ERA.id - Dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-29 di Cipasung pada 1994, forum tertinggi NU itu memutuskan "pencemaran lingkungan, baik udara, air, maupun tanah, apabila menimbulkan kerusakan, maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal".
Waktu bergulir, 30 tahun berlalu sejak saat itu, kini Pengurus Besar NU (PBNU) menyambut baik tawaran pemerintah memberikan izin pertambangan kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
"PBNU berterima kasih dengan apresiasi yang tinggi kepada Presiden Joko Widodo atas kebijakan afirmasinya untuk memberikan konsesi dan izin usaha pertambangan kepada ormas-ormas keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama," ucap Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dalam keterangannya di Jakarta, Senin (3/6/2024).
Menurut Yahya, kebijakan baru itu merupakan “langkah berani” Jokowi yang menjadi terobosan penting untuk memperluas pemanfaatan sumber daya alam yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat. Ia pun mengaku ormas keagamaan yang dipimpinnya telah siap untuk mengemban amanah mengelola pertambangan batu bara itu.
“Nahdlatul Ulama telah siap dengan sumber daya-sumber daya manusia yang mumpuni, perangkat organisasional yang lengkap, dan jaringan bisnis yang cukup kuat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut,” tegasnya.
Ia sesumbar NU memiliki jaringan perangkat organisasi yang menjangkau hingga ke tingkat desa serta lembaga-lembaga layanan masyarakat di berbagai bidang yang mampu menjangkau akar rumput di seluruh Indonesia.
“Itu semua akan menjadi saluran efektif untuk menghantarkan manfaat dari sumber daya ekonomi yang oleh pemerintah dimandatkan kepada Nahdlatul Ulama untuk mengelolanya,” kata pengasuh pesantren Raudlatut Thalibin Rembang itu.
Yahya pun menegaskan pihaknya akan menyiapkan suatu struktur bisnis dan manajemen yang akan menjamin profesionalitas dan akuntabilitas, baik dalam pengelolaan maupun pemanfaatan hasilnya.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi baru saja meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada Kamis (30/5/2024) lalu.
Pasal 83A ayat (1) PP 25/2024 menyebutkan regulasi baru itu mengizinkan ormas keagamaan mengelola Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK). WIUPK yang dapat dikelola oleh badan usaha ormas keagamaan merupakan wilayah tambang batu bara yang sudah pernah beroperasi atau sudah pernah berproduksi.
Adapun penawaran WIUPK kepada badan usaha ormas keagamaan itu berlaku terbatas, yakni lima tahun sejak PP 25/2024 berlaku.
Sementara PBNU menanggapi PP 25/2024 yang baru terbit dengan antusias dan blak-blakan, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bersikap lebih pasif dan tampak malu-malu kucing.
“Kalau ada penawaran resmi Pemerintah kepada Muhammadiyah akan dibahas dengan saksama,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (3/6/2024).
Mu’ti juga menekankan Muhammadiyah tidak akan tergesa-gesa dan mengukur kemampuan diri agar pengelolaan tambang tidak menimbulkan masalah bagi organisasi, masyarakat, bangsa, dan negara.
“Kemungkinan ormas keagamaan mengelola tambang tidak otomatis karena harus memenuhi persyaratan,” tutur Mu’ti.
Di sisi lain, merespons PP 25/2024 yang kontroversial, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar menilai meskipun aturan tadi menyebut ormas keagamaan secara umum, tetapi yang dimaksudkan hanya segelintir kelompok yang menyokong kekuasaan politik Jokowi, salah satunya NU.
“Nggak perlu kaget gitu ya, karena Jokowi ini kan model ekonomi yang ia kembangkan memang sangat bersandar pada kekayaan alam. Jadi dia dengan mudah mengobral konsesi (perizinan tambang) begitu untuk orang atau kelompok-kelompok tertentu yang dianggap sejalan atau bisa menyokong kekuasaan politik Jokowi itu sendiri,” ujar Melky kepada Era.id, Senin (3/6/2024).
“Jadi saya kira kepentingan Jokowi adanya di arah sana… bagi-bagi jatah untuk mereka-mereka yang barangkali dianggap telah berjasa menopang kekuasaan politik selama 10 tahun terakhir,” lanjutnya.
