Sebuah Seni Menjadi Manusia Biasa Ala Soleh Solihun

| 20 Oct 2023 09:15
Sebuah Seni Menjadi Manusia Biasa Ala Soleh Solihun
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Ada masanya tiap mampir ke toko-toko buku besar, sampul oranye berjudul “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat” marak menghiasi rak-rak depan dan melambai-lambai ke arah saya. Buku karangan Mark Manson itu belakangan populer, tapi saya tak kunjung tertarik membelinya karena beberapa alasan. 

Pertama, harganya belum masuk di kantong. Kedua, saya pribadi benci buku self improvement. Ketiga, saya sudah belajar banyak cara bersikap bodo amat dari menonton Soleh Solihun.

Orang-orang seperti Putri Tanjung–yang punya mimpi-mimpi besar karena beruntung menjadi anak salah satu orang terkaya di Indonesia–mungkin agak sulit memahami Soleh. Namun, saya dan banyak kalangan menengah lain yang tiap lulus satu fase pendidikan cita-citanya makin menurun sebelum akhirnya memutuskan jadi orang biasa, merasa begitu dekat dengan cara pandang Soleh.

“Gua itu kan buat hidup gua aja gak mau bekerja terlalu keras,” kata Soleh waktu ngobrol bareng anak Chairul Tanjung itu. Sementara bagi Putri, kerja keras tak melulu soal materi, tapi bagaimana memberi dampak bagi orang lain. 

“Gua sih gak memikirkan dampak. Gua orangnya egois. Gua mah yang penting keluarga gua aja yang deket-deket,” jawab Soleh. “Kalo mikirin yang terlalu jauh, terlalu banyak orang yang harus kita pikirin.”

Tergantung dari telinga siapa yang mendengarnya, kalimat barusan bisa jadi terdengar egois. Namun, lain cerita bagi keluarga yang ia nafkahi. Apa yang diucapkan Soleh justru merupakan bentuk komitmen dan rasa tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. 

Anak muda sekelas Putri Tanjung–yang dipilih jadi staf khusus presiden saat usinya 23 tahun–mungkin masih bisa memikirkan sumbangsihnya buat bangsa dan negara. Namun, mereka yang bekerja pulang-pergi Karawang-Jakarta tiap hari, yang sepertiga umurnya habis di jalan, tak punya waktu untuk memikirkan itu.

Saya tak pernah bertemu Soleh, tapi dari menonton tayangan Youtubenya, menyimak komentar-komentarnya tentang kehidupan, saya merasa ia mewakili suara orang-orang biasa. Dan sebagai public figure, rasanya ia tergolong jenis yang langka. Ketika sekelilingnya berputar cepat dan terburu-buru, ia–dengan sepatu docmart dan jaket kulitnya–hanya berjalan santai.

Saya jadi ingat filsuf Frederic Gros pernah menulis, “Berjalan kaki adalah tindakan revolusioner. Itu adalah cara untuk memberontak terhadap kecepatan dan kesibukan, sekaligus cara untuk merenungkan makna hidup.”

Dalam bayangan saya, sosok seperti Soleh ini–meskipun anggota geng motor–pasti suka berjalan kaki. Dan betul saja, kalau membaca blognya di solehsolihun.com, kita bakal sering menemukan ceritanya berjalan kaki waktu jalan-jalan di luar negeri.

Kalau ada kesempatan menulis biografi Soleh Solihun, saya bakal menaruh judul “Sebuah Seni Menjadi Manusia Biasa” di sampul depan. Buku itu nanti diperuntukan buat mereka yang sedang kecewa karena harus mengubur cita-citanya setelah berhadapan dengan realita kehidupan. Dan sebagai pengantar, saya bakal tulis di sini beberapa pelajaran hidup yang bisa ditimba dari orang bernama Soleh Solihun.

Dalam hidup, hanya dua orang yang mesti didengar

Waktu SMP dulu, saya pernah membaca satu kisah jenaka. Alkisah, seorang ayah mengajak anaknya jalan-jalan mencari makan keledai peliharaan mereka. Sekelompok orang menertawakan mereka karena hanya menuntun keledainya tanpa ditunggangi. Setelah itu, sang ayah menyuruh anaknya naik keledai.

Tak berapa lama kemudian, sekelompok orang kembali menggunjingkan mereka. “Lihat tuh, anak durhaka. Ayahnya sudah tua, tapi disuruh jalan kaki.” Mendengar komentar tadi, sang anak memilih turun dan meminta ayahnya gantian naik.

Setelah setengah perjalanan, mereka kembali diolok-olok orang. “Dasar bapak egois, apa tidak kasihan ke anaknya?” Lagi-lagi sang ayah menyuruh anaknya naik. Kali ini mereka berdua sama-sama menunggangi keledai.

