Berita Kekerasan Seksual dan Bagaimana Sebaiknya Sikap Kita

| 17 Nov 2023 08:10
Berita Kekerasan Seksual dan Bagaimana Sebaiknya Sikap Kita
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Di antara sekian banyak jenis kejahatan, saya percaya kejahatan seksual–puncaknya perkosaan–adalah salah satu bentuk yang paling keji dan agaknya tak termaafkan, tak lain karena ia merenggut sesuatu yang tak mungkin dikembalikan lagi: Kesucian. Kejahatan itu meninggalkan korbannya terus hidup berkubang perasaan kotor. 

Karena sifatnya tadi, saya bisa memaklumi perlakuan khusus orang-orang ketika mendengar kabar kekerasan seksual yang selalu percaya lebih dulu kepada korban. Berbeda dibandingkan kejahatan lain yang menyisakan ruang keraguan atas dasar asas praduga tak bersalah.

Namun, terkadang ada saja orang-orang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan sentimen tersebut untuk menjatuhkan kredibilitas orang lain. Dan bagi saya, rekayasa kasus kekerasan seksual yang tak pernah terjadi sama jahatnya dengan kekerasan seksual itu sendiri.

Belum lama ini, viral berita kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi baru Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sebuah akun anonim mengaku dilecehkan kakak tingkatnya di kampus yang jadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ia juga melampirkan potongan chat yang menunjukkan ancaman pelaku karena membocorkan kasus itu ke media sosial.

Identitas terduga pelaku ikut bocor dan jadi bulan-bulanan netizen. Akun-akun besar membagikan berita tadi dan meminta pelaku diadili. Kampus harus bertanggung jawab dan jangan melindungi pelaku kekerasan seksual, kata mereka. Keriuhan terjadi beberapa hari, hingga penegak hukum melaporkan hasil investigasinya.

Polisi memastikan informasi itu hoaks dan telah menangkap pelaku penyebar kabar bohong tersebut–yang ternyata laki-laki. Motifnya sakit hati dengan perlakuan korban yang difitnahnya. Berita itu jadi senyap tak lama kemudian.

Mencermati kasus barusan, saya merasa kita sering kali salah kaprah bagaimana menunjukkan semangat “berdiri bersama korban”. Alih-alih fokus terhadap penegakan hukum yang serius dan adil, kita terlalu bersemangat menghukum tanpa berusaha mencari tahu kebenarannya. Lantas bagaimana sebaiknya kita bersikap ketika mendengar kasus kekerasan seksual? 

Kekerasan seksual dan penegakan hukum

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan tahun lalu. Isinya meliputi pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, hingga penegakan hukum.

Dalam UU tersebut, keterangan korban atau saksi cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah, asalkan disertai dengan satu alat bukti sah lainnya dan diputuskan oleh hakim.

Berdasarkan hukum, kekerasan seksual–sebagaimana kejahatan-kejahatan lainnya–hanya bisa dibuktikan kebenarannya lewat pengadilan. Menurut saya, ini yang harus kita jadikan landasan berpikir saat mendengar kabar kekerasan seksual, di mana kita bukan merupakan korban atau saksinya.

Lalu bagaimana dengan keberpihakan kepada korban? Apakah kita harus diam saja mendengar kabar ada seseorang dilecehkan? 

Saya kira ada batas yang sangat kentara antara "mendengar" dengan "mengetahui". Mengetahui berarti kita menyaksikan kekerasan seksual yang terjadi atau melihat bukti bahwa kekerasan seksual betul terjadi. Sementara hanya "mendengar" berarti kita belum tahu kebenarannya dan semata-mata percaya kepada penuturan ulang korban.

Dalam posisi menjadi pendengar, saya menganggap keberpihakan kepada korban bisa dilakukan dengan tidak menyanggah ceritanya, tanpa harus menghakimi terduga pelaku sebelum diproses hukum. Selain itu, kita juga bisa mendorong agar proses hukum berjalan dengan semestinya; agar penegak hukum memprosesnya dengan serius.

Belakangan, sikap berdiam diri pada berita dugaan kekerasan seksual tak jarang diasumsikan sebagai bentuk kebungkaman dan permisif terhadap kekerasan seksual. 

Padahal, selama kita hanya menjadi "pendengar kabar", kita tak sepenuhnya berhak berbicara atas nama korban. Sebab itu boleh jadi malah memperlambat proses penyelesaian perkara, atau, jika kabar yang beredar ujung-ujung diketahui sebagai rekayasa, itu hanya akan melemahkan suara-suara korban kekerasan seksual yang sebenarnya.

Dalam hal ini, saya rasa ada beberapa pihak yang berhak bersuara atas kasus kekerasan seksual. Pertama dan yang paling utama, korban itu sendiri. Ia sepenuhnya berhak mengungkapkan kekerasan yang ia alami, dan yang harus mendengarkannya dengan seksama adalah para penegak hukum.

Kedua, saksi. Mereka yang menyaksikan langsung kekerasan seksual tak bisa hanya diam saja. Mereka pertama-tama harus berbincang kepada korban dan, atas persetujuannya, menyuarakan kasus yang dialami korban. Mereka juga harus siap bersaksi di pengadilan.

Tak seperti pendengar yang hanya mendengar penuturan ulang cerita kekerasan seksual, saksi punya beban moral untuk bersuara.

Ketiga, pendamping hukum korban. Terkadang korban masih trauma atau tidak punya keberanian untuk bersuara atas kekerasan yang ia alami. Karena itu ia bisa mewakilkan suaranya kepada pendamping hukum. Sebagai perwakilan korban, pendamping berhak untuk melaporkan kejadian yang menimpa orang yang ingin dampingi.

Keempat, penegak hukum, baik dari kepolisian maupun pihak pengadilan. Kepolisian setelah menerima laporan terhadap kasus kekerasan seksual wajib untuk menindaklanjutinya dengan serius dan membawanya ke pengadilan untuk kemudian diserahkan prosesnya kepada pengacara, jaksa, maupun hakim. 

Mereka semua dalam proses penanganan perkara kekerasan seksual berhak menyampaikan temuan-temuan mereka, dengan begitu menjadi jelas apakah kekerasan seksual benar terjadi atau hanya tuduhan palsu belaka. 

Kelima, media. Dalam hal ini media berfungsi sebagai corong pengeras suara bagi keempat pihak sebelumnya agar orang-orang mengetahui apa yang sedang terjadi. 

Di luar pihak-pihak sebelumnya, saya kira sebaiknya orang-orang menahan diri untuk berkomentar yang tidak perlu menanggapi berita kekerasan seksual yang mereka baca di media sosial; mereka dengar dari mulut ke mulut; dan apa pun yang belum bisa mereka pastikan kevalidannya. Komentar yang tidak perlu itu termasuk doxing kepada terduga pelaku. Selebihnya, kita bisa mendorong penegakan hukum dilakukan dengan seadil-adilnya. 

Rekomendasi