Jakarta, era.id - Siapa yang tak kenal lipstik? Si pewarna bibir yang membuat kesan menggairahkan para pemakainya. Dengan ukuran yang mini, siapa sangka harga lipstik termahal kini mencapai miliaran rupiah.
Namun, hal tersebut tak memberikan dampak menyedihkan bagi para industri pembuat lipstik. Sebab, kian hari konsumen lipstik kian banyak. Setiap kalangan dapat merasakan sensasi menggunakan lipstik secara bebas kapan pun dan di manapun.
Lipstik pertama kali hadir pada peradaban Mesopotamia dan Mesir Kuno. Ratu Puabi atau Shub-ad dari Kerajaan Ur dikenal dengan pewarna bibirnya yang terbuat dari timah putih dan batu merah. Semenjak itu, rakyat Sumeria mulai mengadopsi perilaku sang Ratu. Budaya tersebut menyebar hingga ke peradaban Mesir Kuno, di mana pewarna bibir digunakan sebagai penanda status sosial seseorang.
Penggunaan pewarna bibir pada peradaban Mesir Kuno rupanya sangat signifikan, sehingga memunculkan kreativitas tersendiri terhadap warna lipstik. Mulai dari oranye, magenta, hingga biru kehitaman. Meski bermunculan banyak warna, warna yang menjadi favorit kala itu adalah ungu gelap yang berasal dari percampuran bromine mannite dan iodin. Sayangnya, campuran kedua zat tersebut mengandung racun hingga muncul istilah “ciuman kematian”.
Di peradaban lain, kenikmatan pewarna bibir tak dapat dirasakan masyarakat Yunani kuno. Soalnya pewarna bibir dianggap tak alami. Pewarna bibir kala itu hanya digunakan oleh wanita tunasusila yang mencampurkan pewarna merah seperti anggur dengan bahan-bahan cukup aneh seperti keringat domba, air liur, dan ekskresi buaya.
Pada akhirnya, pewarna bibir pun dijadikan sebagai suatu pembeda antara wanita tunasusila dari wanita lainnya. Hingga 700-300 SM, Yunani mulai menerima penggunaan pewarna bibir tanpa ada perbedaan.
Masuk abad pertengahan, pewarna bibir yang akhirnya dikenal dengan sebutan lipstik pun rupanya mengalami kisah yang tak jauh berbeda dengan peradaban Yunani Kuno. Lipstik dikecam secara meluas di Eropa, terutama Inggris. Kala itu, jika kedapatan seorang wanita menggunakan lipstik maka akan dianggap sebagai penjelmaan setan. Terlepas dari hal tersebut, ada beberapa warna lipstik yang diperbolehkan yakni warna bunga lili dan mawar yang dianggap sebagai warna suci.
Pengecualian akan ditemukan di Italia. Di sini, lipstik sebagai penanda status sosial seseorang. Bagi mereka kalangan atas akan menggunakan warna merah muda terang, sebaliknya mereka kalangan bawah akan menggunakan warna merah tanah.
Pada 1500-an ketika Elizabeth I naik tahta menjadi Ratu Kerajaan Inggris, rupanya sang Ratu tak mengindahkan pelarangan penggunaan lipstik yang seringkali diperingatkan gereja. Bahkan sang Ratu pun memiliki warna merah sendiri yang berasal dari serangga cochineal, gom arab, putih telur, susu buah ara, dan timah putih. Salah satu yang menarik dari kisah cinta Elizabeth I dan pewarna bibir yakni hingga ajal menjemput, sang ratu tak juga melepaskan penggunaan lipstik pada bibirnya sampai mencapai tebal setengah inci.
Masih berada di era yang sama, muncul suatu kepercayaan magis yang menganggap penggunaan lipstik akan menyelamatkan nyawa seseorang. Hal itu menimbulkan pelarangan terhadap penggunaan lipstik oleh gereja semakin kuat. Ditambah pula saat itu Ratu Elizabeth yang dikenal dengan kecintaannya terhadap lipstik telah tiada, sehingga kekuatan gereja pun menguat.
Dalam buku The Artifice of Beauty : A History and Pratical Guide to Perfumes and Cosmetics karya Sally Pointer dipaparkan pada masa itu, gambar-gambar yang menunjukan iblis memakaikan lipstik pada wanita sering muncul sehingga wanita yang menggunakan lipstik dipaksa mengakui dosa tersebut. Puncaknya pada 1770, lahir sebuah aturan yang melarang penggunaan kosmetik termasuk lipstik untuk wanita. Disebutkan bahwa jika terbukti melanggar maka akan diadili sebagai penyihir.
Bak sinetron masa kini, perjalanan hidup lipstik tak selamanya menyedihkan. Lipstik mulai diterima pada 1900-an. Diketahui bahwa aktor yang menjadi pemeran utama dalam hal ini yaitu Elizabeth Cady Stanton dan Charlotte Perkins Gilman yang merupakan pemimpin gerakan feminisme. Mereka mengajak para wanita untuk menggunakan lipstik sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritas pria.
Rupanya hal tersebut mendorong perkembangan lipstik. Terlihat pada 1920-an, rumah parfum asal Perancis, Guerlain meluncurkan lipstik berbentuk stik untuk kalangan atas. Perkembangan selanjutnya, lipstik menjadi sebuah industri besar di beberapa negara. Hingga kini, lipstik seakan menjadi sebuah kebutuhan primer bagi mereka konsumen setianya yakni wanita.