ERA.id - Falguni baru berusia 18 bulan pada Februari 2024. Ia sudah mahir berjalan. Namun, Selasa (20/2/2024) kemarin, saat kami temui di Rumah Sakit Fatmawati, ibunya terus menggendong Falguni. Anak cantik itu tampak pucat dan kelelahan.
Dua-tiga minggu sekali, ia rutin mengunjungi rumah sakit untuk kontrol dan transfusi darah. Sebabnya, Falguni jadi satu dari sedikit pengidap thalassemia mayor di Indonesia. Siapa sangka anak sekecil itu harus berkelahi dengan penyakit genetik yang nyaris tak bisa disembuhkan sejak lahir.
“Awalnya saya tahu waktu Falgun umur enam bulan,” ujar Jessica sang ibu. Anak sulungnya, Benjamin, terus menyertai di sampingnya.
Berbeda dengan sang adik, Benjamin tampak aktif dan semangat. Usianya delapan tahun, sebentar lagi kelas dua sekolah dasar. Tiap dua-tiga minggu sekali ia juga selalu menemani adiknya transfusi darah.
Jessica bercerita mulai merasa ada yang tak beres waktu anak bungsunya enggan makan. Ia juga jadi lebih pendiam dan tampak lesu setelah masuk fase MPASI. “Dulu waktu Benjamin kan enggak begitu. Saya pikir apa karena anak perempuan lebih enggak aktif,” ucap Jessica.
Waktu dibawa ke RSUD Kemayoran, hemoglobin (Hb) Falguni ternyata rendah. Dokter menyarankan tes darah lebih lanjut. Jessica dan suaminya, Faisal, dihadapkan pada dua kemungkinan yang sama-sama berat, entah anak mereka mengidap kanker darah (leukemia) atau thalassemia.
“Saya enggak mau percaya. Saya masih berharap anak saya cuman kurang gizi aja,” kata Jessica.
Harapannya pupus seiring hasil laboratorium keluar. Falguni dinyatakan mengidap thalassemia mayor.
Thalassemia adalah kelainan darah bawaan (inherited blood disorder) yang diturunkan dari orang tua kepada anak melalui gen. Kebanyakan pasien thalassemia tidak punya cukup hemoglobin untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh. Itulah mengapa mereka harus transfusi darah seumur hidup.
Sejak divonis thalassemia, RS Fatmawati jadi rumah kedua Falgun. Biaya transfusi darah dan obat-obatannya sendiri ditanggung BPJS. Namun, seiring pertambahan usianya nanti, dosis obat yang bertambah harus dibayar pakai kocek pribadi.
Selain harus rutin transfusi darah, penderita thalassemia juga wajib mengonsumsi obat kelasi zat besi. Alasannya, penerima transfusi darah akan kelebihan zat besi dalam tubuh, dan kalau dibiarkan bisa menyebabkan kematian. Kata Jessica, biasanya kadar zat besi kisaran 100mcg/L. Namun, anaknya dan penderita thalassemia lain bisa mencapai 2000mcg/L.
Waktu kami berkunjung ke RS Fatmawati lalu, Falguni menerima dua kantong darah. Ia tak sendirian. Total ada 17 ranjang di poli thalassemia yang penuh terisi. Ruangan itu terasa penuh karena banyak keluarga pasien yang menemani. Di ruang tunggu, masih ada belasan lagi pasien thalassemia mengantri.
Falguni memang tampak seperti balita pada umumnya. Namun, pasien thalassemia lain berusia remaja wajahnya terlihat mirip-mirip dengan tulang pipi menonjol; hidung pesek; jarak antar kedua mata yang lebar; dan dahi yang luas.
“Kami sih berharap Falgun bisa bebas transfusi sebelum umur lima tahun,” ujar Faisal, ayah Falguni. “Saya enggak tega lihatnya, dari kecil disuntik, pasti ada traumanya.”
Agar bisa bebas dari transfusi darah, penderita thalassemia harus menjalani transplantasi sumsum tulang (BMT) atau disebut juga transplantasi stem cell. Faisal mendengar dari dokter anaknya kalau paling bagus itu dilakukan pada usia lima tahun ke bawah. Lewat dari itu, resiko komplikasinya semakin besar.
