Tuntunan Memulai Frugal Living Agar Tak Jatuh Menjadi Orang Pelit

| 28 Jun 2024 21:02
Tuntunan Memulai Frugal Living Agar Tak Jatuh Menjadi Orang Pelit
Ilustrasi. (Era.id/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Gemerlap hidup para artis yang kerap pamer kekayaan; hadirnya teknologi baru tiap tahun; hingga budaya fast fashion mungkin mengaburkan pandangan kita dari konsep hidup berkecukupan. Kita menjadi was-was ketinggalan tren; merasa gawai yang kita gunakan terlalu jadul; dan saat melihat ke lemari selalu merasa tak punya cukup baju. Bahkan, mungkin ketika kita tak punya cukup uang, kita tetap merasa banyak barang yang perlu dibeli. Kalau kita masih menjalani kehidupan macam itu, tak ada salahnya sejenak menepi dan memikirkan alternatif gaya hidup lain, misalnya frugal living.

Frugal living dalam terjemahan Indonesianya berarti ‘hidup hemat’. Istilah itu dipopulerkan blogger Kanada Peter Adeney yang memakai pseudonim Money Mustache. Ia pernah menulis di blog-nya satu artikel berjudul “Frugality: the New Fanciness”. Di situ, ia mengomentari gaya hidup masyarakat modern yang terlalu boros. Menurutnya, gaya hidup tadi didorong perkembangan teknologi dan kemudahan kredit.

“Dalam suasana begini, jalan termudah adalah melakukan apa yang dilakukan orang lain,” tulis Peter. “Kamu tak punya uang, tapi gara-gara iklan dan tuntutan teman, kamu jadi punya banyak keinginan. Lalu kamu menggesek kartu atau menandatangani beberapa dokumen, dan sekarang kamu juga memiliki barang-barang mewah.”

Bagi sebagian orang, menikmati barang-barang mewah ini; makan di restoran mahal; atau memakai produk Apple keluaran terbaru mungkin menyenangkan. “Namun, ada jalan lain yang tersedia: lebih sulit, tetapi jauh lebih baik,” kata Peter. Dan jalan itu adalah frugal living, yang menurutnya juga sebuah kemewahan.

Bagaimana mungkin hidup hemat diasosiasikan dengan kemewahan? Menurut Peter, pelaku frugal living punya pemahaman baik terhadap uang dan berpikir lebih jauh ke depan. Mereka melihat uang berguna untuk dibelanjakan, tetapi lebih berguna lagi ketika digunakan sebagai alat untuk menghasilkan lebih banyak uang.

“Jadi mereka melatih diri agar menguasai keuangan, kerja keras, dan disiplin. Mereka mencari cara bersenang-senang seperti orang yang menghamburkan banyak uang, sambil memastikan melakukannya dengan cara yang memungkinkan mereka menghemat setidaknya 50-75 persen pendapatan mereka,” ujarnya.

Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa menerapkan frugal living dalam lingkungan yang penuh godaan ini? Salah satu pintu masuknya adalah dengan menyimak langsung pengalaman seseorang yang sudah menerapkannya lebih dulu. Karena itu, kami menghubungi seorang wanita karir yang sudah menempuh jalan ini selama tiga tahun ke belakang. Bagaimana kisahnya?

Berawal dari ditinggal orang tua, demi menghadapi situasi tak terduga

Namanya Nessa. Tahun ini usianya genap 24 tahun. Ia seorang anak tunggal, dan tiga tahun lalu, ayahnya meninggal. Belum cukup bersedih, selang dua tahun, sang ibu tak sabar menyusul suaminya. Tinggallah Nessa seorang diri di Jakarta. 

“Sejak itu aku menyadari bahwa penting banget untuk aku bisa mengelola dengan baik resources yang aku punya, bukan hanya uang ya sebenarnya, tapi lebih ke segala sesuatu yang aku punya, entah mungkin itu dalam bentuk aset ataupun uang,” ujarnya, Jumat (28/6/2024).

