ERA.id - Angel Di Maria masih berusia 16 tahun ketika Miguel, sang ayah, memberinya tiga pilihan di atas meja saat jamuan makan malam. "Kamu bekerja bersamaku, selesaikan sekolahmu, atau coba sepak bola setahun lagi," ujar Miguel. "Tapi kalau yang terakhir tidak berhasil, kamu harus bekerja bersamaku."
Andai malam itu Di Maria menyerah, mungkin timnas Argentina di Piala Dunia 2022 tak pernah sama. Untung saja ibunya, Diana, memberi jawaban tegas ke sang suami. "Sepak bola setahun lagi," ucapnya singkat.
Jika ada satu orang di dunia yang paling berharap Di Maria terus bermain bola, tak lain adalah Diana. Bertahun-tahun perempuan itu membonceng anaknya dari rumah ke lapangan Rosario Central untuk mengejar karier sepak bola, dengan sepeda kuning tua berkarat yang dinamakan Graciela.
Di Maria tak lahir dengan sendok emas di mulutnya. Ia blak-blakan bercerita tentang masa lalunya yang getir lewat memoar kecil berjudul In the Rain, in the Cold, in the Dark, beberapa hari sebelum negaranya kandas di 16 besar Piala Dunia 2018.
Pada awalnya, kedua orang tua Di Maria membuka toko alat kebersihan di rumah sederhana mereka di Rosario. Suatu hari ibunya sibuk melayani pelanggan dan Di Maria kecil berjalan lurus ke tengah jalan raya hingga nyaris ditabrak mobil.
Diana yang melihat anak pertamanya nyaris tamat segera berlari untuk menolongnya. Di Maria selamat, tapi ibunya memutuskan untuk menutup toko itu selamanya. Sejak saat itu, Miguel banting setir menjadi pembuat dan penjual arang. Dan itu bukan hari-hari yang mudah bagi keluarga Di Maria.
Tembok putih yang kusam dan lahirnya Graciela
"Tembok rumah kami harusnya berwarna putih. Namun, aku tak pernah ingat itu putih. Pertama warnanya abu-abu, lalu lama-kelamaan menghitam karena debu arang," tulis Di Maria mengenang masa kecilnya.
Ayahnya setiap hari bekerja berjam-jam membuat arang di bawah atap seng di teras belakang rumah. Ketika truk pengangkut arang datang, ia dan adiknya akan membantu ayah mereka menggotong berkantong-kantong arang melewati ruang tamu. Dari sanalah tembok rumah mereka kian hari kian gelap.
“Sebelum sekolah, aku dan adik perempuanku akan bangun untuk membantunya. Kami baru berusia sembilan atau sepuluh tahun,” tulisnya. Pada usia itu, Di Maria sudah aktif bermain bola. Ia bahkan memulainya lebih awal dari yang lain.
Sedari Di Maria masih balita, Diana sadar putra sulungnya itu terlalu aktif untuk ukuran anak seusianya. Ia berlarian ke sana kemari hampir-hampir seperti kelebihan stamina. Ketika usianya empat tahun, Diana membawanya ke dokter. “Dokter, ia tak mau berhenti berlari, aku harus apa?” Dokter Argentina itu lantas menyuruh Di Maria untuk bermain bola.
Pada usia tujuh tahun, Di Maria mencetak 64 gol untuk timnya. Ia diwawancara salah satu stasiun radio, lalu seorang pelatih muda di klub Rosario Central memanggilnya untuk bermain di sana.
Miguel masih berpikir dua kali saat panggilan itu datang. “Itu kejauhan, jaraknya sembilan kilometer! Kita tidak punya mobil, bagaimana mengantarnya ke sana?”
Diana segera memotong, “Jangan khawatir, aku akan mengantarnya. Tidak masalah!" sergahnya.
“Dan saat itulah Graciela lahir,” kenang Di Maria. Graciela, sepeda kuning tua berkarat yang dimodifikasi ayahnya agar bisa ditumpangi tiga orang. Sepeda yang dikayuh ibunya saban hari. “Tak peduli saat hujan, dingin, atau gelap, ibuku terus saja mengayuh,” tulisnya. “Graciela membawa kami ke tempat yang harus kami tuju.”
