ERA.id - Belakangan kita sering ditakut-takuti dengan isu resesi, berita pemutusan hubungan kerja (PHK) massal berulang kali tayang, dan tahun depan ekonomi diramalkan bakal kalang kabut. Namun, di tengah simpang siur ini, seorang netizen bersabda di Twitter: Indonesia akan susah kena resesi. Sebabnya kalangan menengah ke bawah sangat konsumtif dan doyan jajan. Hmm…
“Mereka itu udah biasa loh hidup gak mikirin tabungan, kalangan ini tuh suka banget jajan, kalau punya anak pun mereka lebih prioritas jajan dari pada makan pokok,” tulis akun bernama Yatim Sukses. Sebagian mendukung, yang lain meradang.
Emg Indonesia tu susah kena resesi, buset ini kalangan menengah kebawah tu konsumtifnya bukan maen deh, mereka itu udah biasa lho hidup ga mikirin tabungan, kalangan ini tu suka bgt jajan, kalo punya anakpun mereka lebih prioritas jajan daripada makan pokok
— yatim sukses (@yatim_sukses) December 18, 2022
Sebelum lanjut berdebat dan baku hantam, mari samakan dulu definisi kita soal kalangan menengah ke bawah. Menurut Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan, mereka adalah kelompok dengan penghasilan kurang dari Rp2,6 juta per bulan. Itu kira-kira setara dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Sukabumi tahun 2022.
Berdasarkan definisi tadi, orang miskin otomatis masuk golongan kalangan menengah ke bawah, tetapi tidak semua kalangan menengah ke bawah itu miskin. Karena orang miskin, menurut Undang-Undang, adalah mereka yang tidak dapat memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Lalu, mari kita menguji klaim netizen yang budiman bahwa kalangan menengah ke bawah lebih doyan jajan ketimbang beli makanan pokok. Kalau ini kesimpulan yang didapat dari hasil mengamati satu-dua orang di lingkungan sekitar, tentu jatuhnya jadi pernyataan pretensius belaka.
Karena itu, ada baiknya kita membuka Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 tentang pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia. Berdasarkan data Susenas Maret 2022, kalangan menengah ke bawah lebih banyak membelanjakan uangnya untuk kebutuhan pokok. Sebaliknya, kalangan menengah ke atas justru lebih sering membeli makanan dan minuman jadi, alias lebih doyan jajan.
Dari sini saja klaim soal kalangan menengah ke bawah yang sangat konsumtif dan lebih memilih jajan dibanding makanan pokok terbantahkan.
Bedanya jajanan orang miskin dengan orang kaya
Bayangkan kita hidup di Jakarta dengan penghasilan bulanan Rp3 juta, itu belum dikurangi sewa tempat tinggal kisaran sejuta. Sisa Rp2 juta di tangan. Katakanlah bensin motor habis Rp250 ribu sebulan. Sisa Rp1,75 juta. Jumlah itu lalu dibagi 30 hari untuk konsumsi, maka sehari kita punya jatah makan kurang dari Rp60 ribu. Dengan uang segitu, kita berharap apa? Nongkrong di Starbucks tiap hari?
Begitulah kira-kira bayangan kehidupan kalangan menengah ke bawah di ibu kota. Mereka harus memilih antara makan tiga kali sehari atau minum Kopi Kenangan tapi hanya makan dua kali. Dan perlu dicatat, itu dengan estimasi penghasilan bulanan Rp3 juta. Kenyataannya, banyak lagi yang tidak sampai segitu.
Ngopi-ngopi cantik di kafe dengan harga segelasnya lebih dari Rp25 ribu, membungkus sekotak donat harum berisi 12 potong dari gerai J.Co, atau jalan-jalan di PIK sambil nyemil jajanan Korea, itu semua adalah kemewahan yang seringnya dilakukan kalangan menengah ke atas.
Ketika kalangan menengah ke bawah dibilang konsumtif dan doyan jajan, itu bisa jadi benar, tapi jelas jajanan mereka jauh berbeda dengan kalangan menengah ke atas. Selain jauh lebih murah, juga jauh lebih tidak sehat. Apalagi kalau bukan aneka gorengan di warung-warung atau minuman kemasan yang gulanya berlebihan dan mengundang diabetes.
Sama seperti orang-orang Meksiko yang ketagihan Coca-Cola karena harganya terjangkau dan lebih mudah didapatkan ketimbang air bersih, kalangan menengah ke bawah di sini juga sudah terlanjur dilenakan dengan “jajanan kotor” yang beredar. Boro-boro mau jajan fancy ala pekerja kantoran di SCBD, mereka itu sudah syukur ada yang bisa dimakan hari ini.
Bukannya enggan menabung, tapi belum ada uangnya
Satu lagi stigma yang sering disematkan ke kalangan menengah ke bawah adalah kurang usaha, jarang menabung. Padahal bukannya enggan dan nggak kepikiran, alasannya satu saja, karena uangnya pas-pasan. Dan satu-satunya alasan itu kok sulit sekali dimengerti orang yang kaya dari lahir sih?
Gimana mau nabung kalau penghasilan sebulan saja masih sering diakalin agar kebutuhan hidup terpenuhi? Itu belum ditambah dengan cicilan sana-sini, tagihan air, listrik, nambal utang, atau sekadar beli pulsa agar nomornya terus aktif.
Uang sejuta bagi orang kaya mungkin hanya buat bujet bensin sebulan. Namun, bagi orang miskin, uang sejuta itu ya buat kebutuhan macam-macam. Seorang anggota Pemuda Pancasila yang kerap diwawancara untuk konten TikTok ditanya begini, “Menurut Bapak, uang sejuta itu cukup nggak untuk kebutuhan istri sebulan?”
Bapak tadi menjawab lancar, “Kalo buat saya cukup Neng, kalo masalah kita ngaturnya bener mah, yang penting kita buat make up bini nggak usah mahal-mahal. Kalo umpama dia kondangan cukup pake bedak Viva aja, yang beli 2 ribu diteprok ngebul.
Kedua, kalo masalah ketika kita lagi pengen makan nih, nggak usah belanja ke warung. Kita lari ke kebon, ada jantung pisang kita sengget, ada pete kita rambet (tarik), ada daun singkong kita under (cabut).”
Coba pertanyaan yang sama diajukan ke orang-orang kaya itu, uang segitu ya paling-paling cuman bisa buat jajan. Jadi sekali lagi, bukannya kalangan menengah ke bawah nggak mau nabung, tapi begitulah cara mereka bertahan hidup. Orang kaya memang terbiasa berpikir bahwa masih ada hari esok, tapi bagi orang miskin hanya ada hari ini.