rumah Moyang Kita Zaman Dahulu
Ilustrasi: Cuci tangan sudah jadi bagian hidup sejak jaman nenek moyang. (Foto: MRJN Photograhpy/Unsplash)

ERA.id - Jauh sebelum hand sanitizer mendadak ngetren, nenek moyang kita di Nusantara sudah punya kearifan lokal tersendiri sebagai cara mereka menjaga kebersihan. Di masyarakat Jawa dikenal adanya padasan yang airnya selalu diisi penuh saat subuh. Bahkan di Kerajaan Sriwijaya, di era 650-1377 M, para biksu tercatat sudah memiliki aturan yang paten soal urusan mencuci tangan.

Pandemi virus korona menyibak banyak hal, tak terkecuali soal betapa krusialnya urusan membersihkan tangan. Dari yang semula orang terbiasa mengucek-ucek mata setiap waktu, tanpa peduli tangannya bersih atau penuh kuman, sekarang orang makin sadar bahwa tangan bisa jadi sarang kuman hingga virus COVID-19. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri menyarankan agar setiap orang rutin mencuci tangan selama 20 detik, menggunakan air mengalir serta sabun.

Namun, bila ditilik secara sejarah dan antropologis, seharusnya warga Nusantara tidak canggung-canggung amat dengan budaya mencuci tangan. Hal ini karena mengusap-usap tangan, kaki, bahkan wajah, dengan air bersih sudah jadi bagian hidup sehari-hari nenek moyang di Nusantara.

Air Padasan di Halaman Depan

Satu 'artefak' budaya mencuci tangan yang khas Nusantara adalah padasan, yaitu gentong gerabah yang biasa ditemui dalam kultur masyarakat Jawa. Padasan biasa diletakkan tuan rumah di area depan halaman, di luar pagar. Ia bisa berupa gentong dengan pancuran kecil, atau yang menggunakan gayung dari batok kelapa.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan padasan sebagai "tempayan yang diberi lubang pancuran (tempat air wudhu)."

Gambar padasan
Padasan biasanya berupa gentong dari bahan gerabah dan berisi air untuk mencuci tangan dan kaki. (Foto: Istimewa)

Memang, gentong padasan punya elemen berkultur Islam (wudhu), karena dulunya alat ini menjadi alat syiar oleh seorang penyebar agama Islam, Kanjeng Sunan Kudus. Kala itu, berdasarkan catatan Sri Mulyati (2006) dalam buku Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Sunan Kudus membuat padasan dengan delapan pancuran.

Ribet? Ini memang ada maknanya. Saat itu masyarakat setempat sudah mengenal agama Hindu dan Buddha, mereka pun mengenal apa yang disebut sebagai Asta Sanghika Marga, atau Jalan Berlipat Delapan. Padasan dengan delapan pancuran ini dimaksudkan Sunan Kudus sebagai delapan jalan kebajikan, jalan untuk membersihkan diri.

Hingga seterusnya, padasan memang menampung air untuk membersihkan diri. Ia terletak di luar pagar rumah agar siapapun tak sungkan membuka pancuran air dan menggunakannya untuk membersihkan kaki. Bahkan, ketika air di sekitar penduduk Jawa masih jernih, air padasan pun bisa pula diminum. Pemilik rumah pun tak bosan mengisi padasan itu agar airnya senantiasa penuh.

Di sisi lain, terdapat pula kebiasaan untuk membersihkan tangan dan kaki menggunakan air padasan sebelum seseorang bertamu ke rumah seseorang. Secara filosofis, ini mengisyaratkan bahwa seseorang bertamu dalam kondisi yang jernih.

Cuci Tangan Para Biksu

Tak hanya di Jawa saja, di Kerajaan Sriwijaya, yang eksis di era 650-1377 M, sudah ada catatan mengenai kebiasaan para biksu setempat dalam membersihkan diri. Hal ini dicatat oleh Yi Jing [It-sing] dalam Kiriman Catatan Praktik Buddadharma dari Lautan Slatan.

Seperti dilansir Mongabay, catatan Yi Jing mencakup cara hidup sehat para biksu, misalnya soal aturan pembersihan setelah bersantap, "Dua Kendi untuk Menyimpan Air", bahkan hingga "Tentang Buang Air Besar".

Gambar Sriwijaya
Para biksu di era Kerajaan Sriwijaya (650-1377 M) memiliki aturan yang lengkap mengenai urusan membersihkan diri. (Foto: Istimewa)

Pembersihan setelah buang air besar ternyata tidak hanya menggunakan air. Para biksu juga menggunakan bubuk batu bata. Sementara itu, tangan kiri yang dipakai membersihkan pun harus disterilkan berulangkali.

“Saya percaya hidup sehat itu bukan hanya berlaku bagi kalangan biksu, juga di masyarakat umum. Para biksu ini mengajarkan hal-hal baik bagi masyarakat,” sebut Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang sekaligus pakar kebudayaan melayu Sriwijaya, kepada Mongabay Indonesia, (12/5/2020).

Selain teladan dari para pemuka agama, lingkungan Indonesia di masa lalu juga sangat mendukung perilaku hidup sehat. Hal ini seperti dikatakan peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), Yusuf Bahtimi. Hal ini seakan mengingatkan bahwa alam memberi manusia ruang dan kemudahan untuk hidup dengan sehat dan layak.

“Hutan yang masih lestari membuat air bersih melimpah, sehingga mencuci tangan, mandi, mudah dilakukan," pungkas Bahtimi.

Rekomendasi