“Dan setelah menyadari hal tersebut, aku menyadari udah gak bisa nih kayak dulu lagi, dalam artian aku harus bisa lebih bijak dalam mengelola keuangan aku, pengeluaran aku, dan pemasukan aku,” lanjutnya.

Beruntung ia ditinggal kedua orang tua saat sudah bekerja di bidang marketing. Namun, ketika keluarganya masih lengkap dulu, Nessa menjalani hidup seperti kebanyakan teman-teman sebayanya. Ia membeli segala sesuatu yang ia inginkan dan mengejar tren di sekitarnya.

“Mungkin alasan kenapa aku melakukan frugal living itu karena aku rasa penting banget untuk aku menjadi lebih bijak dari sebelumnya, supaya bisa hidup lebih tenang. Karena jadinya gak terlalu boros dengan satu atau banyak hal. Dan jadinya membuat uang aku habis, tapi gak tahu ke mana dan justru pas butuh malah gak ada,” ucapnya.

Setelah kepergian sang ayah, Nessa mulai belajar mengatur keuangannya sendiri. Tujuan utamanya satu, menyiapkan dana darurat agar ia siap menghadapi segala skenario terburuk di masa depan. 

“Jadi aku mulai mencari-cari, dan sepengetahuan aku, dana darurat yang sebenarnya ideal itu sebesar tiga kali lipat dari pengeluaran bulanan kita,” terangnya.

Ia pun mulai menelusuri pengeluaran rutinnya selama tiga bulan pertama. Melihat apakah pengeluarannya konsisten atau tidak, dan apakah ada pola-pola konsumtif yang semestinya bisa dikurangi. Dari sana, ia mulai membagi pos-pos pengeluaran rutinnya dan menetapkan target tabungan dana darurat. Untuk alokasi tabungan, ia biasa menyisihkan 20-25 persen dari gaji bulanannya.

“Dari tracking pengeluaran tersebut kan kelihatan ya, budget kira-kira sebenarnya aku perlu menyisihkan berapa untuk masing-masing bagian. Misal untuk belanja makanan, keperluan bahan pokok kayak beras atau sayuran, uang transport, pengeluaran untuk lifestyle,” ujarnya.

“Tentunya itu aku tetap kontrol, lifestyle lebih ke butuh apa enggak sih? Kalau gak butuh-butuh banget bisa diganti dengan alternatif lain. Misal dulu aku suka creambath, semenjak aku lebih aware dengan spending aku, aku lebih memilih beli hair mask sendiri, aku creambath sendiri daripada keluar uang untuk ke salon,” lanjutnya. 

Setelah bertekad menghemat pengeluaran, Nessa mulai melihat banyak pilihan baru yang sebenarnya bisa ia lakukan sebelumnya. Misalnya, untuk menghemat uang transportasi, ia jadi sering berjalan kaki dan naik angkutan umum. 

“Pada situasi tertentu akan lebih efektif secara waktu dan biaya dengan aku naik angkutan umum dibanding naik ojol atau mobil,” ujarnya. 

Ia juga meninggalkan kebiasaan buruknya pilih-pilih makanan. Biar bisa hidup hemat, Nessa menerima apa pun yang tersedia di meja makan dan ia jadi lebih sering memasak di rumah. Terkadang, ia hanya memasak satu menu untuk tiga porsi makan: sarapan, makan siang, dan makan malam.

“Gak perlu-perlu banget untuk aku makan beda lauk dalam sehari. Kecuali kalau aku lagi jenuh banget. Dan aku juga bawa bekal, jadi gak usah terlalu banyak beli makan di luar. Aku juga sarapan dulu di rumah. Minum juga aku selalu bawa botol minum dari rumah, biar bisa di-refill ketika ada dispenser,” ucapnya.

Setelah menjalani frugal living, ia pun baru menyadari bahwa meminimalisir pengeluaran bukan berarti mengurangi kualitas hidupnya selama ini. Ia tetap mengupayakan keseimbangan dengan menjaga kehidupan sosialnya, hidup sehat, bekerja dengan baik, tetap aktif, tetapi dengan pengeluaran yang efisien dan efektif.

