ERA.id - Tersisa dua tahun lagi sebelum Pilpres 2024, tenggat waktu yang singkat jika kita bicara tentang percaturan politik. Beberapa partai sudah blak-blakan mengusung nama calon presiden, yang lain masih mengawasi, sementara Jokowi, belakangan gemar betul memberi isyarat, meski kita belum tahu pasti siapa yang benar-benar ia dukung.
Untuk mengetahui maksud Jokowi, kita harus tahu dulu dari mana ia berasal. Jokowi ini sosok fenomenal. Secara perawakan ia mungkin presiden yang paling merepresentasikan masyarakat kelas bawah.
Pria Solo eks pengusaha mebel --yang bukan kader partai, dan sebelumnya tak pernah digadang-gadang jadi presiden-- berhasil mengangkangi Prabowo Subianto yang mantan tentara dan punya partai besar dalam dua kali pilpres. Sekali mungkin beruntung, tapi dua kali itu hitungannya sudah jago. Ini fenomenal. Gaya politiknya tentu berbeda dengan kebanyakan politikus totok kader partai.
Lalu, penting juga kita mengingat bahwa Jokowi orang Jawa. Mengapa? Karena orang Jawa punya kekhasannya sendiri. Mereka menggandrungi simbol-simbol, tidak to the point, dan penuh teka-teki. Bilang begini maksudnya belum tentu begini. Persis Pak Harto.
Kalau kata Gus Dur, Pak Harto itu menganggap dirinya Raja Jawa, dan Raja Jawa punya kebiasaan ‘apa yang dilakukan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu’. Maksudnya, harus pintar-pintar menyembunyikan sesuatu. Kalau antar tangan sendiri saja tidak boleh tahu, apalagi orang lain.
Jokowi mungkin tidak pernah mengaku sebagai Raja Jawa, atau menganggap dirinya begitu. Namun, dari caranya meramu kata-kata, sikapnya menanggapi sesuatu, dan bagaimana ia memimpin selama dua periode ini, boleh dikata ia meneladani betul sikap Raja Jawa yang pernah disinggung Gus Dur. Wajar kalau Ban Blend menulis buku tentang Jokowi yang diberi judul Man of Contradictions.
Misalnya, kemarin waktu santer lagi soal isu ijazah palsu, bagaimana Jokowi merespons? Mengadakan konferensi pers? Tidak, lagipula ngapain. Bilang ke media kalau itu kabar tidak benar? Tidak juga, blak-blakan begitu bukan gaya Jokowi. Lalu apa? Jokowi mengumpulkan teman-teman kuliahnya semasa di UGM sambil reuni kecil-kecilan di Sleman. Ia biarkan teman-temannya berceloteh menjawab isu ijazah palsunya. Ini baru gaya Jokowi.
Kalau sudah agak memahami cara main Jokowi sebagai orang Jawa, baru kita bisa lanjut mengira-ngira apa makna dibalik isyarat-isyarat yang ia berikan menjelang pilpres nanti. Intinya, masing-masing pihak boleh ngarep, tapi jangan buru-buru kegeeran dan kesemsem dengan isyarat Jokowi kalau belum siap patah hati.
Selama ini Jokowi belum pernah, dan sepertinya tidak akan dalam waktu dekat, secara terang-terangan menyatakan dukungannya ke calon tertentu. Waktu melawat ke Rakernas Relawan Pro Jokowi (Projo) di Magelang yang dihadiri Ganjar Pranowo, Jokowi hanya bilang, “Urusan politik ojo kesusu, jangan tergesa-gesa, meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini.”
Kalimat itu langsung disambut geger para hadirin sambil tepuk tangan. Banyak yang menduga, khususnya simpatisan Ganjar, Jokowi beri lampu hijau untuk dukung Gubernur Jawa Tengah itu maju ke RI 1. Padahal tidak semudah itu Ferguso! Kalimat Jokowi sangat mengambang dan penuh tanda tanya.
Sebelum kata ‘dukung’, Jokowi menyelipkan kata ‘mungkin’. Mungkin itu belum tentu; barangkali; boleh jadi; tidak mustahil; dan segala arti lain yang mengandung probabilitas atau ketidakpastian. Berharap pada kata ‘mungkin’ ibarat menunggu mantan kekasih kita akan menghubungi kembali.
Belum lagi Jokowi tidak pakai kata ‘saya’ dan memilih kata ganti orang pertama jamak, ‘kita’. Padahal ada juga kata ‘kami’ yang lebih eksklusif dan khusus. Kata ‘kita’ berarti lawan bicara termasuk di dalamnya.
Artinya, bukan hanya Jokowi, tapi semua orang yang hadir di Rakernas Projo itu mungkin mendukung salah seorang yang ada di sana. Dan jangan lupa, bukan hanya ada Ganjar, ada juga Moeldoko, ada Hilmar Farid, ada banyak orang yang tidak mungkin disebut satu per satu di sini.
Selain Ganjar yang disebut-sebut dapat dukungan presiden petahana, Prabowo juga dianggap sudah membungkus restu Jokowi. Apalagi saat menghadiri perayaan ulang tahun Partai Perindo di Jakarta Senin (7/11) kemarin, Jokowi dikabarkan kembali asik kasih spoiler ke orang-orang.
Setelah sambutan dari Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo, Jokowi bilang begini di atas panggung, "Mohon maaf Pak Prabowo. Kelihatannya, setelah ini jatahnya Pak Prabowo." Mendengar namanya disebut dan merasa didoakan, Prabowo lantas berdiri dan memberikan salam hormat buat Jokowi.
Lagi-lagi, banyak yang menduga ini isyarat Jokowi mendukung Prabowo di pilpres 2024. Padahal, kalau mau didengar lebih seksama dan direnungi, ketimbang dukungan, Jokowi lebih terdengar seperti kasihan kepada eks lawan tandingnya pada dua pilpres terakhir yang sekarang jadi menterinya itu. Makanya, di awal ia meminta maaf ke Prabowo.
Bukan hanya Jokowi, banyak orang juga berharap Prabowo bisa jadi presiden, bukan karena apa-apa, tapi lebih kepada prihatin. Kalau tiga kali maju masih kalah lagi, kan sungguh terlalu. Wajar dong Jokowi bilang setelah ini jatahnya Prabowo.
Untuk saat ini, isyarat-isyarat Jokowi kepada siapa pun bagusnya dianggap lambe lamis saja, alias baru manis di mulut, entah benar atau tidak. Buat para calon yang merasa didukung Jokowi, harus legowo dan siap-siap patah hati andai mereka keliru menafsirkan isyarat Jokowi. Kalau kata Ayu Ting Ting: di dalam lidahmu itu mengandung bara api yang membakar hati, sambalado eh eh sambalado eh eh, itu sambalado~