Anggapan tadi boleh jadi benar, mengingat sebelumnya pemerintah secara khusus menyebutkan nama NU dan memprioritaskannya untuk mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Atas arahan dan pertimbangan dari beberapa menteri, bahkan telah disetujui oleh Bapak Presiden Jokowi, kita akan memberikan konsesi batu bara yang cadangannya cukup besar kepada PBNU untuk dikelola dalam rangka mengoptimalkan organisasi," ujar Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam kuliah umum di Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama, Minggu (2/5/2024).
Ia pun tampak bertanya kepada hadirin dengan nada keras, "Setujukah tidak NU kita kasih konsesi tambang? Setujukah tidak? Kalau ada yang tidak setuju kalian mau apain dia?"
Bahlil mengatakan proses pembuatan izin konsesi tersebut sudah memasuki tahap penyelesaian dan dalam waktu dekat akan segera ditandatangani.
"Karena itu, tidak lama lagi saya akan teken IUP untuk kasih PBNU, karena prosesnya sudah hampir selesai. Itu janji saya," katanya.
Izin tambang buat PBNU: Janji lawas Jokowi
Jauh sebelum PP 25/2024 terbit, Jokowi pernah menawarkan konsesi tambang kepada PBNU dalam Muktamar NU ke-34 di Lampung. Ia mengaku melihat potensi dari para santri muda NU untuk membangun kekuatan ekonomi.
“Saya menawarkan yang muda-muda ini dibuatkan sebuah wadah, bisa PT atau kelompok usaha dan pemerintah, saya menyiapkan. Kalau siap, saya menyiapkan konsesi,” ungkap Jokowi dalam sambutannya di Muktamar NU ke-34, Rabu (22/12/2021).
Konsesi yang diberikan pun beragam. Jokowi memberi contoh sektor pertanian atau usaha minerba seperti nikel, bauksit, hingga batu bara.
“Tapi, sekali lagi ini dalam kelompok usaha besar sehingga bisa menggeret, mengajak gerbong-gerbong yang lainnya untuk ikut menikmati. Ini merupakan sebuah kerja besar, tapi saya melihat potensi di Nahdlatul Ulama ini ada, tinggal merajutnya,” jelas Jokowi.
Dua tahun kemudian, dalam salah satu diskusi bersama sejumlah kiai di Malang, Jawa Timur, calon presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto menyebut Jokowi sudah memberikan izin tambang kepada PBNU.
“Pemerintah Pak Jokowi sudah mencabut 2.600 izin tambang dari swasta-swasta dan sudah diberikan, pertama ke PBNU. Itu pancing-pancing yang akan dibagi,” ujar Prabowo disambut riuh hadirin dalam “Diskusi Bersama Perwakilan Kiai Kampung se-Indonesia”, Sabtu (18/11/2023).
Setelah terbit PP 25/2024, kian terang bahwa aturan tersebut menjadi karpet merah bagi PBNU dan pembuktian dari janji Jokowi. Apalagi setelah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menjamin langsung perizinan tambang PBNU akan segera keluar.
Sebelumnya, nama Bahlil sempat masuk dalam radar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait isu penyalahgunaan wewenang pencabutan IUP. Bahlil sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi diduga meminta imbalan uang miliaran rupiah atau penyertaan saham di masing-masing perusahaan yang sedang mengurus izin pertambangan.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto pun mengaku banyak pengusaha tambang yang mengeluhkan soal izin usahanya yang dicabut. Termasuk soal Satuan Tugas (Satgas) Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi pimpinan Bahlil. Menurutnya, satgas tersebut belakangan diselewengkan untuk menekan para pengusaha.
"Semula konon ini satgas ini untuk membangun kepastian hukum, tapi yang terjadi ketidakpastian hukum. Itulah celah terjadinya abuse of power. Ketidakpastian itu yang timbulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)," ujar Sugeng di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/3/2024).
JATAM pun melaporkan dugaan korupsi Bahlil terkait pencabutan ribuan izin tambang sejak 2021 hingga 2023 ke KPK.
“Laporan ini menjadi penting untuk membuka pola-pola apa saja yang digunakan oleh para pejabat negara, terutama Menteri Bahlil,” kata Koordinator JATAM Melky di Gedung KPK, Selasa (19/3/2024).