Belum sampai di tujuan, mereka mendengar lagi ada orang yang berkomentar, “Waduh! Manusia kurang ajar. Keledai kecil begitu ditumpangi dua orang. Keledai yang malang.” Akhirnya, mereka berdua turun dan melanjutkan perjalanan sambil menggendong keledai di pundak. Dan sepanjang sisa perjalanan itu, mereka diteriaki orang gila.

Saya membayangkan andai saja tokoh dalam kisah tadi adalah Soleh Solihun, pasti tak berakhir demikian. Karena sejak awal ia tak bakal mendengarkan perkataan orang asing yang tak punya andil dalam hidupnya.

"Selalu dari dulu prinsip gua, kita tuh hanya mendengar omongan keluarga dan yang ngasih duit," kata Soleh waktu ngobrol di Vindes. "Yang perlu kita dengarkan pendapatnya itu cuma dua pihak: Keluarga dan orang yang ngasih kita duit."

Saya merasa jika kita menggunakan prinsip Soleh tadi, setengah beban hidup bisa kelar dan banyak waktu yang bisa kita sisihkan untuk memikirkan hal-hal di luar opini orang lain. Hitung saja, berapa lama waktu yang kita habiskan karena terombang-ambing memilih keputusan setelah mendengar terlalu banyak masukan? Dalam hal ini, ungkapan "banyak kepala banyak ide" bisa jadi pisau bermata dua. 

Menjadi diri sendiri

Beberapa orang yang saya kenal berusaha terlalu jauh menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sampai-sampai harus menanggalkan baju yang nyaman mereka pakai. Saya sendiri masih suka memaksa mengulik tentang sepak bola walaupun sejak kecil tak terbiasa menonton bola, semata-mata agar bisa nyambung ketika ngobrol di tongkrongan. Padahal buat apa juga?

Di sini saya merasa ditampar Soleh dengan sikap bodo amatnya. Ketika ia tidak suka sesuatu, ia bebas mengatakannya blak-blakan, dan saya suka iri dibuatnya.

Waktu masih jadi mahasiswa, saya nonton film garapan Soleh berjudul Mau Jadi Apa? yang menceritakan kehidupannya semasa kuliah. Ketika banyak mahasiswa seangkatannya riuh membicarakan dan menulis soal politik agar kelihatan keren, ia justru konsisten menulis artikel musik. Dengan jujur ia mengaku tak tertarik dan tak punya wawasan politik yang luas. 

"Karena saya juga suka musik dan suka baca majalahnya, saya bertekad ketika menjadi wartawan, saya ingin menjadi wartawan musik," ujarnya suatu ketika waktu diwawancarai Amelia Vindy.

Itulah jalan yang ia tempuh. Hingga akhirnya salah satu artikel musiknya di Playboy Indonesia diganjar Anugerah Adiwarta pada 2006 sebagai tulisan feature terbaik dalam kategori Seni dan Budaya.

Etos jurnalisnya diteruskan dalam program The Soleh Solihun Interview lewat kanal Youtube pribadinya. Ketika banyak talkshow dan program interview lain bermodalkan alat berlimpah dan setting yang wah, Soleh hanya memakai IPhone 6 dan tangannya sendiri sebagai pengganti tripod. Itulah yang menjadikannya orisinal dan terus bertahan sampai sekarang.

Minim ambisi, hidup untuk hari ini

Soleh kini juga dikenal sebagai komika. Dalam show spesialnya, Majelis Tidak Alim, ia bilang tidak pernah kepikiran punya umur panjang. Sepanjang hari esok masih jadi misteri antara hidup atau mati, Soleh fokus hidup untuk hari ini dan tak terdistraksi dengan pencapaian-pencapaian orang lain.

Ia pernah ditanya Wisnu Nugroho, "Dalam hidup, kamu ada yang berpikir keras gak dalam mengambil sebuah keputusan?" Soleh terdiam cukup lama dan tampak bingung. Menjawab pertanyaan itu tampaknya membuatnya berpikir lebih keras ketimbang mengambil keputusan dalam hidup.

Hidup Soleh mengalir saja seperti air. "Kesadaran itu muncul sejak kelas 5 SD, sudah yakin besok bakal mati," ucapnya. Mungkin itu juga yang membuat hidupnya tampak santai tanpa beban. Kalau di Islam, kesadaran seperti itu rasanya sudah setingkat wali. 

Dalam dunia yang terlalu terpaku pada kompetisi dan kecepatan ini, menjadi orang biasa ala Soleh Solihun tampak menarik dan lebih rasional. Kerja secukupnya, hidup sederhana, dan tak takut akan mati.

Rekomendasi