Dari Ransomware hingga Deepfakes, Kupas Tuntas Sisi Gelap Transformasi Digital

| 18 Sep 2024 17:45
Dari Ransomware hingga Deepfakes, Kupas Tuntas Sisi Gelap Transformasi Digital
Ilustrasi kejahatan digital (Unsplash)

ERA.id - Berkat teknologi, masyarakat semakin dimudahkan untuk mengakses informasi dimana pun dan kapan pun. Namun di balik kemudahan ini, ada bahaya yang mengintai, seperti serangan siber dan penipuan digital. Dengan ragam penipuan digital yang semakin canggih, penting sekali mengetahui sisi gelap dari perubahan teknologi ini secara eksklusif

VIDA, sebagai pemimpin dalam solusi identitas digital, mengajak pakar keamanan siber ternama Mikko Hyppönen untuk mengupas tuntas sisi gelap dari perubahan teknologi ini secara eksklusif di VIDA Executive Summit 2024.

Mikko membagikan strategi efektif untuk menghadapi ancaman yang muncul dari lanskap digital yang terus berkembang, “I love the internet. Konektivitas memberikan kita begitu banyak manfaat dan peluang bisnis, tetapi juga menghadirkan risiko yang lebih besar,” kata Mikko, “Dulu, serangan siber ditransfer secara fisik dari satu komputer ke komputer lain, melalui apa yang kami sebut dengan ‘floppy disk’. Saat ini, dengan revolusi teknologi dan kemunculan teknologi baru seperti Generative Artificial Intelligence, kita tengah menghadapi perubahan besar dan pergeseran teknologi yang sangat signifikan,”

Salah satu kemajuan teknologi yang mencuri perhatian saat ini adalah munculnya Kecerdasan Buatan (AI) Generatif atau Generative Artificial Intelligence. AI generatif merupakan sebuah teknologi machine learning yang mampu menciptakan beragam jenis konten, mulai dari teks, gambar, hingga musik. Hal ini merupakan salah satu kemajuan teknologi paling transformatif dalam sejarah. Sebagai contoh, lagu “Verknallt in einen Talahon”, yang sepenuhnya diproduksi oleh teknologi AI bernama Udio, sukses meraih peringkat 27 di tangga lagu top 40 Jerman dan Austria.

Meskipun AI generatif menawarkan banyak manfaat dan inovasi, di sisi lain juga membawa tantangan. Tidak seperti revolusi teknologi sebelumnya yang berdampak pada pekerja kasar (blue collar) seperti mesin produksi massal, AI generatif menyasar profesi pekerja kantoran (white collar), termasuk pemrograman dan layanan hukum. Selain itu, teknologi ini juga membuka peluang terjadinya penipuan, termasuk deepfakes–sebuah teknologi yang dapat memanipulasi gambar, video dan suara dengan kemiripan yang sangat meyakinkan.

Melaney Ricardo, selebriti dan presenter Indonesia yang terkenal dengan gaya kenes serta kemampuannya memikat penggemar, adalah salah satu korban dari bahaya teknologi deepfake ini.

“Penipu tersebut menggunakan kecanggihan AI untuk meniru suara dan gambar saya dari YouTube, seolah-olah saya mendukung produk penurun berat badan yang mereka jual. Bahkan keluarga saya, yang dekat dan kenal baik dengan saya, sempat menghubungi saya dan bertanya apakah produk tersebut benar-benar efektif. Ini menunjukkan betapa meyakinkannya endorsement tersebut sehingga keluarga saya sendiri tidak bisa mengenali bahwa itu sebenarnya adalah video rekayasa dari hasil AI. Bayangkan betapa banyak orang di luar sana yang tidak mengenal saya secara pribadi, bisa terjebak untuk membeli produk yang kemungkinan mengandung unsur-unsur berbahaya,” ungkap Melaney dalam acara VIDA Executive Summit 2024 pada Selasa (3/9).

Kejahatan Siber Sudah Berkembang Menjadi Ancaman Terorganisir, Bisnis Butuh Solusi Canggih untuk Mengatasinya

Dalam lanskap keamanan siber saat ini, Mikko menyampaikan bahwa serangan siber kini tidak lagi dilakukan oleh individu, melainkan oleh kelompok-kelompok kriminal yang sangat terorganisir. Kelompok-kelompok ini memanfaatkan teknologi terbaru, menyesuaikan serangan, dan membentuk kemitraan strategis untuk memaksimalkan keuntungan material. Kejahatan siber telah berkembang menjadi sebuah model bisnis layaknya perusahaan-perusahaan pada umumnya.

Di satu sisi, Indonesia sendiri menghadapi jumlah serangan siber yang mencengangkan, mencapai 279,84 juta pada tahun 2023, menurut data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Hal ini menyoroti tingkat ancaman yang cukup tinggi.

Mikko menyatakan, “Jika organisasi kriminal ini adalah perusahaan yang sah, mereka akan dianggap sebagai unicorn karena pendapatan, profitabilitas, dan pertumbuhannya yang sangat signifikan. Namun, berbeda dengan perusahaan teknologi yang sukses, organisasi ini tidak akan pernah melantai di bursa saham atau mencari strategi keluar. Situasi ini menekankan betapa besar skala masalah kejahatan siber saat ini.”

Selain itu, organisasi kriminal ini peduli akan branding dan mulai membangun citra mereka dengan nama, situs web, dan logo. Hal ini mencerminkan betapa besarnya kehadiran mereka dalam lanskap kriminal global. Maka, penting bagi perusahaan untuk mengadopsi solusi canggih guna mengatasi ancaman yang dapat membahayakan operasi mereka dan mengancam keamanan pelanggan mereka.

Untuk menjawab tantangan ini, VIDA meluncurkan VIDA Identity Stack, sebuah rangkaian solusi yang dirancang untuk melawan penipuan digital dan meningkatkan keamanan di seluruh ekosistem digital. Niki Luhur, Founder dan Group CEO VIDA, mengatakan, “Otentikasi yang kuat dan akurasi identifikasi individu sangat penting untuk memerangi penipuan digital seperti deepfakes. Teknologi VIDA adalah fondasi penting bagi ekonomi industri digital yang tepercaya mengubah ancaman digital menjadi peluang yang aman, serta melindungi bisnis dan pelanggan mereka.”

Kebutuhan akan pencegahan penipuan digital yang efektif menggarisbawahi pentingnya solusi untuk memperkuat lanskap digital, khususnya di Indonesia. Seiring dengan pesatnya transformasi digital dan juga pengguna internet di Indonesia, perusahaan dan individu harus tetap waspada terhadap peluang sekaligus risiko yang muncul. Komitmen berkelanjutan VIDA terhadap keamanan dan inovasi memainkan peran krusial dalam melindungi bisnis dan konsumen Indonesia dari ancaman yang berkembang, serta memastikan keamanan dan integritas ekosistem digital yang tengah berkembang di negara ini.

Rekomendasi