Namun, prosedur transplantasi tidak semudah membalik tangan. Selain tidak 100 persen berhasil, biaya yang dikeluarkan juga bukan main.
“Sekitar Rp2,5 miliar, itu kalau di Thailand,” kata Faisal.
Di rumah sakit Indonesia, nyaris tidak ada yang menjalankan prosedur operasi tadi. Maka biasanya penderita thalassemia di sini harus pergi ke Thailand, Malaysia, Singapura, atau India. Bagi Faisal, jarak keempat negara itu lebih dekat ketimbang biaya yang harus ia kumpulkan.
Ia dan Jessica sudah menghitung-hitung jika harus menjual tanah dan hampir semua properti yang mereka punya, tetapi itu pun belum cukup untuk menanggung biaya operasi. Faisal berkelakar harga dua ginjalnya juga tak semahal itu.
“Sekarang usaha yang terbaik aja, sambil terus berdoa. Sama ngingetin yang lain biar aware dengan penyakit ini,” ujar Faisal.
Mengenal thalassemia lebih dekat
Thalassemia merupakan penyakit genetik, seperti dijelaskan oleh dokter spesialis anak Karolien U. Gloria, MD. Menurutnya, penyakit ini menurun dari kedua orang tua yang sama-sama mengidap thalassemia.
“Selama masih ada thalassemia, untuk melahirkan anak yang ada thalassemia itu sangat tinggi juga,” ujar Karolien kepada ERA, Jumat (23/2/2024).
“Kecuali memang orang tua itu sembuh dari thalassemia, jadi tidak memiliki thalassemia lagi. Nah, untuk chance tidak mendapatkan anak yang ada thalassemia itu mungkin bisa,” lanjutnya.
Sementara ini, untuk sembuh dari thalassemia hanya bisa lewat BMT. Namun, menurut European Society of Blood and Bone Marrow Transplantation, survival rate penerima stem cell transplantation hanya sebesar 83-93 persen untuk yang berusia 14 tahun ke bawah.
“Memang agak tinggi, tapi itu cuman dua tahun berdasarkan studinya. Ada kemungkinan untuk dia kembali lagi. Jadi kita tidak bisa memprediksi itu cure secara total,” ujar Karolien.
Sementara survival rate bagi yang berusia di atas 14 tahun merosot ke angka 74-76 persen saja.
Dokter Karolien menjelaskan kalau thalassemia terbagi menjadi tiga kelas: Minor, intermediate, dan mayor. Penderita yang pertama hampir tak merasakan gejala sama sekali. Intermediate kemungkinan perlu transfusi darah secara berkala. Dan terakhir, penderita thalassemia mayor harus transfusi darah untuk bertahan hidup.
Sementara itu, Jessica dan Faisal seumur-umur baru mengetahui punya gen thalassemia setelah memeriksakan anak mereka, Falguni. Ternyata, keduanya pengidap thalassemia minor. Faisal tak punya gejala sama sekali, sedangkan Jessica mengaku memang kerap mengonsumsi obat penambah darah.
Beruntung Benjamin, anak pertama mereka, lahir tanpa dihantui penyakit ini. Namun, setelah anak kedua mereka lahir dan divonis thalassemia, Jessica disarankan tidak melahirkan lagi.
“Kalau mau punya anak lagi, kata dokter, harus bayi tabung,” ujar Faisal.
Menurut Karolien, satu-satunya langkah preventif untuk penyakit ini hanya mengecek apakah kita punya gen thalassemia sebelum memutuskan punya anak.
“Jadi… jika Anda ingin menikah, disarankan supaya Anda mengecek kalau pasangan Anda memiliki penyakit thalassemia dengan cara ada genetic counseling,” ujarnya.
Adapun anak dengan penyakit thalassemia mayor bisa dikenali dengan ciri-ciri seperti pengidap anemia, antara lain kelelahan, merasa lemas, sesak napas, jantung berdebar-debar dengan cepat, pucat, sakit kepala, dan pusing.