Namun, Bahlil menampik semua tuduhan dalam rapat bersama di Komisi VI DPR RI. “Ini kan bohong besar sekali, belum ada itu pembagian IUP pada berdasarkan Perpres 70 (Perpres 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi, red.) itu," kata Bahlil di Komisi VI, Senin (1/4/2024).
Bagi-bagi kue izin tambang, siasat licik Jokowi
Koordinator JATAM Melky Nahar menganggap PP 25/2024 hanya perpanjangan dari upaya rezim penguasa mengobral kekayaan alam lewat revisi Undang-Undang (UU) Minerba dan UU Cipta Kerja (Ciptaker) sebelumnya.
“Secara regulasi kan sebetulnya bukan baru sekarang, tapi kita harus baca soal bagaimana revisi UU Minerba, UU Ciptaker, yang semuanya memang mengakibatkan kekayaan alam, terutama komoditas tambang itu, benar-benar diobral,” ujarnya.
Menurut Melky, melalui dua regulasi sebelumnya, pemerintah sudah membuka lebih banyak keran pengusaha untuk mengeksploitasi minerba. Pertama, dengan cara memberi jaminan hukum bagi perluasan investasi di sektor pertambangan. Kedua, memberikan ragam insentif kepada pelaku bisnis mulai dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), hingga swasta.
“Barangkali yang sedikit membedakan melalui PP 25/2024 ini kan spesifik ormas keagamaan, yang seperti saya bilang di awal tadi, ini hanya ingin melanjutkan pembongkaran material tambang di berbagai wilayah, terutama dalam hal ini kan konteksnya batu bara di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera,” ucapnya.
Masalahnya, bagi Melky, pemerintah maupun ormas keagamaan yang diuntungkan PP 25/2024 sama-sama bersembunyi di balik tameng “perbaikan ekonomi” dan “kesejahteraan rakyat”.
“Sebetulnya PP 25/2024 ini kan bisa dibaca ke konteks politik yang sangat pragmatis. Karena klaim bahwa ini untuk mendorong perekonomian dari ormas itu jelas menyesatkan,” tegasnya.
Menurutnya, sepanjang sejarah, tambang adalah model ekonomi yang instan, rapuh, dan tidak berkelanjutan. Bisnis itu akan melenyapkan sektor lain di sekitarnya seperti pertanian dan pariwisata.
“Dia nggak bisa berjalan beriringan dengan, misalnya, sektor pertanian, sektor pariwisata. Kalau dia modelnya begitu, maka yang lain pasti lenyap. Nah itulah model kerja dari tambang itu sendiri. Sehingga klaim narasi ini untuk kesejahteraan jelas menyesatkan, jelas omong kosong,” jelas Melky.
“Sehingga kita perlu membacanya justru ini sebagai siasat licik Jokowi dalam upaya balas jasa sekaligus menjaga pengaruh politiknya, terutama setelah ia lengser pada Oktober mendatang. Mengingat mereka-mereka yang berpotensi mendapat konsesi ini adalah kelompok-kelompok yang secara sosial dan politik kan punya pengaruh,” lanjutnya.
Dosa-dosa eksploitasi tambang
JATAM mencatat setidaknya ada 7.993 izin pertambangan yang dikeluarkan pemerintah hingga saat ini. Luas lahannya mencapai lebih dari 10 juta hektare. Sayangnya, alih-alih hidup kian sejahtera, banyak daerah pertambangan justru menjadi daerah miskin.
Dalam laporan Center of Economic and Law Studies (Celios) berjudul "Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel”, pertumbuhan ekonomi masih diikuti peningkatan angka kemiskinan, khususnya di kawasan industri smelter nikel.
Di Morowali misalnya, angka kemiskinan mencapai 12,58% pada 2022. Itu lebih tinggi ketimbang daerah lain yang tidak memiliki smelter. Bahkan, lebih tinggi dibandingkan rata-rata provinsi.
"Ketimpangan wilayah pertambangan ini merupakan konsekuensi dari pembangunan industri padat modal," ungkap laporan tersebut. Menurut Celios, warga sekitar lebih banyak menanggung beban sosial, ekonomi, lingkungan, dan kesehatan dari keberadaan kawasan pertambangan.
