Jemaat Gereja Ortodoks di Indonesia: Hidup Menjadi Minoritas di antara Minoritas

| 27 Dec 2023 19:00
Jemaat Gereja Ortodoks di Indonesia: Hidup Menjadi Minoritas di antara Minoritas
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Parkiran mobil di Gereja Ortodoks Rusia St Thomas tampak setengah penuh pada Minggu (17/12/2023) pagi saat kami ke sana. Bangunan berhalaman luas di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu sejatinya tak tampak seperti gereja. Tak ada plang nama gereja atau salib Kristus terpampang di luar. Yang ada hanya penjaga gerbang, pepohonan rindang, dan kesunyian di pagi hari akhir pekan.

Ada beberapa bangunan terlihat setelah memasuki gerbang, tetapi yang dijadikan gereja peribadatan terletak di pojokan seberang kolam baptis—dengan jendela berornamen serupa salib. Saat melewati kolam baptis, kami melihat lukisan “Doa Bapak Kami” dalam kaligrafi Arab di depannya. Orang awam mungkin bakal terkecoh dan salah mengiranya sebagai potongan ayat Al-Qur’an.

Kami tiba di sana menjelang pukul sembilan, lewat setengah jam dari jadwal Liturgi Ilahi atau ibadah Minggu jemaat Kristen Ortodoks Rusia dimulai. Dari kaca bundar kecil yang menghiasi dua daun pintu gereja, kami bisa mengintip belasan orang sedang beribadah. 

Jemaat Gereja Ortodoks Rusia St Thomas sedang ibadah Liturgi Ilahi, Minggu (17/12/2023). (ERA/Agus Ghulam)

Ilustrasi “Pernikahan di Kana” yang menceritakan mukjizat pertama Yesus mengubah air menjadi anggur di pernikahan kerabatnya menyambut kami di depan pintu masuk. Dua kotak berisi kerudung menunggu khidmat di luar beserta lilin-lilin yang ditata di atas meja.

Setelah melewati pintu masuk, barulah kami merasa sedang berada dalam gereja. Sekeliling tembok berhiaskan gambar-gambar para Santo, Bunda Maria, juga Yesus Sang Juru Selamat. Namun, tidak seperti Gereja Katolik atau Protestan pada umumnya, gereja ini hanya menyediakan kursi panjang di sisi belakang, bersandar dengan tembok. Sementara bagian tengahnya tampak lowong dengan gelaran karpet lembut. 

Belasan jemaat berdiri mengikuti alunan doa-doa yang dipimpin dua reader (pembaca doa dan kutipan-kutipan Alkitab yang dilantunkan dalam ibadah) di depan. Jemaat perempuan berdiri di sisi kiri tanpa tabir pemisah dengan jemaat laki-laki. Mereka mengenakan kerudung yang disiapkan di luar. 

Belakangan kami diberi tahu Romo Boris Setiawan (Kepala Paroki Gereja Ortodoks Rusia St Thomas), kalau dalam Kristen Ortodoks perempuan memang wajib memakai kerudung saat beribadah sesuai ajaran Alkitab.

Jemaat Gereja Ortodoks Rusia St Thomas sedang ibadah Liturgi Ilahi, Minggu (17/12/2023). (ERA/Agus Ghulam)

“Tuhan kasihanilah kami, Tuhan kasihanilah kami.” 

Doa itu kami dengar berulang-ulang selama ibadah kurang lebih dua jam yang hampir seluruhnya berdiri. Sejak kami masuk, hanya sekali para jemaat duduk, ketika Romo Boris menyampaikan khutbah singkat menjelaskan potongan ayat-ayat Alkitab yang mereka baca. Kali itu, ia bercerita soal orang Samaria yang berterima kasih kepada Yesus setelah tubuhnya ditahirkan dari penyakit kusta.

Tak sampai 15 menit, Romo Boris masuk kembali ke ruangan khusus paling depan dan jemaat kembali berdiri melanjutkan ibadah mereka. Beberapa kali mereka melantunkan doa sambil setengah rukuk, mengangkat tangan, dan membuat gambar salib di dada. Menjelang pukul sebelas, ibadah pagi itu rampung. Romo Boris berbaur dengan para jemaat yang jumlahnya sudah lebih dari 20 orang di akhir sesi.

Selanjutnya kami diajak makan siang bersama di bangunan sebelah. Kata Romo, sebelum Liturgi Ilahi umat Kristen Ortodoks biasa berpuasa sejak malam hari dan baru berbuka setelah selesai ibadah. 

Kisah Romo Boris: dari penganut Kejawen hingga bertemu Kristen Ortodoks

Romo Boris lahir dan besar di Jombang, Jawa Timur. Kedua orang tuanya menganut Kejawen dan anak-anaknya dibebaskan memilih kepercayaan masing-masing setelah dewasa. Akhirnya, kakak sulungnya sama-sama menganut Kristen Ortodoks, sedangkan kakak kedua dan adik-adiknya muslim.