“Dalam studi ‘The Multifactorial Origin in Growth Failure in Thalassemia’, penderita yang mempunyai thalassemia mayor dari umur 9-10 tahun mempunyai relatif pertumbuhan yang normal. Tetapi setelah lebih dari 10 tahun, pertumbuhan dari anak tersebut menjadi lambat,” ungkap Karolien.
“Ini juga mempengaruhi pubertas dari pasien tersebut,” lanjutnya.
Begitulah kondisi yang kami saksikan dialami penderita thalassemia mayor di RS Fatmawati kemarin. Kami juga sempat menghubungi Annisa, pengurus Thalassemia Movement sekaligus penderita thalassemia mayor. Usianya sudah 30 tahun, tetapi fisiknya seperti anak SMA. Dan dari Annisa kami jadi tahu lebih banyak soal komunitas penyintas thalassemia di Indonesia.
Hidup normal ala penyintas thalassemia
Ada sekitar 12 ribu pasien thalassemia mayor yang terdaftar di Indonesia menurut Thalassemia Movement, sebuah komunitas independen yang bergerak atas dasar kepedulian terhadap penyakit ini.
Berdiri sejak 8 Mei 2016 (bertepatan dengan Hari Thalassemia Internasional), Thalassemia Movement sudah punya 70 anggota ditambah 19 pengurus, salah satunya Annisa.
“Normal untuk kami tentu berbeda pengertiannya dengan normal yang ada di masyarakat. Normal bagi kami adalah perlu kontrol rutin ke RS, perlu minum obat setiap hari, perlu memperhatikan kapasitas aktifitas fisiknya,” ungkap Annisa, Kamis (22/2/2024).
Untuk bertahan hidup sampai tua, ia harus menjaga nilai Hb di atas 9; minum obat kelasi dengan tepat dan sesuai; dan menjalani pemeriksaan penunjang secara berkala.
“Tidak mudah memang, tapi bukankah hidup sejatinya adalah perjuangan?” ucapnya.
Selain itu, mereka—para penyintas thalassemia—tetap bisa pergi sekolah, bekerja, berkarya, dan beraktivitas sebagaimana masyarakat lain.
“Namun, terkadang kami masih mengalami pandangan dan anggapan yang berbeda dari orang-orang. Ada stigma negatif yang terbentuk di masyarakat,” lanjutnya.
Ia bercerita suatu ketika pernah hampir diterima kerja, sayang kesempatannya kandas begitu menyebutkan bahwa ia harus transfusi darah rutin tiap bulan sebagai penyintas thalassemia.
“Kami, khususnya saya pribadi, merasakan betapa sulitnya menjadi pasien thalassemia mayor dewasa. Kami sulit mencari pekerjaan yang dapat memahami kondisi kami. Menurut saya, ketidaktahuan orang awam terhadap thalassemia merupakan faktor besar mengapa hal ini terjadi,” ujarnya.
Karena itu, ia berharap pemerintah lebih giat lagi memperhatikan penyakit thalassemia. Menurutnya, salah satu yang paling kurang adalah skrining dini thalassemia bagi masyarakat. Padahal, biaya skrining hanya sebesar Rp800 ribu-Rp2,5 juta per orang dan hanya sekali seumur hidup.
“Biaya pengobatan thalassemia sangat besar walau ditanggung oleh BPJS. Satu orang pasien thalassemia mayor dapat menghabiskan anggaran kurang lebih Rp400 juta per tahunnya. Biaya pengobatan yang sangat besar ini sebenarnya dapat dialihkan menjadi biaya preventif untuk melakukan skrining thalassemia sedini mungkin sebelum menikah,” ungkap Annisa.
Sebelum kami mengakhiri percakapan, Annisa mengungkapkan harapannya sebagai seorang penyintas thalassemia.
“Saya yakin, suatu saat thalassemia dapat kita kendalikan, dan di suatu hari nanti pasien thalassemia mayor akan mendapatkan kesempatan yang sama di masyarakat,” ujarnya.