Pada 29 Mei kemarin, JATAM dan beberapa organisasi lingkungan merayakan Hari Anti Tambang (Hatam) yang ditetapkan sejak 2011. Tanggal tersebut ditetapkan memperingati semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang dimulai sejak 29 Mei 2006.
Bencana tersebut memaksa puluhan ribu warga mengungsi setelah rumah-rumah mereka tenggelam. Lahan seluas 1.143 hektare di 19 desa hilang ditelan lumpur panas yang masih menyembur hingga sekarang.
Selain lumpur Lapindo, Koordinator JATAM Melky Nahar menyebut bencana sosial ekologis akibat eksploitasi pertambangan masih berlangsung di banyak tempat.
“Situasi Pulau Kalimantan hari ini kan sebenarnya sangat kronis ya. Jadi secara sosial ekologis itu dia sudah bangkrut. Ruang pangan warga, terutama di Kalimantan Timur misalnya, itu kan telah dikupasi habis-habisan,” ucapnya.
“Dari produktifitas pangannya berkurang; warga kehilangan ruang produksi untuk pertaniannya; sumber air juga tercemar; sebagian besar juga mengkonsumsi air dari lubang-lubang tambang; lalu 49 nyawa juga sudah melayang di lubang-lubang tambang; lalu ada ribuan tambang yang terus dibiarkan menganga tanpa ada rehabilitasi atau reklamasi,” sambungnya.
Maka dari itu, persoalan izin pertambangan menurutnya bukan sebatas soal legalitas, tetapi seberapa besar dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat alih-alih keuntungan yang diberikan.
“Padahal mau dia legal kek, ilegal kek, ya sama-sama menghancurkan. Yang namanya tambang kan dia destruktif. Dan (ada narasi) ini juga akan dikelola secara profesional misalnya, ya enggak,” ujarnya.
“Perusahaan sebesar Freeport sekalipun, atau Kaltim Prima Coal sekalipun, punya segudang kejahatan lingkungan dan kemanusiaan. Jadi status legal atau ilegal, status apakah perusahaan ini profesional dia spesifik operasionalnya di bidang pertambangan, tidak ada jaminan hukumnya bahwa operasi mereka tidak akan memicu daya rusak,” sambungnya.
Ia pun mengingatkan ormas-ormas keagamaan yang menyambut baik pemberian izin pertambangan agar memikirkan nasib jemaahnya, terutama PBNU. Sebab korban-korban dari keganasan industri tambang tak lain adalah jemaah mereka sendiri.
“Yang mesti diingat baik oleh ormas-ormas keagamaan ini, terutama saya kira PBNU yang ada sinyal menerima konsesi ini, bahwa mereka-mereka yang selama ini menjadi korban keganasan industri tambang ya jemaah dari Anda-Anda semua,” ujar Melky.
“Sehingga pertanyaan terpentingnya adalah alih-alih ini bisa berdampak pada kesejahteraan, yang terjadi kan malah bisa memicu konflik di internal ormas itu sendiri. Di satu sisi elitenya mendapat untung, tapi di sisi lain para jemaahnya justru mendapat buntung,” sambungnya.
PBNU: Pertambangan Batu Bara Nahdlatul Ulama
PBNU menjadi ormas keagamaan yang paling banyak disorot usai penetapan PP 25/2024. Banyak orang menilai aturan tersebut memang sengaja dikhususkan untuk PBNU. Sampai-sampai penulis Okky Madasari menyindir PBNU sebagai “Pertambangan Batu Bara Nahdlatul Ulama” di media sosial X-nya, Senin (3/6/2024).
Ironisnya, seperti yang disinggung Melky, beberapa korban pertambangan justru berasal dari warga NU sendiri. “Saya ambil contoh misalnya Si Budi Pego yang dikriminalisasi dan masuk penjara di Banyuwangi karena tambang emas itu, dia itu kan warga NU tulen. Lalu situasi yang sama itu banyak terjadi di banyak tempat, di Kalimantan Timur, banyak sekali. Nah pertanyaan bagi elitenya, sisi kemanusiaan kalian itu di mana?” ujarnya.
