ERA.id - Menjelang akhir tahun 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tiba-tiba mengungkapkan terbukanya peluang sistem proporsional tertutup pada Pemilihan Umum (pemilu) 2024 nanti. Hal itu bisa terjadi jika ada putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jadi kira-kira bisa diprediksi atau nggak putusan Mahkamah Konstitusi ke depan? Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," ujar Ketua KPU Hasyim Asy'ari dalam 'Catatan Akhir Tahun KPU RI 2022' di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/2022).
Sistem proporsional tertutup berarti pemilih hanya memilih partai politik saat pemilu dan bukan memilih calon legislatif. Sedangkan soal siapa yang akan duduk di parlemen tergantung keputusan dari partai politik. Sistem tersebut sempat digunakan pada era Orde Lama dan Orde Baru.
Adapun sejak 2009, pemilu beralih menggunakan sistem proporsional terbuka atau memilih langsung calon legislatif. Hal ini berdasarkan putusan MK yang kemudian dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait sistem proporsional terbuka.
Dikutip dari laman resmi MK, rupanya ada yang menggugat Undang-Undang tersebut dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Uji materiil itu diajukan oleh kader PDI Perjuangan Demas Brian Wicaksono, kader NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Belakangan, NasDem membantah keterlibatan anggotanya dalam daftar penggugat tersebut. Hingga hari ini, Selasa (3/1/2022), hanya PDIP yang terang-terangan mendukung wacana sistem proporsional tertutup. Apa imbasnya jika sistem ini dihidupkan kembali?
Dalih para pendukung sistem proporsional tertutup
PDIP satu-satunya partai politik yang mendukung sistem proporsional tertutup. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa sikap tersebut merupakan keputusan Kongres V PDIP.
"Dalam pandangan PDI Perjuangan dengan keputusan Kongres ke-V, sistem pemilu dengan proporsional tertutup sesuai dengan perintah konstitusi di mana peserta Pileg adalah parpol," ujar Hasto.
Ia menambahkan beberapa keuntungan dari sistem proporsional tertutup, yaitu mendorong proses kaderisasi partai politik, mencegah terjadinya liberalisasi politik, mengurangi kecurangan dalam pemilu, dan menghemat biaya pemilu di tengah berbagai masalah ekonomi.
"Tetapi, hal itu tentu saja menjadi ranah dari DPR RI terkait dengan hal tersebut," kata Hasto.
Di luar parlemen, beberapa pihak juga menyuarakan wacana sistem proporsional tertutup, salah satunya dari Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang menganggap bahwa sistem pemilu yang dijalankan saat ini bermasalah karena menimbulkan praktik politik uang dan perlu dievaluasi.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengatakan sistem proporsional terbuka membuat masyarakat cenderung memilih figur yang populer dan bermodal. "Sehingga kekuatan uang memang terasa begitu dominan," ujarnya usai peresmian PAUD Aisyiyah 2 Bumirejo, Kabupaten Magelang, Sabtu (31/12/2022). Ia menambahkan bahwa hal itu menimbulkan politik identitas yang dilandasi sentimen-sentimen keagamaan, kesukuan, atau kedaerahan.
Oleh sebab itu, lanjutnya, Muhammadiyah menawarkan dua opsi sistem pemilu alternatif. Pertama, sistem proporsional tertutup yang telah disampaikan sejak Tanwir Muhammadiyah 2014 di Samarinda. Kedua, sistem proporsional terbuka-terbatas yang sempat berlaku pada Pemilu 2004.
Banyak yang menolak sistem proporsional tertutup
Salah seorang kader NasDem disebut-sebut ikut jadi penggugat yang ingin mengembalikan sistem proporsional tertutup. Namun, Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya membantah hal tersebut. Ia menjelaskan, status keanggotaan Yuwono Pintadi yang melakukan uji materi ke MK sudah berakhir sejak 2019.
"Jika ada hal-hal strategis dan politis secara garis partai sudah jelas, kita menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Oleh karenanya jika ada orang yang mencatut Partai NasDem atas kepentingan individu tertentu jelas ini melanggar kebijakan partai," tegas Willy.
Penolakan senada diungkapkan oleh mayoritas partai politik yang lain. Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini mengatakan sistem pemilu legislatif proporsional terbuka selayaknya dipertahankan karena lebih representatif dan demokratis.
"Inilah makna representasi rakyat yang sesungguhnya. Rakyat memiliki kedaulatan untuk memilih, mengawal, dan mengevaluasi wakilnya. Derajat representasi juga jauh lebih kuat dan mengejawantahkan istilah yang kita kenal dalam sistem proporsional terbuka yaitu opovov atau one person, one vote, one value," tegas Jazuli.
Sementara itu, Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Daulay terang-terangan menyebut bahwa mayoritas partai politik dan masyarakat masih menginginkan sistem proporsionalitas terbuka. "Katanya, sistem proporsional terbuka akan membuka peluang money politics. Jika itu benar, bukan berarti sistemnya yang salah. Tetapi, instrumen pengawasan dan penegakan hukum yang perlu ditingkatkan," kata Saleh.
Ia mengatakan politik uang bisa terjadi di mana saja, bahkan dalam sistem proporsional tertutup bisa jadi lebih berbahaya. "Caleg-caleg kan otomatis berburu nomor urut. Pasti ada kontestasi di internal partai. Di titik ini, ada peluang money politic ke oknum elit partai untuk dapat nomor bagus," ujarnya. "Ini menurut saya lebih bahaya, tertutup dan tidak kelihatan. Hanya orang tertentu yang punya akses."
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid menyebutkan bahwa sistem proporsional tertutup ibarat 'memilih kucing dalam karung'. Para pemilih hanya memilih partai politik tanpa tahu siapa yang akan mewakili suaranya nanti di parlemen.
“Maka sewajarnya permohonan judicial review untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup ini tidak dikabulkan oleh MK," ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu (31/12/2022). "Pemilu tahun 2009, 2014, dan 2019 sudah proporsional sesuai ketentuan konstitusi, yakni rakyat sesuai ketentuan UUDNRI 1945 diberi hak bebas memilih nama-nama caleg untuk menjadi wakilnya di parlemen."
Selain itu, menurutnya, sebagian partai politik belum melakukan transparansi dan kaderisasi yang baik untuk hadirkan kader-kader berkualitas sebagai wakil rakyat. Ini yang kemudian jadi celah paling besar dalam sistem proporsional tertutup. Apakah ada jaminan dari partai politik bahwa mereka akan memilih anggota legislatif yang mumpuni? Seperti kata Saleh Daulay sebelumnya, politik uang malah bisa terjadi di internal partai. Kalau sudah begitu, rakyat mungkin saja mendapatkan wakil rakyat koruptor tanpa mereka ketahui.