“Saya biasa pulang kampung ke Jombang pas lebaran, karena pada ngumpul, banyak keluarga yang muslim,” cerita Romo Boris.

Kepala Paroki Gereja Ortodoks Rusia St Thomas Romo Boris Setiawan. (ERA/Muslikhul Afif)

Kami berbincang agak panjang setelah menyantap nasi goreng lauk pete yang disiapkan jemaat gereja. Rata-rata mereka sebelumnya penganut Kristen Katolik atau Protestan. Romo Boris sendiri awalnya menjajal berbagai macam tradisi keagamaan sebelum memutuskan dibaptis sebagai Kristen Ortodoks pada 1995.

“Sebenarnya saya tidak punya mimpi untuk menjadi seorang Ortodoks. Karena pada waktu itu saya juga tidak mengerti apa itu Ortodoks dan tidak pernah tahu bahwa ada Ortodoks,” ujarnya dalam gereja yang sudah sepi.

Pada masa mudanya, ia pernah sesekali pergi ke masjid atau gereja selain Ortodoks, mencicipi berbagai macam ibadahnya, tetapi ia lebih kepincut dan nyaman dengan tradisi Kejawen. Sebab sewaktu muda ia masih gemar belajar tenaga dalam dan hal-hal mistis lain, dan semuanya itu ia temukan dalam Kejawen. Bertahun-tahun mendalaminya, ia pun merasa kian sakti.

“Tetapi anehnya, ketika saya mendapatkan semuanya itu, saya menjadi sombong. Saya menjadi seolah-olah diri saya itu orang yang hebat, orang yang tidak terkalahkan, karena saya mempunyai banyak sekali kekuatan-kekuatan seperti itu,” tutur Romo Boris.

Ia lalu mulai mengadu ilmu dengan orang-orang yang dipandang sakti dan punya kanuragan. Hingga pada suatu hari, kakaknya memberitahu ada seseorang yang tak bisa dikalahkan.

“Saya terbakar kan, ya akhirnya datanglah ke dia. Coba aku lihat seberapa hebatnya ini orang. Ternyata dalam percobaan itu saya kalah,” ucapnya. “Setelah saya kalah, mau tidak mau saya harus belajar.”

Seorang jemaat Gereja Ortodoks Rusia St Thomas sedang menyalakan lilin dalam Liturgi Ilahi. (ERA/Agus Ghulam)

Ternyata yang mengalahkannya adalah seorang Kristen Ortodoks. Dari situ Romo Boris mulai belajar kepercayaan tersebut dan dibaptis pada 1995 hingga ditahbiskan sebagai pendeta sekitar 10 tahun kemudian. 

Setelah menjadi seorang Ortodoks, kesombongannya ikut rontok. Romo Boris tak lagi menggilai ilmu-ilmu kanuragan untuk adu kuat dengan yang lain. Ia pada akhirnya merasa sebagai manusia diciptakan hanya untuk kembali kepada Allah. 

“Jadi semua kita ini harus kembali kepada di mana Allah itu pertama menciptakan manusia. Yaitu menurut Alkitab adalah serupa dan segambar dengan Allah,” ujarnya.

“Kalau dulu saya tidak pernah memikirkan kenapa kita harus berpuasa, kenapa kita harus berbuat baik. Saya tidak pernah memikirkan itu untuk apa. Setelah jadi Ortodoks, saya mengerti kenapa saya harus melakukan semuanya itu. Supaya kita kembali kepada di mana Allah itu menciptakan manusia, menjadi serupa dengan Allah. Kita harus kembali.”

Gereja Ortodoks di Indonesia: minoritas di antara minoritas

Gereja Ortodoks relatif baru di Indonesia dan usianya masih menginjak tahun ke-35 sejak pertama kali berdiri di Solo, Jawa Tengah pada 1988. Waktu itu, kata Romo Boris, ajaran Kristen Ortodoks dibawa ke sini oleh seorang pemuda yang belajar di Korea dan ditahbiskan sebagai Romo dan Diakon.

Pemuda yang dimaksud Romo Boris adalah Daniel Bambang Dwi Byantoro yang tahun ini diangkat sebagai Episkop atau uskup Gereja Ortodoks di suatu wilayah. Episkop Daniel dari Nikopolis Indonesia ditahbiskan oleh Episkop Agung Kallinikos dari Yunani.

Episkop Daniel juga yang menerjemahkan buku-buku liturgi ke dalam Bahasa Indonesia. Perjuangannya berbuah pengakuan resmi dari pemerintah terhadap eksistensi Gereja Ortodoks. Selanjutnya, Kristen Ortodoks berada di bawah Bimas Kristen Kementerian Agama RI.