Budi Pego alias Heri Budiawan adalah warga Desa Sumberagung yang menolak tambang emas di Gunung Tumpang, Banyuwangi. Naas, ia malah dianggap menyebarkan komunisme setelah dituduh mengibarkan spanduk berlogo palu arit saat menggelar demonstrasi bulan April 2017.
Ia dijerat pasal kejahatan terhadap keamanan negara dan dituntut 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi. Pihaknya lalu mengajukan kasasi, tetapi ditolak Mahkamah Agung (MA) pada 2018 yang justru memperberat hukumannya menjadi empat tahun.
Tahun lalu, keluarga Budi Pego mendatangi Kantor PBNU untuk meminta dukungan pembebasan Pego. Mereka langsung disambut salah satu Ketua PBNU saat itu, Savic Ali.
"PBNU akan mendukung dan mengusahakan harapan teman-teman untuk mendapatkan amnesti atau apa pun. Saya kira Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf juga akan mendukung ini," ucap Savic waktu itu, Selasa (8/8/2023).
Namun, tak ada pemberitaan lebih lanjut di kemudian hari. Savic Ali belakangan justru “dicutipaksakan” dari jabatannya oleh Yahya pada Desember 2023 karena aktif mendukung Ganjar Pranowo dalam Pemilihan Presiden 2024.
Kini, setelah PBNU secara terang-terangan menunggu izin pengelolaan tambang mereka terbit, nasib Pego dan warga NU lain yang merugi akibat tambang kian buram. Padahal, dulu PBNU termasuk salah satu ormas keagamaan yang aktif mendukung warga ketika berkonflik dengan perusahaan tambang.
Pada tahun 2018, setelah kasus kriminalisasi Pego ramai, PBNU bersikap keras menentang kerusakan akibat pertambangan di berbagai daerah, termasuk Banyuwangi. Salah seorang Ketua PBNU, Imam Aziz mengatakan industri pertambangan menyebabkan kerusakan yang jauh lebih besar dari manfaat yang dihasilkan.
Ia pun mengimbau pemerintah pusat hingga daerah mengevaluasi lagi industri pertambangan yang sedang berjalan dan menghentikan pemberian izin bagi industri pertambangan yang akan dilakukan.
Hal itu ia sampaikan saat menerima kunjungan warga NU Banyuwangi yang terdampak industri pertambangan di kawasan Tambang Emas Gunung Tumpang Pitu.
“Segala sesuatu yang merusak, seperti Tambang Tumpang Pitu tidak layak dilanjutkan dan dipertahankan lagi. Karena tidak layak apalagi untuk Pulau Jawa, sebab penduduknya sangat padat dan daya dukung lingkungan tidak memenuhi,” ujar Imam Aziz di Gedung PBNU, Jakarta, Rabu (17/7/2018).
Sebelumnya, staf khusus Wakil Presiden Ma'ruf Amin itu juga pernah meminta agar kegiatan pertambangan di Rembang, Jawa Tengah, dihentikan. Ia pun mewakili PBNU berada di barisan pembela warga Kendeng, Jawa Tengah, melawan perusahaan tambang.
Imam Aziz menyebut perlawanan warga Kendeng sudah sesuai dengan putusan Muktamar NU ke-33 di Jombang tahun 2015 silam yang mengamanatkan warga nahdliyyin mempertahankan tanahnya terkait dengan alih fungsi lahan produktif.
“Ini sikap kita meskipun beda pandangan dengan Pemda Jawa Tengah,” ucapnya dalam pertemuan nasional yang diselenggarakan Lakpesdam PBNU di Jakarta, Senin (7/11/2016).
Hari ini, semangat jihad bi’ah (lingkungan) yang pernah digemuruhkan NU kian redup seiring penerbitan izin pertambangan bagi ormas keagamaan.
“Makanya saya bilang, jangan sesekali terjebak pada mainan politik dari rezim yang sedang berkuasa. Karena apa yang dilakukan Jokowi ini licik kita lihatnya. Jadi ini mencerminkan wajah rezim politik sesungguhnya, sebelum lengser dia kasih-kasih semua, obral-obral semua,” pesan Koordinator JATAM Melky Nahar sebelum menutup telepon kami.