Ria Ricis dan Fenomena Perceraian Artis, Haruskah Takut Menikah?

| 13 May 2024 21:07
Ria Ricis dan Fenomena Perceraian Artis, Haruskah Takut Menikah?
Ilustrasi. (Era.id/Luthfia Arifah Ziyad)

“Pernikahan membawa seseorang ke hubungan yang fatal dengan adat dan tradisi,” kata filsuf Søren Kierkegaard. “Keduanya seperti angin dan cuaca, sama sekali tak terprediksi.”

ERA.id - Kierkegaard menulis perenungannya tadi dalam bukunya Either/Or. Bagi filsuf asal Denmark itu, menikah sama dengan mengarungi fase hidup yang tak bisa ditebak. Itu bisa berujung bahagia, menua berdua, dipisahkan maut, atau bercerai di tengah jalan.

Tentu tidak ada siapa pun yang menikah dengan maksud bercerai. Namun, di Indonesia tampaknya pernikahan masih sering menjadi pertaruhan yang gagal. Hal tersebut tampak dari maraknya kasus perceraian yang kerap meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu saja ada 463.654 kasus perceraian terjadi. Jumlahnya memang menurun sekitar 10 persen dari tahun 2022, tapi bukan berarti itu jumlah yang kecil. Dan mungkin sebagiannya dialami orang-orang di sekitar kita. 

Namun, dari sekian banyak kasus, yang paling sering jadi sorotan publik adalah kabar perceraian di kalangan selebritas. Terbaru, giliran Ria Ricis menjadi buah bibir usai berpisah dengan mantan suaminya, Teuku Ryan.

Pasangan artis itu resmi bercerai setelah majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengeluarkan putusan pada Jumat, (3/5/2024). Berita itu segera berkobar panas di tengah warganet, apalagi setelah salinan surat putusan cerai mereka tersebar liar di media sosial. 

Dalam surat bernomor 547/PDT.G/2024/PA.JS itu, terungkaplah alasan-alasan Ricis memilih berpisah, di antaranya soal ketidakharmonisan Ricis dengan ibu mertuanya; kurangnya nafkah batin dari suami; perubahan sikap Teuku Ryan; hingga ucapannya yang menyinggung fisik sang istri.

“Apa pun faktornya, saya yakin semua orang yang menikah pasti tidak ingin bercerai. Dan kalau dilihat secara runut, kita tahu bahwa RR (Ria Ricis) dan TR (Teuku Ryan) sudah melakukan upaya-upaya yang dianggap terbaik untuk dapat mempertahankan rumah tangganya walaupun keputusan akhirnya tetap bercerai,” ujar psikolog klinis Imma Yedida Ardi, M.Psi., Psi. saat dihubungi Era.id, Senin (15/3/2024).

Seakan tak ingin animo masyarakat turun membicarakan rumah tangga mereka, kedua mantan pasangan itu pun kompak mengunggah video pasca resmi bercerai.

Ryan mengawalinya dengan memberi klarifikasi terkait isi surat perceraian yang bocor. Antara lain, ia membeberkan alasannya tak mau memberi nafkah batin Ria Ricis selama setahun karena stress membayar cicilan rumah. Selanjutnya, adik Oki Setiana Dewi gantian membagikan konten YouTube berjudul “Tolong Jagain Moana” dengan thumbnail bertuliskan “Terima Kasih, Ya Allah”.

Belakangan, Mahkamah Agung (MA) menutup akses publik terhadap salinan putusan cerai mereka. MA menyebut salinan putusan tersebut diunduh lebih dari 600 ribu kali.

"Putusan ini tidak dapat dipublikasikan untuk melindungi privasi sesuai ketentuan SK KMA 1-144 Tahun 2011. Apabila kepentingan mengakses putusan itu untuk kepentingan akademis agar menghubungi PPID pengadilan yang bersangkutan," tulis keterangan dalam situs MA.

Memang, alih-alih sebagai kepentingan akademis dan pembelajaran, surat putusan cerai Ricis justru lebih sering digunakan sebagai bahan gunjingan dan pemberitaan. Lalu, seberapa besar dampak dan pengaruh pemberitaan tersebut kepada publik? 

