Operasi Plastik yang Kian Jadi Primadona, Mengapa Artis Cantik Masih Ingin Permak Wajah?

| 12 Jul 2024 21:05
Operasi Plastik yang Kian Jadi Primadona, Mengapa Artis Cantik Masih Ingin Permak Wajah?
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Operasi plastik (oplas) yang sebelumnya dianggap tabu bagi masyarakat Indonesia, kian kemari kian menjadi hal lumrah. Apalagi mengingat fakta makin banyak artis yang buka-bukaan telah menjajal oplas seperti Sarwendah. Terbaru, pasangan penyanyi Rizky Febian dan Mahalini yang sudah berparas rupawan juga diketahui menjalani oplas di Korea Selatan. Pasutri anyar ini mengaku mengoplas bagian hidung mereka karena punya sinus.

Presiden Joko Widodo juga pernah menyinggung banyak ibu-ibu Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk oplas. Hal ini disampaikan saat ia meresmikan Rumah Sakit Tzu Chi di Pantai Indah Kapuk, Jakarta, Rabu (14/6/2023).

"Ini ibu-ibu, yang paling banyak kecantikan dan bedah estetika, berarti ini operasi plastik banyak yang ke luar negeri," kata Jokowi.

Indonesia sendiri, menurut laporan majalah CEOWORLD, masih relatif jarang melakukan oplas dibandingkan negara-negara lain. Indonesia berada di urutan ke-82 dunia dengan tingkat oplas per kapita sebesar 0,569 per 1.000 orang. Sementara posisi puncak diduduki Korea Selatan, dengan tingkat oplas mencapai 8,9 per 1.000 orang pada 2024.

Industri bedah kecantikan di Negeri Ginseng tersebut dilaporkan menyumbang perekonomian negara hingga USD1,8 miliar (sekitar Rp28,9 triliun) tahun lalu, dengan 52,7 ribu pasien asing yang memakai jasa dokter-dokter bedah plastik di sana. 

Tingginya angka oplas ini tak hanya didorong oleh keinginan punya estetika ideal, lapor CEOWORLD, tetapi juga dipengaruhi faktor ahli bedah yang terampil dan pertimbangan biaya di suatu negara, sehingga banyak yang melakukan prosedur operasi di luar negeri.

Bedah plastik sendiri merupakan cabang ilmu kedokteran yang berasal dari kata Yunani plastikos, yang artinya adalah 'untuk membentuk atau mencetak'. Menurut keterangan Rumah Sakit Bhayangkara Denpasar, bedah plastik adalah "seni mengubah bentuk organ tubuh luar manusia yang bersifat plastis, yang artinya dapat diubah bentuknya".

Kebanyakan masyarakat mungkin masih sering menyamakan bedah plastik dengan operasi kecantikan semata. Padahal, tujuan bedah plastik bukan sebatas itu. 

Dokter spesialis bedah plastik dan rekontruksi estetik, dr. Santi Devina, Sp. BP-RE menjelaskan ada dua cabang bedah plastik, yaitu rekonstruksi dan estetik (kosmetik). Operasi rekonstruksi bertujuan untuk mengoreksi cacat pada bagian tubuh sejak lahir atau karena kecelakaan. Dan operasi ini dilakukan karena alasan medis.

“Bedah plastik rekonstruksi adalah sebuah tindakan medis yang dilakukan untuk mengubah atau membantu mengembalikan fungsi normal pada bagian fisik yang cacat sejak lahir atau cacat karena trauma kecelakaan. Misalnya memperbaiki kecacatan pada kelainan bibir sumbing, jari ganda, luka kecelakaan, dan lainnya,” papar dr. Santi dikutip dari laman RSUD dr. Iskak Tulungagung pada Jumat (12/7/2024).

Sementara bedah plastik estetik, lanjutnya, merupakan tindakan medis yang membenahi fisik normal dan sehat (tidak cacat). Tujuannya untuk mencapai tampilan yang lebih menarik (harmoni) sesuai dengan keinginan pasien. Jenisnya pun beragam, seperti facelift atau rhytidectomy (penghilangan kerutan di wajah); pembesaran payudara; hingga rhinoplasty atau nose-job (untuk mempercantik hidung).

Namun, untuk memperoleh hasil oplas estetik yang memuaskan, pasien harus merogoh kocek mahal. Penyanyi Krisdayanti, misalnya, pada tahun 2009 membayar lebih dari Rp155 juta saat melakukan implant payudara kedua dan tummy tuck atau menghilangkan gelambir perut di Singapura. Pengakuannya ini ia tuliskan di buku biografinya "My Life My Secret".

Ada juga transgender Lucinta Luna yang rela mengeluarkan uang hingga Rp1,8 Miliar untuk mempermak wajah dan tubuhnya seperti wanita. Dia bahkan sampai mengoperasi kelaminnya di Thailand.

