Menyoal Batas Usia Lowongan Kerja, Siapa Rugi?

| 10 Jan 2024 20:00
Menyoal Batas Usia Lowongan Kerja, Siapa Rugi?
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Partai Buruh baru-baru ini menyoal rekrutmen salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mencantumkan batas usia maksimal 24 tahun bagi pelamar. Sebelumnya, banyak warganet juga mengeluhkan perihal batasan usia dalam melamar kerja, padahal job description yang tertera dapat dikerjakan lintas usia.

Kebijakan ini tidak hanya diskriminatif, tapi juga melanggar prinsip kesetaraan dan keadilan dalam dunia kerja. Setiap individu, tanpa memandang usia, berhak atas kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan berkembang,” tulis keterangan resmi Partai Buruh di media sosial, Rabu (10/1/2024).

Mereka mendesak Bank BTN selaku BUMN yang dimaksud agar merevisi kebijakan tersebut dan menerapkan sistem rekrutmen yang lebih inklusif dan adil bagi semua.

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hentikan segala bentuk diskriminasi dalam dunia kerja!” lanjutnya.

Persoalan diskriminasi usia atau ageism dalam dunia kerja bukan persoalan baru, khususnya di Indonesia. Banyak orang mengkritisi kebijakan batas usia dan menganggapnya menutup kesempatan kerja bagi banyak orang berusia lebih tua yang masih berkompeten.

Dalam laman Quora, belasan orang urun pendapat mengenai iklan lowongan kerja di Indonesia yang kerap membatasi usia pelamar. Rata-rata mereka sepakat pembatasan usia tersebut kurang masuk akal dan merugikan, bukan hanya kepada pencari kerja, tetapi juga bagi pemberi kerja.

Abram B, Direktur Data Platform DevOps di Lennar, sebuah perusahaan real estat di Miami, Florida, mengatakan bahwa pembatasan usia pelamar tidak baik karena merupakan bentuk diskriminasi.

“Diskriminasi ada di mana-mana, walaupun di negara lain mungkin tidak separah di Indonesia,” ujar Abram. “Saya tinggal di Amerika Serikat dan tidak akan ada perusahaan yang berani demikian. Perusahaan tidak bisa menanyakan umur, berat badan, atau agama pegawai.”

Ia bercerita pernah memiliki pegawai berusia di atas 50 hingga 60 tahun di timnya. Menurutnya, selama mereka memiliki kapasitas dalam pekerjaannya, seharusnya kita tidak menutup kesempatan hanya karena persoalan usia.

“Satu-satunya pengecualian adalah di mana pekerjaan tersebut membutuhkan kemampuan fisik tertentu—misalnya menggotong meja, angkut karung, dan sebagainya. Di posting pekerjaan tersebut bisa dibilang ‘dibutuhkan tenaga kerja yang sanggup mengangkat berat minimal X kilogram’,” lanjutnya.

Arie M. Prasetyo, Head of Engineering Zenius juga sependapat dengan Abram. Ia merasa prihatin dengan diskriminasi umur di Indonesia dan menyadarinya sewaktu bekerja di Australia.

“Sebagai contoh, kantor saya menerima banyak pegawai baru yang usianya sudah di atas 50 tahun, bahkan untuk posisi-posisi bawah (tak memiliki bawahan), seperti customer relations dan database developer. Untuk posisi pendukung seperti resepsionis bahkan ada yang berusia 60-an,” ungkapnya.

Namun, berbeda dengan Abram dan Arie, ada juga yang memaklumi pembatasan usia dalam lowongan kerja sebagai bentuk kebebasan pemberi kerja mencari rekrutmen terbaik.

Azkara misalnya, ia merupakan anak pemilik warung makan dan orang tuanya selalu mencari pegawai di bawah 25 tahun yang masih lajang. Alasannya karena di atas usia itu tidak akan lama bekerja. Selain itu, pegawai berusia muda juga lebih mudah dididik.

Demikian pula Ari Artare, seorang engineering yang berpendapat bahwa pembatasan usia pelamar kerja bukan hal diskriminatif, tetapi berdasarkan pertimbangan keterampilan, produktifitas, dan masa kerja.

“Sebenarnya sangat logis kalau sebuah perusahaan menginginkan karyawan yang produktif. Dan umur adalah unsur paling mudah untuk membedakannya,” ujar Ari.

Diskriminasi usia dan siapa yang banyak dirugikan?

Mengutip laman ageism.org, ageism adalah bias ketika seorang pekerja mendapat pandangan dan perlakuan berbeda terkait umurnya, seperti soal stigma penurunan produktivitas ketika seseorang mencapai usia tertentu. Dalam hal ini, pembatasan usia maksimal dalam iklan lowongan kerja merupakan salah satu bentuk ageism dan berpotensi melanggar hak-hak pekerja.

Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa setiap pelamar kerja memiliki hak yang sama dalam setiap kesempatan untuk mendapat pekerjaan tanpa diskriminasi. Indonesia juga tergabung dalam International Labour Organization (ILO) dan ikut mengesahkan konvensi ILO tentang hak tenaga kerja.

Namun, peraturan yang ada memang hanya mengatur soal batas usia minimal pekerja. Dalam UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment, usia minimal pekerja adalah 18 tahun. 

Selebihnya, UU Ketenagakerjaan menjamin “setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan” dan Konvensi ILO menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memastikan tidak ada diskriminasi dalam proses rekrutmen.

Oleh karena itu, meski tidak ada larangan eksplisit dalam undang-undang terkait pembatasan usia maksimal pelamar kerja, mencantumkan syarat usia dalam lamaran kerja merupakan salah satu bentuk diskriminasi usia yang seharusnya dihindari.

Imbas dari pembatasan usia ini khususnya berdampak signifikan pada pekerja perempuan, di mana banyak dari mereka berhenti bekerja sementara waktu setelah menikah, hamil, dan memiliki anak. Ketika mereka ingin kembali melamar kerja, usia mereka terlanjur melewati batas usia yang disyaratkan.

Maka tak mengherankan jika melihat jumlah angkatan kerja perempuan di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2022, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki sebesar 83,87%, sementara perempuan hanya sebesar 53,41%.

Bahkan, menurut penelitian Dosen Hukum UGM Nabiyla Risfa Izzati soal "Bias Gender dalam Ekonomi Gig", perempuan yang kembali bekerja setelah vakum seringkali hanya bisa mendapat kerja di sektor informal. Ia mewawancarai para perempuan pengemudi ojek online dan rata-rata mereka mengaku terpaksa menarik ojek karena usianya tak lagi memungkinkan untuk kerja kantoran, padahal usia mereka masih berkisar antara 30-40 tahun.

Selain itu, batasan usia juga bakal lebih merepotkan bagi pekerja kontrak yang tidak punya kepastian akan dikontrak hingga berapa lama. Ketika usia mereka tak lagi muda dan kontrak kerja mereka disudahi, maka akan lebih sulit bagi mereka untuk melamar kerja yang punya syarat usia maksimal.

Chris Tumimomor, seorang penerjemah lepas bercerita ia pernah ditanya teman luar negerinya seputar budaya kerja di Indonesia.

“Di Indonesia, rata-rata perusahaan punya standar ‘usia produktif’, yaitu minimal 20 tahunan, maksimal 30-35 tahun,” jawab Chris.

Mendengar itu, temannya terkejut. “Wah, repot sekali ya kalau begitu. Bagaimana kalau ada orang yang sudah 45 tahun atau 60-an dengan potensi yang lebih besar, namun terbentur masalah usia. Sangat disayangkan ya.”

Rekomendasi