Sejarah 2 Juni 1897: Tan Malaka Sang Jomlo Revolusioner

| 02 Jun 2022 13:44
Sejarah 2 Juni 1897: Tan Malaka Sang Jomlo Revolusioner
Tan Malaka, circa 1933 (Wikimedia Commons)

ERA.id - Sosok yang suaranya lebih terdengar di dalam penjara dibandingkan di luar ini adalah salah satu tokoh pejuang Indonesia yang gigih. Sampai akhir hayat, status jomlo melekat pada dirinya. Ia adalah Tan Malaka.

Mungkin Tan tidak sempat lagi berpikir soal asmara karena saking sibuknya memikir perjuangan kemerdekaan Indonesia. Segigih itu ia berjuang untuk satu republik.

Pejuang yang tak kalah heroik juga berasal dari Moh. Hatta. Diketahui ia tak mau nikah bila Indonesia belum merdeka. Akhirnya, Hatta nikah pada umur 43 tahun dengan Rahmi yang berusia 19 tahun pada 18 November 1945 di Megamendung, Bogor.

Soal Tan Malaka yang gigih berjuang untuk Republik dan menjadi komunis tulen ini memiliki latar panjang. Dalam satu kisah dari Joesoef Isak, editor penerbit Hasta Mitra dan bekas pemimpin redaksi koran Merdeka, bercerita sebuah kisah anekdot perihal cinta Tan Malaka.

Menurut Joesoef, tokoh yang punya nama lengkap Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka itu memilih jadi komunis dan dendam kepada kaum feodal karena perempuan yang ia sukai pergi nikah dengan Bupati Cianjur RAA Wiranatakusumah yang telah beristri dua. Kemudian, perempuan itu diceraikan.

Cerita itu beredar di kalangan masyarakat Bukittinggi, begitu pengakuan Joesoef Isak. Siapakah perempuan yang tega menyakiti hati penulis Madilog ini? Ia adalah Syarifah Nawawi.

Ibrahim yang belum genap 17 tahun menolak gelar datuk, yang diberikan saat rapat tetua adat Nagari Pandan Gadang, Lima Puluh Kota. Penolakannya jelas tidak diterima sebab Ibrahim anak laki-laki tertua dalam keluarga Simabur yang akan memangku gelar itu sebelum ayahnya meninggal. 

Pada Juli 2008, Tempo mewawancarai keponakan Ibrahim, Zulfikar Kamaruddin, mengatakan ibu Ibrahim, Sinah, menyodorkan dua pilihan: menolak gelar atau kawin?

Rumah Kelahiran Tan Malaka (Wikimedia Commons)

Dua-duanya bukan perkara mudah bagi Tan. Ia menyerah dan terima gelar tertinggi adat minat itu. Akhirnya, nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. 

Acara penobatannya digelar tujuh hari tujuh malam pada 1913. Sebagai datuk, ia membawa atau memegang keluarga Simabur, Piliang, dan Chaniago. Pesta itu juga menjadi acara penyambutan orang rantau yang baru lulus sekolah raja (Kweekschool) di Bukittinggi. 

Dan menjadi pesta perpisahan karena Tan akan lekas berangkat ke Belanda. ia mendapat beasiswa sekolah guru Rijkskweekschool, Haarlem.

Kenapa Ibrahim memilih gelar daripada dikawinkan atau dijodohkan? Sebab, seperti penjelasan dalam Seri Buku Tempo: Tan Malaka (2010), “Telah ada gadis lain di hatinya: Syarifah Nawawi, anak keempat Nawawi Sutan Makmur—guru bahasa Melayu Kweek yang membantu Charles van Ophuijsen menyusun Kitab Logat Melajoe pada 1901.”

Syarifah menjadi perempuan Minang pertama yang merasakan pendidikan ala Eropa. Syarifah dan Ibrahim angkatan 1907. Ada 16 orang di kelas mereka. Syarifah menjadi idola sebab ia satu-satunya perempuan di sekolah yang sekarang SMA Negeri 2 Bukittinggi. 

Ibrahim lanjut ke Belanda. Syarifah ke Jakarta, mengambil studi sekolah guru di Salemba School. Mereka berdua terpisah oleh jarak ribuan mil. Namun, Ibrahim punya cara melepaskan rasa kangen, yaitu mengirim surat kepada Syarifah. 

Sayangnya, Syarifah tak sekalipun membalas surat-surat milik Ibrahim. Mungkin itulah arti dari cinta bertepuk sebelah tangan. Selain Syarifah, ada nama perempuan lain yang sempat singgah di hati Tan Malaka. Penelusuran itu dilakukan oleh sejarawan Harry A. Poeze. 

Tan sempat membuka hatinya untuk perempuan lain, yaitu Fenny Struyvenberg, mahasiswi kedokteran berdarah Belanda. Fenn sering dayang ke pondokan Tan. Mereka berdua kabarnya menjalin hubungan cukup serius. Bahkan, Fenny sempat ke Indonesia menyusul Tan. 

Ketika menghadiri sidang Komunis Internasional dan tinggal tiga tahun di Rusia, Tan dikabarkan sempat menjalin hubungan dengan seorang perempuan sana. Kata Poeze, ada koran yang menulis hubungan asrama mereka. 

Di setiap negara yang dikunjungi, Tan Malaka punya hubungan intim dengan perempuan setempat. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mengabadikan beberapa nama perempuan.

Misal, Tan menyebut “Nona Carmen”, anak perempuan Rektor Universitas Manila, yang merawat dan mengajarinya bahasa Tagalog. Pada 1937, di Cina, seorang gadis 17 tahun yang Tan sebut AP kerap datang meminta diajarin bahasa Inggris. 

Syarifah Nawawi (kanan), Paramita Rahayu Abdurrachman (tengah), Tan Malaka (kiri) (Foto: Harry A. Poeze

Sesudah Proklamasi 1945, tersiar Tan memiliki hubungan dengan Paramita Rahayu Abdurrachman—keponakan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo—yang tinggal di Cikini. Tan sering datang ke sana. 

Pengakuan langsung Paramita kepada Poeze pada 1980 bahwa ia mencintai Tan Malaka. Hubungan mereka retak karena Tan kembali lari dan bersembunyi dari kejaran Kempetai Jepang. Mereka tak sampai ke jenjang pernikahan. 

Dalam buku Mengabdi Republik, Adam Malik bertanya kepada Tan Malaka, “Bung, apa Bung pernah jatuh cinta?”

Tan langsung menjawab, “Pernah. Tiga kali malahan. Sekali di Belanda, sekali di Filipina, dan sekali lagi di Indonesia. Tapi, yah, semua itu katakanlah hanya cinta yang tak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan.”

Sosok yang lahir 2 Juni 1897 ini memberikan harapan kepada banyak orang bahwa menjadi jomlo tak buruk-buruk amat. 

Rekomendasi