Kuliah Psikologi Gak Worth It? Seutas Cerita dari Master Psikologi

| 05 Jan 2024 19:05
Kuliah Psikologi Gak <i>Worth It</i>? Seutas Cerita dari Master Psikologi
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Waktu SMA dulu, guru bimbingan konseling kerap mengingatkan murid-murid kelas 3 yang mau meneruskan kuliah psikologi untuk berpikir matang-matang. “Sudah siap buang umur?” katanya. Konon, kuliah psikologi tak cukup hanya S1. Saya sendiri akhirnya tak jadi mengambil psikologi. Belakangan, saya kembali mendengar curhatan anak psikologi di media sosial yang bilang kalau sarjana psikologi adalah salah satu program sarjana paling tak berguna.

Di antara teman seangkatan saya, hanya segelintir juga yang masuk psikologi. Kebanyakan berhenti di S1 dan tak melanjutkan ke jenjang profesi. Lelah kata mereka, dan biayanya cukup menguras tabungan. Tak heran jumlah psikolog klinis di Indonesia masih sangat minim. 

Menurut data Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, hanya ada 4.039 psikolog klinis yang terdaftar di seluruh Indonesia pada 2023. Dengan jumlah penduduk sekitar 278,8 juta jiwa, artinya setiap 1 psikolog klinis harus melayani kurang lebih 69 ribu orang. Padahal WHO menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu.

Prasetja, seorang lulusan psikologi yang cuitannya ramai di media sosial tidak menyarankan pendidikan sarjana psikologi sebagai pilihan tanpa memahami risiko fisik, finansial, dan waktu yang menyertainya. “Kenapa demikian? Karena kompetensi dan lapangan kerjanya masih belum jelas,” jelasnya.

Saya lalu bertanya kepada seorang lulusan lain yang sabar menempuh jurusan psikologi hingga jenjang S2, Dianita. Ia pun sepakat kalau lulusan S1 psikologi masih di wilayah “abu-abu” karena ranahnya hanya bisa konseling. 

“Untuk jadi psikolog itu dari S1 ambil S2 profesi. Nah profesi ini sampai selesai semua baru bisa jd psikolog, tapi untuk praktek tetap butuh Surat Izin Praktik Psikolog Klinis (SIPPK). Ini yang boleh diagnosa orang ada gangguan psikis dan segala macamnya,” ujar Dianita, Jumat (8/12/2023).

“Dengan perkembangan zaman, emang S1 sekarang kayaknya enggak terlalu banyak dicari. Banyakan yang psikolog,” lanjutnya.

Dian sendiri tidak mengambil profesi selulusnya S1, tetapi magister sains psikologi. Gelar yang didapat adalah M.Si. Selain karena biayanya lebih murah, minat utamanya memang lebih ke penelitian dan pengembangan psikologi dalam bidang kesukaannya: Olahraga.

“Berarti pilihan karir mahasiswa psikologi tak melulu jadi psikolog klinis?” tanya saya. 

“Misal tertarik ke konseling atau pengen jadi psikolog, ya dasar-dasar ilmunya diperkuat lalu setelah lulus ambil profesi,” jawab Dian. “Tapi kalau suka penelitian juga bisa jadi ilmuwan atau nulis jurnal ilmiah, bisa profiling komunitas dan lain-lain. Banyak pilihannya, tinggal jeli aja.”

Yang harus dipertimbangkan sebelum terjun ke psikologi

Dian menempuh jenjang sarjana hingga master di Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur. Ia mulai masuk kuliah S1 pada 2008, sayangnya harus lulus agak terlambat dan baru diwisuda pada 2015. Ia mengaku awalnya ingin mengambil jurusan teknik, bahasa Inggris, atau hukum, tetapi ibunya menuntut agar masuk psikologi.

“Aku pun enggak tau juga kok ngeyel nyuruh ke jurusan itu. Kalau dari bapakku cuma bilang pokoknya jangan hukum, karena risikonya besar, apalagi untuk cewek,” cerita Dian.

Ia pun diterima di jurusan psikologi yang menjadi opsi terakhirnya. Waktu pertama kali masuk, ia tak punya gambaran apa pun tentang jurusan itu. Ia hanya ingat saudaranya pernah bilang kalau psikologi tak pakai hitung-hitungan. Namun, seiring berjalannya kuliah, ia sadar bahwa matematika tetap dipakai dalam psikologi.