Selain nama-nama tadi, jika kita cermati tentunya banyak para pesohor tanah air baik pria maupun wanita yang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk terlihat sempurna dengan cara melakukan operasi plastik. Alasannya apalagi kalau bukan untuk meningkatkan penampilan mereka.

Lantas, mengapa banyak wanita yang bisa dibilang sudah cantik, memiliki fitur wajah sempurna, tapi tetap memilih oplas? 

Waspada ketagihan oplas

"Kalau kita hubungkan dengan dinamika psikologis, Ini tuh sebenarnya erat banget kita bahas melalui konsep harga diri atau body image," ujar psikolog Ni Made Kistyanti kepada Era.id, Jumat (12/7/2024).  

Ia menjelaskan bahwa body image adalah bagaimana seseorang mempersepsikan tentang bentuk tubuhnya. Dan hal tersebut sangat erat kaitannya dengan harga diri dan kepercayaan diri.

"Nah, banyaknya orang yang oplas ini, dia tadi, persepsi akan bagian tubuhnya itu kurang sempurna. (Mungkin) ngerasa, 'Kok hidung aku terlalu pesek? Kok aku gak secantik orang lain? Kok aku gak putih? Padahal kan katanya putih itu cantik.' Jadi banyak sekali hal-hal yang dia rasa tidak sempurna pada dirinya ketika di-compare dengan standar sempurna," ujar Kisty.

Kisty mengatakan bahwa orang yang melakukan oplas selain untuk alasan kesehatan punya ekspektasi agar bisa diterima lebih baik oleh orang lain atau lingkungannya. Menurutnya, jika ekspektasi tersebut terlalu tinggi, maka akan menimbulkan kekecewaan dan perlu diwaspadai.

Adapun terkait orang yang melakukan oplas berkali-kali, Kisty melihat adanya luka psikologis. "Ketika tujuan dia operasi plastik adalah pengakuan dari orang lain atau sebagainya, hal ini bisa jadi hal gak sehat, jadi kalau dia gak dapetin hal tersebut, dia kecewa lebih besar lagi pada akhirnya," ujarnya.

Ia pun mengingatkan bahwa oplas estetik adalah pilihan individu. Namun, mereka juga harus punya kesadaran penuh dan ekspektasi yang sewajarnya. 

"Pada akhirnya ketidaksempurnaan itu adalah hal paling mutlak yang dimiliki siapa pun. Ketika kepuasan tersebut tidak kunjung kita temukan, misal dengan segala operasi yang kita lakuin masih gak cukup, terus kita masih ngerasa gak cantik, mungkin kita harusnya lebih lihat lagi ke diri kita, ada gak sih sebenarnya luka psikologis tertentu yang membuat kita tidak pernah merasa cukup?" papar Kisty.

"Karena ketika gak dimulai dari dalam, dan gak embrace apa yang kita miliki, akan sangat sulit untuk kita merasa cukup. Makanya ada orang yang pengen oplas lagi, udah oplas lagi, masih kurang, terus seperti itu. Padahal orang lain udah bilang, 'Kamu udah cantik banget. Kurang apa lagi?' Itu pertanyaannya. Apa yang terjadi sebenarnya sehingga dia tidak pernah merasa cukup sebagai pribadi?" lanjutnya.

Oplas tak cuman bikin cantik, kenali juga risikonya

Menurut dr. Santi, dengan kemajuan ilmu kedokteran dan kecanggihan teknologi medis, oplas bukan lagi hal yang menakutkan. Meski begitu, setiap tindakan operasi dan tindakan bedah plastik selalu menyimpan risiko yang harus dipertimbangkan. Sebab, oplas yang sembrono dan asal-asalan justru dapat memicu efek samping yang cukup parah (disharmoni).

Biasanya efek samping usai operasi plastik di bagian wajah akan mengalami memar, nyeri, kulit memerah, dan mengeluarkan cairan. “Risiko yang ringan akan dengan sendirinya membaik, seiring dengan berlangsungnya proses penyembuhan,” kata dr. Santi.

Sementara itu, risiko oplas paling parah adalah ketidaksesuaian hasil operasi dengan keinginan pasien yang dapat berdampak pada kejiwaan pasien itu sendiri.

"Misalnya saja operasi plastik pada bagian hidung ingin lebih mancung, tapi hasilnya justru kadang tidak simetris, dan ini justru menjadi sangat buruk,” ujarnya.

Maka dari itu, harus ada konsultasi terlebih dahulu dan kesepakatan kesepahaman antara pasien dan dokter di awal sebelum tindakan operasi.

“Setelah melakukan konsultasi, jika hasilnya berisiko kepada pasien, maka akan diberikan saran tindakan operasi ditunda terlebih dahulu, dilanjutkan setelah pasien benar-benar kondisinya sesuai dengan prosedur operasi yang ada,” lanjut dr. Santi.

Oleh karena itu, tindakan operasi pada bagian wajah memerlukan pertimbangan yang cukup matang. Terlebih, pasien harus mempersiapkan mental dan siap menghadapi risiko pascaoperasi.

Rekomendasi