ERA.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyoroti hasil draf awal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang disusun Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
LBH Jakarta menilai, terdapat sejumlah ketentuan yang hilang dalam draf awal RUU PKS yang disusun Baleg DPR RI. Antara lain seperti dihapusnya tindak pidana mengenai perbudakan seksual, tindak pidana pemaksaan perkawinan, serta hilangnya hak korban kekerasan seksual.
Total ada 16 poin catatan dari LBH Jakarta terhadap draf awal RUU PKS.
"Memperhatikan catatan tersebut di atas didapati bahwa draf RUU PKS versi Baleg DPR RI belum mengakomodir secara komprehensif segala upaya untuk menghapus kekerasan seksual," bunyi keterangan tertulis LBH Jakarta yang dikutip pada Sabtu (4/9/2021).
Oleh karena itu, LBH Jakarta menuntut Baleg DPR RI untuk memasukkan seluruh catatan dari LBH Jakarta ke dalam draf RUU PKS.
Selain itu, juga mendesak agar Baleg DPR RI melibatkan publik ke dalam pembahasan penyusunan draf RUU PKS.
"Baleg DPR RI segera membuka seluas-luasnya ruang partisipasi publik dengan melibatkan secara aktif korban, pendampingan kelompok masyarakat dan ahli yang konsisten mendorong pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual untuk merumuskan kebijakan pasal demi pasal terhadap RUU PKS."
Baleg DPR RI juga harus mendengarkan, mempertimbangkan dan mengimplementasikan masukan yang komprehensif dari berbagai kalangan yang mempunyai visi besar untuk mencegah serta menghapuskan kekerasan seksual melalui RUU PKS.
Untuk diketahui, Baleg DPR RI menggelar rapat pleno membahas draf awal RUU PKS pada Senin (30/9) lalu.
Dari paparan yang disampaikan, judul RUU PKS diganti menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Tim Ahli Baleg DPR RI Sabari Barus menjelaskan kata ‘Penghapusan’ di dalam draf RUU tentang PKS dihapus dan diganti dengan ‘TindakPidanaa’. Tim Ahli Baleg beralasan menggunakan frasa itu karena mengambil pendekatan hukum bahwa kekerasan seksual merupakan Tindakan Pidana Khusus.
“Dari aspek judul, sesuai dengan pendekatan, maka kekerasan seksual dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Sehingga judul sebaiknya menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ungkap Barus.
Sebab, kata ‘Penghapusan’ juga terkesan sangat abstrak dan mutlak. Karena penghapusan berarti hilang sama sekali. Ini sesuatu yang mustahil dicapai di dunia ini.
Lebih lanjut, Barus mengatakan bahwa penggunaan judul itu justru akan lebih memudahkan penegak hukum dalam melakukan tugasnya menentukan unsur pidana terhadap pelaku kekerasan seksual. Termasuk pula, judul tersebut dinilai lebih mudah bagi penegak hukum menentukan ancaman hukuman yang memberatkan pelaku.
Adapun draf awal ini berisi 11 Bab yang terdiri atas 40 pasal, meliputi ketentuan umum hingga penutup. “Bab I berisi Ketentuan Umum. Yang perlu kami sampaikan, paling tidak dua hal, sebagai pemantik dalam mengenal RUU ini yaitu definisi Kekerasan Seksual itu sendiri serta definisi Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ucapnya.
Dalam pemaparan Barus, dituliskan bahwa Kekerasan seksual memiliki definisi, setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau non fisik, mengarah kepada tubuh dan/atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomi.
Sementara, definisi Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam draf RUU ini adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Kemudian, pada Bab II RUU ini mengatur tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dituliskan, ada lima jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dituliskan, ada lima jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diatur dalam setiap pasalnya. Pertama, jenis tindak pidana yaitu pelecehan seksual diatur dalam Pasal 2. Kedua, pemaksaan memakai alat kontrasepsi pada Pasal 3.
"Ketiga Pemaksaan Hubungan Seksual pasal 4. Keempat, eksploitasi seksual itu di pasal 5. Dan Kelima, Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain di pasal 6,” jelasnya.