ERA.id - Masyarakat sah-sah saja meragukan tingkat minat baca masyarakat Indonesia yang digembor-gemborkan oleh media besar di Tanah Air. Bahwa warga tidak suka buku dan tidak punya daya membaca.
Beberapa media kerap menunjukkan tingkat minat baca masyarakat Indonesia begitu rendah. Untuk menguatkan argumen itu, mereka menyertai data UNESCO bahwa 0,001—artinya 1 dari 1.000—orang Indonesia yang punya minat baca.
Apakah seperti demikian? Lukman Solihin, (peneliti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Teknik, dan Teknologi), meragukan data yang kerap berkeliaran di linimasa surat kabar Indonesia itu. Ia sudah cek sedalam-dalamnya, mencari data ke situs web UNESCO, tetapi tidak ditemukan. Kemudian, ia meminta data ke kantor UNESCO di Jakarta, tetapi tidak dibalas.
Memang tahun 2016, Central Connecticut State University mendudukkan tingkat literasi masyarakat Indonesia di posisi 60 dari 61 negara, hanya setingkat di atas Botswana. Akan tetapi, ranking tersebut tidak perkara minat baca, tetapi keseluruhan, seperti akses komputer, sirkulasi surat kabar, dan tingkat pemahaman literasi. Bukan minat baca.
“Survei ini juga kerap dipakai pejabat dan tokoh untuk menyatakan keprihatinan atas rendahnya minat baca,” tulis Lukman dalam esainya, “Semangat Membaca di Pelosok Menantang Anggapan Minat Baca Rendah” di The Conversation.
Lukman mengurai beberapa parameter dalam memahami persoalan seputar minat baca masyarakat Indonesia.
Pertama, data jumlah perpustakaan sekolah. Pada tingkat sekolah dasar (negeri maupun swasta), dari 147.503 sekolah baru ada sekitar 90.642 perpustakaan, persentasenya mencapai 61,45%.
Namun, angka tersebut masih menyusut lagi karena kondisi perpustakaan yang bebas dari rusak ringan-total hanya 28.137, atau tersisa 19% dibandingkan angka jumlah sekolah atau 31% dibandingkan angka perpustakaan SD.
Kedua, jumlah perpustakaan desa juga tidak lebih baik. Dari 77.095 desa/kelurahan yang ada, baru terdapat 23.281 perpustakaan atau sekitar 30%.
Ketiga, jumlah toko buku belum sebanding dengan luasnya wilayah Indonesia. Jaringan toko buku terbesar, Gramedia, hanya membuka sekitar 100 toko yang tersebar di kota-kota besar dari 514 kabupaten/kota).
Toko buku sedikit, perpustakaan sekolah minim (dan infrastrukturnya pada rusak), dan perpustakaan umum juga tidak memadai. Sehingga, wajar jika penulis buku Gemar Membaca Terampil Menulis: Transformasi Gerakan Komunitas Literasi di Indonesia ini mengajukan dua pertanyaan sekaligus, “Jika untuk mengakses buku saja sulit, bagaimana akan terbentuk minat baca? Lantas, bagaimana masyarakat dapat mengakses buku?”
Hari Buku Nasional
Pencinta buku Tanah Air merayakan buku dua kali dalam setahun. Pertama, Hari Buku Sedunia pada 23 April. Kedua, Hari Buku Nasional setiap tanggal 17 Mei.
Penetapan Hari Buku Nasional belumlah lama. Penentuan itu hasil buah pikiran Menteri Pendidikan dari Kabinet Gotong Royong (periode 2001—2004), Abdul Malik Fadjar, yang pertama kali dilaksanaka sejak tahun 2002.
Salah satu tujuan utama dari penetapan Hari Buku Nasional agar memacu minat baca masyarakat Indonesia sekaligus menaikkan penjualan buku.
Seperti dilansir dari situs web Kemdikbud bahwa “hal itu tak lepas dari kondisi memprihatinkan di Indonesia, di mana rata-rata hanya 18 ribu judul buku yang dicetak setiap tahunnya. Jumlah tersebut jauh di bawah Jepang dengan 40 ribu judul buku per tahun atau China dengan 140 ribu judul per tahun.”
Belum lagi data yang beredar ketika itu. Pada 2002, UNESCO mengeluarkan angka bahwa orang Indonesia tingkat melek hurufnya rendah. “Tingkat melek huruf di Indonesia pada orang dewasa atau penduduk berusia di atas 15 tahun, menurut laporan UNESCO, pada 2002 hanya 87,9 persen. Angka tersebut kalah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia (88,7 persen), Vietnam (90,3 persen), dan Thailand (92,6 persen) di tahun yang sama.”
Hari Buku Nasional diadakan agar masyarakat Indonesia memiliki minat baca. Namun, mengutip kembali pertanyaan Lukman, “Jika untuk mengakses buku saja sulit, bagaimana akan terbentuk minat baca?”