Sepatu bolanya rusak berulang kali dan ibunya selalu menambalnya dengan lem karena belum mampu membeli yang baru. Sembilan tahun setelah dipanggil ke Central dan setahun berselang setelah kesempatan yang diberikan sang ayah, Di Maria akhirnya debut di Liga Primer Argentina dengan nomor punggung 37.
Sepak bola baginya bukan hanya permainan, tapi juga penghidupan. “Untuk ini, aku berutang segalanya pada sepak bola,” tulisnya.
Dibuang Madrid hingga mengantar Argentina juara Piala Dunia
Pagi hari ketika laga final Piala Dunia 2014 antara Argentina dan Jerman akan berlangsung, kaki Di Maria sedang disuntik akibat otot pahanya yang sobek di perempat final. Daniel Martínez, dokter timnas Argentina menyodorkan secarik surat dari Real Madrid.
“Mereka bilang kondisimu buruk. Mereka memaksa kami agar tidak membiarkanmu bermain,” ucap Daniel.
Di Maria mengambil surat itu dan segera menyobeknya tanpa dibaca. Di luar sana, tersiar kabar bahwa klubnya akan merekrut James Rodríguez yang main cemerlang di piala dunia. “Aku tahu mereka akan menjualku sebagai gantinya,” tulisnya dalam memoar.
Malam sebelum final, Di Maria sulit tidur. Tinggal selangkah lagi ia mengangkat trofi dan mewujudkan mimpinya. Ia bangun pagi-pagi sekali, menemui pelatihnya, Sabella, dan membujuk lelaki tua itu agar menurunkannya meski sedang cedera.
“Jika saya yang dipilih, ya sudah. Jika yang dipilih orang lain, ya sudah,” ujarnya. “Saya hanya ingin memenangkan Piala Dunia. Jika Anda memanggil saya, saya akan bermain hingga lelah!" lalu Di Maria menangis.
Hari itu, hingga babak tambahan berakhir, Di Maria tak pernah dipanggil. Dua jam ia duduk menepi di bangku cadangan dan melihat negaranya kalah. "Itu adalah hari tersulit dalam hidupku." Media terus merundungnya setelah pertandingan dan Di Maria remuk luar dalam.
Ia mengingat momen saat menangis di depan pelatihnya sebelum pertandingan. "Aku bukannya gugup atau takut dengan karirku. Aku bahkan tidak khawatir untuk memulai pertandingan…" ucapnya. "Aku hanya ingin kami mencapai impian kami dan dikenang sebagai legenda… kami sudah sangat dekat."
Seusai Piala Dunia 2014, Di Maria dijual ke Manchester United, bermain di sana untuk semusim, sebelum akhirnya pindah ke Paris Saint-Germain. Timnas Argentina memanggil namanya kembali pada 2018 untuk Piala Dunia yang tak lebih menyenangkan dari sebelumnya.
Tahun ini, Di Maria genap berusia 34 tahun, usia senja kala untuk seorang pemain sepak bola. Pada laga yang disebut-sebut salah satu yang terbesar dalam sejarah final Piala Dunia, Di Maria membayar tuntas harga yang harus ia bayar delapan tahun lalu.
Scaloni memainkannya sejak menit pertama dan Di Maria terus berlari mencari ruang-ruang kosong di sisi kiri lapangan. Pada menit ke-36, ketika baris pertahanan Prancis sibuk mengejar Mac Allister yang menerjang menembus kotak penalti, Di Maria menyusup dari kiri dan segera menyambar umpan silang dari Mac Allister. Lloris takluk. Skor 2-0 untuk Argentina.
Di Maria diganti pada menit ke-64 dan pertandingan berjalan makin buas. Mbappe jadi mimpi buruk Argentina dan menyamakan skor. Sebelum akhirnya Messi mencetak gol menjelang babak kedua berakhir. Di Maria tak mampu meredam tangisnya. Ia menggigiti kaosnya makin kencang ketika Mbappe sukses melesakkan gol ketiga.
Pertandingan berlanjut ke adu penalti dan kita tahu Argentina keluar sebagai juaranya. Dan Di Maria, anak penjual arang dari Rosario itu, kelak akan turun-temurun diceritakan sebagai legenda. Kini, tiada lagi yang menghalanginya untuk menggantung sepatunya. Dan dalam waktu dekat kita takkan melihatnya berlarian lagi di lapangan. Namun, selama bola terus berputar, orang-orang seperti Di Maria akan selalu ada.