Psikolog: Perasaan berlebih terhadap luka orang lain dapat menjurus ke trauma

Psikolog Imma Yedida mengatakan perceraian yang terjadi di kalangan selebritas dampaknya tak hanya dirasakan orang terdekat mereka, tetapi sangat mungkin juga menular ke publik.

“Di tengah kasus perceraian yang banyak terjadi ke public figure, dampaknya bukan hanya terjadi di orang terdekat, tapi juga bisa dirasakan oleh kalangan masyarakat yang terpapar banyaknya berita-berita terkait dengan perceraian,” ujarnya. 

“Misalnya mungkin beberapa orang melihat RR dan TR bercerai, ia menjadi takut untuk menikah,” lanjutnya.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Imma menjelaskan karena masyarakat yang berlebihan mengonsumsi berita perceraian public figure dapat memicu vicarious trauma atau trauma yang disebabkan karena individu peduli berlebihan terhadap luka seseorang.

“Ini dinamakan dengan vicarious trauma atau trauma disebabkan karena individu peduli berlebihan dan merasa bertanggung jawab pada orang yang sedang terluka. Akibatnya, orang itu menempatkan rasa sakit orang lain sebagai sesuatu yang membahayakan dirinya,” ujar psikolog di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia itu.

“Misalnya, pernikahan artis itu dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan yang tidak ada kebahagiaan di dalamnya, lalu ia akhirnya merasa takut untuk menjalin hubungan atau bahkan menikah,” lanjutnya.

Meski begitu, ia juga menyebut persentase kasus vicarious trauma tergolong sedikit. Semuanya tergantung dari beberapa faktor lain, seperti seberapa sering seseorang menerima paparan pemberitaan tersebut.

“Walaupun hal itu bisa saja terjadi, tapi persentasenya sangat kecil, karena ada beberapa faktor lain yang memengaruhi, misalnya seberapa sering paparan itu ia terima; seberapa besar paparan itu diterima; dan berdasarkan proses kognitif yang terjadi pada dirinya yang tentunya antar individu satu dengan individu lain sangat berbeda,” papar Imma. 

“Oleh karena itu, kita perlu bijak dalam menggunakan sosial media dan internet untuk mencegah terjadinya vicarious trauma,” sambungnya.

Senada dengan itu, psikolog dari Universitas Indonesia, Dr. Rose Mini Agoes Salim juga mendorong orang-orang agar tidak mudah terpengaruh dengan pemberitaan media.

“Itu tergantung individunya masing-masing. Kalau sampai terpengaruh dengan berita perceraian artis, berarti ada yang salah dengan cara pembacaannya. Kurang menganalisa sebab dan faktor-faktor di belakangnya,” ujar Dr. Rose, Senin (13/5/2024).

Hal tersebut dikarenakan setiap individu punya masalah dan kondisi yang berbeda sehingga tak bisa disamaratakan antar satu rumah tangga dengan yang lain.

“Permasalahan yang mereka lami belum tentu juga dialami semua orang. Jadi jangan berpikir ada satu yang cerai lalu beranggapan bahwa semua pernikahan selalu gagal,” lanjutnya.

Mengapa rumah tangga yang awalnya harmonis bisa berujung perceraian?

Ketika memasuki bahtera rumah tangga, ujar psikolog Imma Yedida, akan terjadi fluktuasi emosi antar pasangan. 

“Kadang kita merasa dicintai. Dan tetap akan ada fase kita merasa pernikahan kita dan perasaan itu mulai hambar, mulai berkurang, atau bahkan saya tidak dicintai sama sekali,” ujarnya.

“Lalu apakah fluktuasi naik turun ini wajar? Jawabannya, ya wajar, tapi dengan syarat fluktuasi itu harus bersifat konstruktif, membangun, atau menuju kestabilan, semakin naik, semakin memperbaiki hubungan,” lanjutnya.

Ia lalu menjelaskan beberapa faktor yang dapat mengikis perasaan cinta dalam rumah tangga berdasarkan teori Sternberg. Pertama, kurangnya keintiman. Hal ini bisa terjadi ketika kedua pasangan sama-sama sibuk sehingga tidak terjadi komunikasi yang rutin. 