“Faktanya di semester-semester awal nemu statistik dasar. Ada juga psikometri dan konstruksi alat ukur yang juga banyak hitung-hitungannya,” ujar Dian.

Mendapati fakta begitu, ia menyarankan teman-teman yang ingin melanjutkan kuliah psikologi atas dasar menghindari matematika agar membuang ide tersebut jauh-jauh. 

Awal-awal kuliah, beberapa senior memberinya pesan sambil tertawa, “Kamu kuliah di psikologi berarti sekaligus rawat jalan loh.” Dan ia mengamininya seiring semester demi semester berlalu.

“Aku sendiri dulu pernah ngalami masa-masa awal ke depresi, kebetulan tesisku tentang pengaturan emosi. Pas selesai sidang, mau nyerahin revisian, dipanggil dosenku, dikonseling gitu sampai nangis-nangis,” ceritanya.

“Setelah itu, dikit-dikit aku nerapin juga yang dari tesisku ke diri sendiri. Seenggaknya meski mungkin gak selalu cocok ke orang, tapi ada banyak opsi yang bisa dilakukan.”

Selain itu, yang perlu jadi pertimbangan lagi sebelum mendaftar psikologi adalah biaya kuliah. 

“Biayanya juga cukup mahal. Dan itu lumayan banyak. Makin ke atas makin mahal sih biayanya,” ujar Dian.

Di Airlangga dulu, ia membayar Rp3,5 juta per semester selama kuliah S1. Sementara waktu lanjut S2, bayarannya menjadi Rp7,5 juta. Itu masih belum seberapa dibandingkan biaya kuliah profesi yang mencapai belasan juta ditambah banyak praktikum yang juga butuh uang. Sementara kita tahu, psikologi tak cukup bermodalkan S1 untuk bertahan di dunia kerja.

Kiat-kiat mencari peruntungan di psikologi

“Untuk status S.Psi yang sering disebut abu-abu sih aku setuju. Tapi untuk peluang kerja, menurutku jauh lebih luas. Ada banyak campuran ilmu di dalamnya,” ujar Dian.

Ia, misalnya, lebih memilih menjadi ilmuwan psikologi ketimbang psikolog klinis yang harus menempuh pendidikan profesi. Awalnya, minatnya sempat berayun antara psikologi forensik dan psikologi olahraga. Namun, akhirnya ia menetapkan pilihan di bidang olahraga karena lebih lama bersinggungan di dunia itu.

Dian suka menonton bola sedari kecil. Ia sendiri lahir di Surabaya, tapi sudah lama tinggal di Gresik. Waktu duduk di bangku SMP, klub Petrokimia Putra Gresik memenangi Liga Indonesia dan mengadakan perayaan di dekat stadion dan mess klub. Dian lalu berkenalan dengan para pemain, pelatih, dan manajemen klub dari sana. 

“Dari lama emang duniaku di sepak bola. Terus karena emang dari dulu juga sering jadi tempat curhat pemain-pemain gitu, punya ide kalau setelah lulus S1 mau ngembangin yang berkaitan sama sepak bola,” Dian berkisah.

Walhasil penelitian S2-nya fokus ke regulasi emosi pemain, karena ia sering melihat kekerasan di lapangan, protes berlebihan ke wasit, penurunan fokus pada menit-menit akhir, pemain lengah setelah mencetak gol, dan lain-lain.

Dian merasa dipermudah jalannya karena semasa kuliah sudah sering turun ke lapangan, magang konselor, jadi tester, dan lain-lain. Karena itu, ia menyarankan teman-teman mahasiswa psikologi agar sering praktek selama kuliah.

“Karena sekarang udah banyak program magang ya manfaatkan dengan baik. Diperluas juga jejaringnya sejak kuliah. Itu bisa sangat bantu mengecilkan tujuan nanti setelah kuliah mau ke mana dan ngapain,” ujarnya.

Misalnya, di momen menjelang pemilihan umum seperti ini, biasanya banyak calon yang butuh konsultasi. Dosennya dulu sering diminta mereka untuk mengarahkan pose kampanye dan sebagainya untuk dijadikan media promosi.

“Kalau ingin jadi psikolog, diperkecil juga minatnya ke mana. Ke pendidikankah, ke anak-anak atau keluargakah, ke industri, olahraga, hukum, dan lain-lain,” lanjutnya.

Tanpa bayangan dan minat yang jelas ke depannya, lulusan psikologi bagi Dian hanya akan berakhir menjadi cenayang yang diminta menebak isi kepala orang. 

Rekomendasi