ERA.id - Pandemi kemarin–harus diakui–punya dampak tidak main-main. Misalnya, pas saya daftar BPJS di Tangerang Selatan circa 2021, ratusan orang mengantre sambil jaga jarak, rata-rata mereka ingin pindah dari BPJS Ketenagakerjaan ke mandiri gara-gara kena PHK. Namun, di satu sisi, pandemi juga mengajarkan kita banyak pilihan lain dalam hidup.
Ekonomi jelas macet, tapi acara-acara seremonial yang buang-buang waktu dan biaya juga terhenti. Bahkan kita jadi sadar bahwa bekerja dan belajar bisa dilakukan dari rumah. Mendadak kelas-kelas kosong dan wisuda kelulusan digelar lewat layar kaca. Tak ada foto-foto meriah untuk digantung di ruang tamu, tapi kita kembali diingatkan bahwa wisuda hanya simbol, seperti juga gelar, sedangkan esensinya adalah ilmu pengetahuan yang ada di kepala.
Ketika pandemi kelar dan orang-orang mulai hidup normal, saya sempat membayangkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan efisien. Saya berangan-angan alangkah indahnya dan panjangnya hidup tanpa tetek bengek acara seremonial yang tak perlu. Bayangkan saja kita ikut seminar tanpa perlu mendengar sambutan macam-macam.
Namun, saya meleset. Pandemi tiga tahun memang sulit mengubah tabiat bangsa ini yang doyan upacara dan pesta. Terbukti pandemi ini tak menyadarkan kita betapa sia-sianya wisuda anak TK hingga SMA.
Kalau ada yang bilang begini, “Biarin aja sih, yang penting anak senang.” Saya jamin mereka itu wali murid tajir yang tak pernah mengalami rasanya dihantui utang. Dan saya yakin rata-rata wali murid di Indonesia bukan termasuk golongan tadi. Lha wong guru besar IPB, Prof. Didin Damanhuri pernah bilang aset empat orang terkaya di Indonesia itu setara aset 100 juta rakyat miskin.
Di tengah lautan wali murid, khususnya yang berekonomi pas-pasan, wisuda buat anak sekolahan jelas jadi momok besar, termasuk bagi teman jurnalis saya Riki Noviana. Kemarin ia habis mengeluhkan biaya perpisahan SD anaknya yang merogoh kocek sekitar Rp700 ribu. Gak masuk akal, katanya.
Banyak wali murid lain juga bersuara di media sosial, saya yang baru saja punya anak juga ikut kepikiran. Wajar dong, biaya segitu cukup buat sewa kamar kos sebulan di gang-gang kecil Jakarta, cukup untuk uang bensin pulang-pergi kantor sebulan, dan bisa digunakan untuk bayar iuran BPJS hingga tujuh bulan. Menghabiskannya hanya untuk sehari demi punya kenang-kenangan foto anak SD pakai toga jelas mubazir.
Ini makin meresahkan ketika belum ada peraturan pemerintah yang jelas mengatur soal wisuda anak sekolah. Memang betul pemerintah tidak menyuruh, tapi mereka juga tidak melarang. Amit-amitnya kalau sampai ada yang menganggap ini sebagai kewajiban. Dan selama ada kemungkinan tersebut, bukankah sebaiknya diantisipasi dulu?
Tak hanya wali murid, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga sudah ikut nimbrung mengomentari tren wisuda anak sekolah. Kata mereka, kementerian pendidikan mestinya mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa wisuda tidak wajib dilaksanakan supaya acara itu tidak dianggap sebagai program wajib atau bagian dari proses kelulusan.
Melihat banyaknya pihak yang keberatan, maka wajar saja kita bertanya-tanya siapa yang sebenarnya menghendaki wisuda anak sekolah ini? Apakah anak-anak yang belum akil balig itu? Para wali murid yang kaya raya? Ataukah oknum-oknum di sekolah yang aji mumpung dapat pemasukan tambahan? Bagaimana kita tidak suuzan setelah baca berita tabungan miliaran rupiah anak SD di Pangandaran dipinjam guru dan tak bisa dicairkan?
Sudahkah pendidikan karakter kita mencerdaskan kehidupan bangsa?
Setidaknya ada dua tugas negara yang diamanatkan Undang-Undang: mencerdaskan kehidupan bangsa dan merawat fakir miskin. Sementara fenomena wisuda anak sekolah secara terang-terangan bertolak belakang dengan semangat tadi. Apakah anak sekolah jadi tambah cerdas setelah diwisuda? Tidak. Apakah wisuda meringankan kehidupan keluarga miskin? Jelas tambah susah. Lalu apa fungsinya selain jadi fashion show seperti yang biasa kita saksikan pas Hari Kartini?