“Jadi konsep frugal yang aku jalanin bukan nyusahin diri sendiri ya. Lebih kepada conscious consumption aja sih. Jangan konsumtif sampai 'lapar mata'. Ujung-ujungnya pas udah dibeli, gak kemakan atau gak kepake,” ucapnya. 

Ia bersyukur terbiasa menghemat pengeluarannya. Sebab, di beberapa kesempatan, ia bisa memanfaatkannya sebagai kemewahan. Sebagai contoh, ketika ia pulang kerja saat rush hour dan kondisi hujan deras, ia bisa langsung naik taksi offline tanpa harus memesan online

“Aku mending bayar taksi itu. Lebih nyaman, aman, dan gak perlu nunggu sampai malam. Beda cerita kalau aku terlanjur boros dan ketika ada hal tak terduga kayak hujan deras, mecet, dan lain-lain tadi, aku jadi terpaksa harus hemat pengeluaran malah di keadaan tak terduga begitu,” ujarnya.

“Makanya aku selalu mencoba berhemat supaya bisa menyisihkan uang untuk keadaan urgent kayak gitu, yang butuh cost lebih. Jadi aku gak apa-apa spend uang lebih banyak untuk hal urgent atau unconditional kayak gitu, dibanding uangnya untuk keseharian konsumtif aku,” lanjutnya.

Berhemat bukan pelit

Ada jarak tipis antara menjalani frugal living dan menjadi pelit. Sebagian orang mengaku suka berhemat, walaupun pada dasarnya ia hanya tak suka berbagi. Nessa pun mengingatkan agar seseorang yang ingin memulai frugal living jangan terjebak dengan sikap pelit. 

Frugal sama pelit itu beda,” katanya. “Jadi frugal tuh lebih ke mindful spending, conscious spending, dan fokuskan pengeluaran kita ke apa yang betul-betul kita butuhkan.”

Untuk memahami lebih lanjut apa perbedaan antara keduanya, kami bertanya ke seorang financial planner jebolan Asia Pacific University of Technology and Innovation (APU) Malaysia, Valencia Fabian. 

“Banyak banget zaman sekarang kalau ngomongin frugal living pasti persepsinya adalah hidup hemat, nimbun uang sebanyak-banyaknya, hidup berkekurangan, kita hukum diri sendiri untuk gak bisa nikmatin dari uang yang kita cari,” ujarnya kepada Era.id, Jumat (28/6/2024). “Tapi sebenarnya frugal living lebih dari itu artinya. Di mana kita bisa memaksimalkan value dari uang yang kita cari.” 

Menurutnya, penganut frugal living akan merencanakan pengeluarannya dengan matang; mencari cara untuk menghemat pengeluarannya; dan yang terpenting, mereka berusaha meningkatkan kualitas hidup.

“Sedangkan kalau misalnya hidup pelit itu, ya banyak orang yang fokusnya nimbun uang tanpa dia memedulikan kebutuhan diri sendiri ataupun orang lain. Contoh nyatanya, misalnya kita bisa lihat orang-orang yang bersedia untuk tahan lapar, atau bahkan dia gak mau nolong orang karena sayang kalau uangnya itu terpakai,” ujar Valencia.

Ia pun memberi kiat-kiat untuk frugal living tanpa terkesan pelit. Cara pertama, merumuskan tujuan keuangan yang jelas. Apa tujuannya? Kapan mau diwujudkan? Bagaimana caranya? Hal-hal tersebut harus sudah dijelaskan di awal. Kemudian, kita juga harus punya anggaran pengeluaran sekaligus menyiapkan dana-dana darurat.

“Kemudian selanjutnya yang keempat, kita melakukan investasi. Dan yang kelima, kita hidup balance, hidup seimbang, tetap gak nyiksa diri, tapi bisa tetap senang karena keinginan kita bisa tercapai. Jadi hidup frugal itu tentang bagaimana kita mengambil kendali atas uang kita. Kira-kira seperti itu,” tutup Valencia.

Rekomendasi