Kurangnya waktu berkualitas juga bisa mengendurkan keintiman dan membuat suami-istri merasa jauh secara emosional. 

“Atau bisa terjadi karena adanya peran keluarga lain yang mendominasi sehingga menyebabkan pasangan ini kurang dapat memilih seperti apa sih rumah tangga yang akan dibangunnya,” ujar Imma.

Faktor kedua adalah minimnya gairah. Dalam hal ini, Imma menjelaskan gairah bukan sekadar ketertarikan fisik atau kepuasan seksual, tetapi menyangkut kebutuhan akan perhatian dan kebutuhan akan kehormatan. 

“Itulah sebabnya banyak buku mengatakan bahwa ‘man need respect and woman need love’, artinya laki-laki itu butuh penghormatan dalam hubungan, sementara perempuan itu butuh kasih sayang dan perhatian,” ujarnya.

Yang ketiga, faktor yang dapat mengikis perasaan cinta adalah lemahnya komitmen. Ketika komitmen lemah, pasangan secara kognitif tidak punya keputusan jangka panjang untuk tetap bersama atau keinginan menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi demi kelanggengan hubungannya.

“Jika ketiga faktor itu terjadi, maka akan sangat mungkin terjadi perceraian,” jelas Imma.

Komunikasi adalah kunci

Dengan segala kemungkinan tadi, bagaimana agar rumah tangga dapat bertahan awet hingga tua? Dr. Rose menegaskan yang terpenting dari pernikahan adalah komunikasi. “Intinya komunikasi, selanjutnya adaptasi. It takes two to tango. Butuh dua orang untuk menari tango. Jadi tidak bisa yang satu berubah yang lain tidak,” ujarnya.

Beberapa kali Dr. Rose menangani konsultasi rumah tangga di ambang perceraian. Dan yang pertama ia tanyakan kepada para pasangan itu adalah apa saja upaya yang sudah mereka lakukan untuk mempertahankan rumah tangganya.

“Biasanya selalu bilang kami sudah berusaha, sudah mengobrol. Tapi berapa kali? Saya kira 1-2 kali tidak cukup. Bayangkan pasangan kita ini sudah dididik, dibentuk dari kecil jadi seperti dewasa sekarang, kan tidak mungkin diubah dengan 1-2 kali obrolan,” ujar Dr. Rose.

"Jadi ketika ada masalah, jangan langsung berpikir ke ujung, cerai. Selesaikan dulu masalahnya. Dan ini tidak cukup hanya dengan meminta maaf dan memaafkan," lanjutnya.

Imma juga menyarankan hal yang sama agar suami-istri lebih sering melakukan deep talk dan meluangkan waktu bersama.

“Dan yang terpenting adalah membuat tujuan-tujuan bersama yang akan dilakukan dalam jangka waktu misalnya 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun. Ketika hal itu dilakukan, maka keintiman meningkat, maka gairah akan meningkat,” ujarnya.

Selanjutnya, masing-masing harus memegang kendali rumah tangga mereka sendiri dan tak menyerahkannya kepada orang lain.

“Setir ini harus dipegang oleh kesepakatan antara suami dan istri. Kalau ini terkait dengan keintiman dan komitmen, apakah orang lain boleh turut andil? Jawabannya boleh, tapi persentasenya harus sedikit,” tuturnya. 

“Mungkin boleh 95 persen suami-istri, 5 persen orang lain, misal ibu mertua, orang tua, adik ipar, dan lain-lain. Karena kita tahu ketika menikah itu kita bukan hanya menikahi pasangan kita, tetapi juga menikahi keluarganya dan budayanya,” lanjutnya. 

Untuk meminimalisir intervensi orang lain terhadap rumah tangga, yang harus dilakukan menurut Imma adalah dengan sebisa mungkin menghindari menceritakan permasalahan yang terjadi di keluarga ke orang lain. 

“Jadi sebisa mungkin didiskusikan dengan pasangan terlebih dahulu sebelum ke orang lain,” tutupnya.

Rekomendasi