Seandainya mencerdaskan kehidupan bangsa semudah mendirikan panggung dan menggelar upacara megah, harusnya bangsa ini sudah cerdas sejak puluhan tahun lalu. Nyatanya, rata-rata IQ orang Indonesia mangkrak di angka 70 dan jauh tertinggal dari negara-negara Asia lain. Sementara banyak perpustakaan di sekolah jadi ruangan angker yang jarang disinggahi. Dan wisuda tak memperbaiki apa pun.
Lebih lanjut lagi, yang dimaksud “mencerdaskan kehidupan bangsa” jelas tak terbatas pada mencerdaskan otak, tetapi juga mencangkup watak dan sikap. Tengok saja UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di sana ditulis bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa. Tujuannya adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia.
Pada peringatan Hari Pendidikan tahun 2010, menteri pendidikan saat itu, Mohammad Nuh, secara resmi mencanangkan penerapan pendidikan karakter di Indonesia. Lagi-lagi, hari ini kita bisa bertanya, karakter macam apa yang ingin diajarkan kepada peserta didik lewat wisuda sekolah?
Banyak berita akhir-akhir ini justru menunjukkan karakter anak sekolah yang amburadul. ODGJ di Banten disiksa selama tiga hari, dikencingi, dibakar, dan mati membusuk. Pelakunya empat orang pelajar tingkat SD-SMP. Di Ciamis, seorang siswi SMK disayat lehernya oleh perempuan yang baru lulus SMA gara-gara masalah pacar. Sejumlah pelajar SMP di Bandung mengeroyok seorang anak dan mengancam akan membunuhnya dengan obeng.
Dari mana anak-anak ini belajar jadi seberingas itu? Kalau mengutip pepatah lawas “guru kencing berdiri murid kencing berlari”, maka jawabannya ada di depan mata. Menurut FGSI, dari total 19 pelaku kekerasan seksual di satuan pendidikan yang tercatat sepanjang tahun lalu, 73,68% berstatus guru.
Namun, menyalahkan guru sepenuhnya juga salah. Bagaimana pun mereka hanya salah satu gir penggerak dalam sistem pendidikan nasional. Kita tidak bisa berharap banyak punya sumber daya guru berkualitas dengan nasib mereka yang luntang-lantung.
Bayangkan saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bilang korban paling banyak terjerat pinjol berprofesi sebagai guru. Artinya, banyak guru tak bisa hidup layak hanya dengan modal gaji mereka. Akhirnya, jangan heran kalau anak-anak kita sering mendapat guru yang tak fokus mengajar karena harus nyambi kerja sana-sini. Sekali lagi, masalah pelik seperti ini tak bakal beres hanya dengan menggelar wisuda.
Menunggu negara hadir
Wisuda pada awalnya adalah prosesi pemberian ijazah kepada para sarjana atas disiplin ilmu yang telah mereka tekuni lewat jenjang pendidikan tinggi. Wisuda secara simbolik menahbiskan seseorang sebagai akademisi pada bidang keilmuan tertentu. Maka orang yang diwisuda seharusnya mempunyai spesialisasi, entah itu sarjana teknik, sarjana hukum, sarjana ekonomi, dan sarjana-sarjana lainnya. Sementara pendidikan dasar hingga menengah di Indonesia belum mengajarkan keilmuan yang spesifik, lalu buat apa wisuda?
Ada banyak hal yang lebih penting dan bisa kita cari solusinya bersama untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Salah satunya pemenuhan gizi anak-anak. Sejak kecil kan kita sudah dinasehati: Mens sana in corpore sano, ‘dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat’. Mengapa tidak itu saja yang kita fokuskan ketimbang bikin acara-acara kurang kerjaan?
Menurut kementerian kesehatan, prevalensi stunting di Indonesia pada 2022 mencapai 21,6%, alias satu dari lima anak di Indonesia mengidap kurang gizi. Anak-anak kita mungkin saja di antaranya, atau bahkan kita sendiri mengalaminya tanpa disadari.
Sialnya, anggaran Rp10 miliar untuk mengatasi stunting malah habis buat jalan-jalan dan rapat di kementerian dalam negeri. Ampun deh! Di tengah kenyataan pahit ini, masak sih kita lebih memikirkan wisuda anak-anak sekolah agar terus dipertahankan?