ERA.id - Jauh sebelum Syekh Ali Jaber ditusuk seorang lelaki saat membawa ceramah, seorang kiai dari Nahdlatul Ulama pernah mendapat ancaman serupa. Bukan ditusuk, melainkan dihantam linggis.
Nama kiai itu, KH Ali Maksum. Ia adalah pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta. Orang-orang karib menyebutnya, KH Ali Maksum Krapyak. Saat itu, sewaktu ia berceramah pada sebuah acara peringatan haul, entah tahun berapa, di tengah ceramahnya, tiba-tiba ia dipukul pakai linggis.
Pemukulnya itu seorang pemuda, yang lebih dulu naik ke panggung membawa sesuatu yang dibungkus kain surban berwarna putih yang isinya linggis. Melihat kiai Ali, ia langsung memukul linggis itu secara serampangan dan penuh emosi. Kurang jelas, apa motifnya.
Hasilnya? Kiai Ali jatuh tersungkur dan terluka parah. Bahkan, Ketika itu, kiai Ali yang pernah menjadi Rais ‘Aam PBNU itu, mesti opname hampir dua bulan karena luka parah.
Meski begitu, hebatnya, kiai Ali tidak menyuruh santrinya untuk membenci pelaku penyerang yang menghantamkan linggis kepadanya. Di hadapan santrinya, KH Abdul Karim, kiai Ali berpesan.
"Semua anakku dan para santriku, tidak boleh dendam dan benci,” kenang kiai yang akrab disapa Gus Karim itu, menirukan ucapan dari sang guru, dikutip dari laman Nahdlatul Ulama.
Kekuatan yang diperlihatkan kiai Ali Maksum, bukanlah kekuatan kebal menerima pukulan linggis, melainkan kekuatan meredam amarah dan kebencian kepada.
Teladan sikap memaafkan KH Ali Maksum ini pula, barangkali yang kemudian ikut mengalir dan mengilhami kepada para santrinya, yang termasuk di antaranya yakni KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).