ERA.id - Pertengahan Februari tahun lalu, beredar berita duka di jalan. Sebuah motor Vario 125 terparkir depan pagar besi hitam yang menjulang tinggi. Di atas sadel motor, berkardus-kardus paket tampak disusun dua tingkat dan diikat kencang dengan tali pengait. Kunci motornya masih menggantung. Namun, tidak dengan jiwa sang pemilik. Ia tergeletak kaku di samping motornya dengan helm yang belum sempat dicopot sebab nyawanya keburu melayang. Belakangan ia dikenali sebagai kurir yang sedang mengantar barang ke bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Jasadnya pertama kali ditemukan satpam setempat. Lelaki naas berusia 42 tahun itu diduga meninggal karena kelelahan. Dari hasil pemeriksaan polisi, sang kurir diketahui punya riwayat penyakit jantung. "Informasi yang diterima dari keluarga," kata Kapolsek Kembangan Polres Metro Jakarta Barat Kompol Ubaidillah dalam keterangannya, Kamis (16/2/2023).
Banyak orang berduka mendengar berita kematian sang kurir. Meskipun bukan kenalan mereka, masing-masing merasa hidupnya tertolong dengan keberadaan kurir yang mengantar pesanan mereka selamat sampai ke rumah. Sebagian lagi yang pernah memberi rating rendah ke para kurir tampak menyesali perbuatannya. Sebelum berita kematian itu mencuat, mereka tadinya belum sadar bahwa di balik kemudahan belanja online yang serba instan, ada hidup orang-orang yang dipertaruhkan di jalan.
Menurut periset di Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Novianto, kurir memang punya kerentanan seperti layaknya pekerja gig lain. Pekerja gig sendiri adalah mereka yang bekerja tidak tetap atau dengan jangka waktu tertentu.
"Para kurir/driver, dalam sistem kerja gig, tak ada batasan waktu kerja," ujar Arif melalui media sosialnya, Rabu (15/2/2023).
Namun, tak semua kurir pekerja gig. Meskipun banyak jasa ekspedisi yang masih mengandalkan sistem kemitraan untuk menggandeng kurir lepas sebanyak-banyaknya, tetapi ada juga beberapa perusahaan ekspedisi yang juga membuka lowongan kerja tetap untuk kurir.
Artinya, kurir yang diterima bekerja di sana sebagai kurir tetap akan tercatat sebagai karyawan, dan perusahaan akan menyiapkan gaji bulanan berikut insentif mereka. Salah satu perusahaan yang menyediakan lowongan itu adalah PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir yang lebih terkenal dengan nama JNE.
Kepala Inbound Sub Unit JNE Cabang Cianjur Putra Juliana Yudha menjelaskan kurir tetap JNE akan mendapatkan gaji tetap sesuai upah minimum kabupaten/kota (UMK); uang makan dan transportasi; uang sewa motor; dan uang bensin. Selain itu, mereka juga mendapatkan benefit berupa tunjangan kesehatan; tunjangan hari raya (THR); insentif; hingga bonus tahunan.
Dengan segala timbal balik tadi, bekerja sebagai kurir tetap di JNE agaknya sudah terpisah dari kerja gig pada umumnya dengan jam kerja tak menentu dan minim perlindungan. Namun, bukan berarti bekerja sebagai kurir tetap serta merta menjadi jauh lebih mudah ketimbang mitra kurir. Inti pekerjaan mereka tetap sama, yaitu mengantar barang dengan selamat. Mereka dituntut untuk amanah, tepat waktu, dan siap dihubungi kapan saja tanpa peduli apa pun kondisi mereka.
Tanpa menampik bahwa—seperti juga terjadi di mana pun—selalu ada segelintir oknum kurir nakal yang tidak amanah dan profesional, tetapi saya percaya sebagian besar mereka adalah orang baik; kepala keluarga yang berusaha menghidupi keluarganya dan menyambung hidup tiap hari. Sayangnya, kerja kurir adalah kerja sunyi di balik layar dan sering kali tanpa apresiasi. Orang-orang lebih mementingkan paket mereka diterima dengan baik ketimbang memikirkan bagaimana nasib orang yang mengantarnya.
Seorang suami dan ayah, Zulhairi Arifin pernah menceritakan pengalaman menahunnya sebagai kurir di forum Quora. Di sana ia memaparkan beberapa hal yang semakin membuat kerja mereka sebagai kurir terasa sulit. Pertama, alamat pemesan yang tidak sesuai di lapangan. Kurir akhirnya harus berputar-putar untuk menemukan alamat tujuan, dan otomatis pengiriman paket selanjutnya bakal terimbas menjadi lebih lambat.
Selanjutnya, nomor kontak penerima yang salah, sehingga kurir sulit menghubungi mereka saat akan menyerahkan paket. Lagi-lagi ini menghambat proses pengantaran dalam satu waktu.
Ada lagi pemesan yang memilih pembayaran langsung/cash on delivery (COD), tetapi belum menyiapkan uangnya saat ia tak ada di rumah, atau bilang akan mentransfer ongkos pengiriman (ongkir) via online dengan janji akan mengirim bukti transfer.
Akibatnya, kurir akan menalangi dulu ongkir tadi, atau upah mereka akan telat diterima selama kurir belum menyetorkan uang COD ke kasir.
Terakhir, nasib apes yang dihadapi sewaktu-waktu tanpa disangka. Misalnya, kalau kurir mengantar paket tengah malam hingga pagi, skenario paling buruk bisa saja datang, seperti ban motor kempes, mesin rusak, sedangkan mereka berada di daerah antah berantah.
"Paling apes kendaraan bermasalah mesinnya dan berada di daerah antah berantah, gelap, sepi, jalan jelek, jauh dari daerah penduduk, maka wassalam," tulis Arifin.
Mendengar keluh kesah seorang kurir tadi, kita sebagai pelanggan seharusnya bisa lebih peka dan berupaya sedikit mengangkat beban dari pundak mereka. Di antaranya dengan memastikan data-data yang tercantum sudah benar; mengamankan pembayaran; dan tidak buru-buru naik pitam karena paket kita agak terlambat datang sebelum mendengar alasan mereka.
Dengan begitu, mungkin kita bisa sedikit mewujudkan apa yang menjadi motto JNE: Menyambung Kebahagiaan dari Generasi ke Generasi.
#JNE #ConnectingHappiness #JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya