Badai Moneter yang Runtuhkan Orde Baru
Badai Moneter yang Runtuhkan Orde Baru

Badai Moneter yang Runtuhkan Orde Baru

By Wahyu Lilik | 08 May 2018 13:34
Jakarta, era.id- Periode 1997-1998 merupakan masa kelam bagi Indonesia. Anjloknya perekonomian nasional disusul dengan berakhirnya rezim Orde Baru. Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 karena besarnya gelombang demonstrasi di banyak daerah.

Krisis ekonomi 20 tahun lalu bermula dari jatuhnya nilai tukar rupiah. Dampaknya menyebar ke seluruh sendi perekonomian negara, hingga memunculkan gejolak sosial-politik dan tuntutan reformasi.

Kala itu, badai krismon tak hanya menerpa Indonesia, tapi juga negara Asia lainnya. Berawal dari kebijakan bath Thailand yang gagal, menyusul ringgit Malaysia, peso Filipina, hingga won Korea Selatan.

Krisis moneter menumbangkan satu demi satu kekuatan ekonomi Asia. Para spekulan di pasar keuangan menjadi salah satu penyebab utama bergugurannya nilai tukar mata uang.

Dari dalam negeri, kebijakan pemerintah Orde Baru dalam Paket Oktober (Pakto) 1988 juga menjadi pemicu runtuhnya kekuatan ekonomi nasional.

Langkah pemerintah melepas nilai tukar sesuai harga pasar membuat rupiah semakin lemah. Nilai tukar rupiah yang tadinya tenang di kisaran Rp2.300 per dolar AS melonjak ke angka Rp4.650 per dolar AS pada akhir 1997.

Baca Juga : Peringatan 20 Tahun Reformasi: Deklarasi Ciganjur

Kondisi ekonomi yang kacau membuat Indonesia kehilangan kepercayaan dan investor pergi meninggalkan Indonesia. Imbasnya, kredit macet di mana-mana membuat belasan bank merugi.

Pada 1 November 1997 pemerintah melikuidasi 16 bank. Pemerintah yang mulai kehabisan akal mengatasi krisis memutuskan meminta bantuan International Monetary Fund (IMF).

Pada 15 Januari 1998, dimulailah keterlibatan IMF dalam penyelamatan perbankan nasional. IMF datang membawa pinjaman 40 miliar dolar  AS.

Langkah pemerintah melikuidasi 16 bank justru mendapat sentimen negatif dari masyakat. Kepanikan terjadi lantaran beredar rumor akan adanya penutupan bank yang lain.

Alhasil, terjadilah rush perbankan. Masyarakat ramai-ramai menarik simpanannya di bank, sehingga bank kehabisan likuiditas.

Kepercayaan masyarakat pada bank berada di titik nadir. Nilai tukar dolar yang tinggi ikut mendongkrak harga barang-barang di dalam negeri. Pergerakan nilai tukar satu dolar AS pada akhir 1997 sebesar Rp4.000.

Lalu meningkat drastis pada awal 1998 menjadi Rp6.000, April 1998 naik lagi ke Rp8.000, dan pada Juni 1998 melonjak menjadi Rp16.650.

Baca Juga : Peringatan 20 Tahun Reformasi : Cara Soeharto Berantas Korupsi

Kekacauan bertambah karena terjadi PHK di mana-mana hingga memicu bengkaknya angka pengangguran dan kemiskinan. Pada media Agustus 1997-Agustus 1998, jumlah pengangguran akibat kehilangan pekerjaan (pemutusan hubungan kerja, usaha terhenti atau masalah lain yang berhubungan dengan krisis) didata Depnaker 1998 tercatat sebanyak 7,3 juta orang.

Imbasnya terjadi tragedi penjarahan dengan bumbu sentimen terhadap etnisk tertentu. Polda Metro Jaya mencatat 451 orang tewas akibat kerusuhan tersebut.

Krisis di berbagai sektor yang melanda Indonesia membangkitkan kemarahan publik. Penembakan di Universitas Trisakti  yang terjadi 12 mei 1998 semakin memicu terjadinya kerusuhan. 

Empat mahasiswa Trisakti tewas, yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. 

Baca Juga : 20 Tahun Reformasi : Mengingat Tuntutan Demonstran

Pada 14 Mei 1998, di Kairo, Mesir, Presiden Soeharto mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan. Lalu pada 15 Mei 1998, Soeharto tiba di Jakarta, situasi Ibu Kota cukup hening dan mencekam pascakerusuhan.

Sejak 18 mei 1998, masa aksi mulai menduduki Gedung MPR-DPR dan jumlahnya diperkirakan mencapai 7.000 orang. 

Gejolak ini kemudian memaksa Soeharto meletakkan jabatannya, setelah 32 tahun berkuasa. Tepat pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan mundur sebagai Presiden RI yang disambut dengan sorak sorai demonstran.

Rekomendasi
Tutup