Lilin yang disiapkan untuk Liturgi Ilahi jemaat Gereja Ortodoks Rusia St Thomas. (ERA/Agus Ghulam)

Setelah lebih dari 30 tahun Gereja Ortodoks eksis di Indonesia, pengikutnya semakin bertambah setiap tahun, tetapi masih terhitung sangat sedikit dibandingkan umat lain. Romo Boris mengatakan jumlahnya tak lebih dari 5.000 orang. Di Gereja Ortodoks Rusia St Thomas sendiri, umat yang dilayaninya tak sampai 50. Dalam pelayanannya, Romo Boris dibantu oleh seorang Diakon berusia lanjut dan tiga reader. 

"Tantangan sebagai Kristen Ortodoks, kita adalah seorang yang minoritas di antara minoritas. Mungkin seperti itu. Kita sangat kecil sekali," ujar Romo Boris.

"Kemudian pada waktu puasa seperti ini, kadang-kadang kita kesulitan untuk mencari makanan vegetarian. Jadi kita walaupun pergi ke warteg pun, kita harus mencari makanan yang tidak ada dagingnya sama sekali," lanjutnya.

Menjelang perayaan Natal yang dirayakan setiap malam 6 Januari bagi Kristen Ortodoks, mereka memang mengisi hari demi hari dengan berpuasa untuk menyambut kedatangan dan kelahiran Yesus Kristus. Perihal perbedaan tanggal dengan Kristen Katolik dan Protestan, Romo Boris menjelaskan bahwa mereka menggunakan Kalender Julian.

"Pada dasarnya perbedaan dari kalender saja. Karena kita memakai kalender Julian, sementara orang-orang itu memakai Kalender Gregorian. Sebenarnya tanggal 6 Januari itu tanggal 25 Desember, karena kita beda kurang lebih antara 12 sampai 13 hari," sebut Romo Boris.

Sebagai minoritas di antara minoritas, Romo Boris pun bercerita masih banyak orang bertanya-tanya tentang Kristen Ortodoks. Bukan hanya dari kalangan non-Kristen, tapi juga komunitas Kristen itu sendiri. Sebagian orang juga mengira tata cara ibadah mereka meniru agama lain.

“Seperti halnya kerudung itu, di dalam Alkitab pun disebutkan bahwa seorang perempuan itu memang harus pakai kerudung ketika bernubuat dan beribadah. Maksudnya bernubuat itu adalah mengajar, itu dia harus memakai krudung,” ujar Romo Boris.

Seorang jemaat Gereja Ortodoks Rusia St Thomas sedang berdoa di hadapan ikon salib Yesus. (ERA/Agus Ghulam)

Mereka juga punya ibadah harian di luar Liturgi Ilahi saban hari Minggu. Sebagian beribadah di rumah tiga kali sehari (merujuk kepada Nabi Daniel), yang lain beribadah sampai tujuh kali sehari (merujuk kepada Nabi Daud). 

“Jadi, ya kita berusaha untuk menjelaskan bahwa apa yang kami lakukan itu sesuai dengan tradisi yang ada di Alkitab juga. Kita tidak meniru apa yang dilakukan oleh saudara-saudara kita, baik itu Yahudi maupun Islam,” lanjut Romo Boris.

Ia pun meluruskan pengertian Ortodoks yang masih sering disalahpahami sebagai “kolot” seperti dalam terjemahan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ortodoks berasal dari bahasa Yunani, yaitu orthos ‘lurus’ dan doxa ‘ajaran’.

“Jadi Ortodoks itu maksudnya ajaran yang lurus. Kenapa sampai muncul kata-kata seperti itu? Pada waktu itu Gereja Ortodoks ada dua, di timur dan barat. Yang di barat itu namanya Roma. Yang di timur itu ada beberapa nama, salah satunya ada di Konstantinopel yang sekarang menjadi Turki atau Istanbul,” ujar Romo Boris.

Dahulu, cerita Romo Boris, ada beberapa ajaran yang melenceng di timur dan mereka mengolok-olok para imam gereja yang mempertahankan ajaran yang benar. 

“Jadi pada dasarnya kita pada waktu itu membela ajaran dari para Rasul pada waktu itu. Dan sampai sekarang kita mencoba untuk mempertahankan. Makanya apa yang kita pakai, apa yang kita gunakan itu masih pada zaman para Rasul,” jelas Romo Boris.

Sebelum kami berpisah, Romo menyampaikan pesan damai Natal kepada kami. 

“Natal ini menyambut kedatangan dari Tuhan kita, Yesus Kristus, di mana bagi orang-orang Kristen bahwa Yesus Kristus itu adalah Sang Juru Selamat dan membawa damai. Dan kita berharap bahwa kedatangan dari Tuhan kita, Yesus itu akan membawa damai bukan hanya kepada orang Kristen saja, tetapi menjadi damai bagi semua orang yang ada di dunia ini.”

Rekomendasi