ERA.id - Lebih dari 4.400 orang telah ditahan aparat keamanan Myanmar semenjak operasi kudeta 1 Februari, menurut kelompok advokasi di negara tersebut. Banyak dari mereka disiksa secara brutal, bahkan meregang nyawa hingga tewas di kamp tahanan.
Penangkapan, penggerebekan pada tengah malam, menjadi salah satu bagian operasi berdarah dan sistematis dari aparat Myanmar untuk membungkam aksi protes terhadap kudeta militer.
Berdasarkan catatan kelompok advokasi Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), penangkapan telah menyasar politisi, demonstran, jurnalis, buruh yang melakukan aksi mogok, selebritas, dan bahkan anak-anak serta saksi aksi kekejaman aparat di jalanan.
Banyak orang dicokok polisi di rumah mereka atau di pinggir jalan, lalu ditahan di lokasi rahasia. Tak diketahui bagaimana kondisi pasti para tahanan di tempat-tempat tersebut.
Namun, cerita dari eks tahanan, serta aparat militer dan kepolisian yang membelot, menjadi kesaksian bagaimana brutalnya dan menyiksanya pihak aparat terhadap para tahanan.
'Kukira Aku Bakal Mati'
Dilansir dari CNN, (28/4/2021), seorang remaja 19 tahun, yang tak ingin identitasnya diungkap, mengaku baru beberapa pekan lalu dibebaskan dari tahanan. Tubuhnya kini dalam kondisi penuh luka.
"Kelopak mata remaja 19 tahun itu begitu bengkak hingga tak mampu terbuka dengan baik," sebut CNN dalam laporannya.
"Wajahnya dipenuhi luka yang membiru. Punggungnya dan bahunya bopeng oleh bekas sabetan yang belum sembuh benar. Luka itu, kata sang remaja, ia dapat ketika aparat militer Myanmar yang menahannya menyabetnya berulang kali dengan seutas kabel tebal."
"Kukira aku bakal mati," sebut remaja tersebut mengenai pengalamannya berada tiga hari di kamp tahanan militer, dikutip CNN,
Remaja tersebut mengaku ditangkap di kota Yangon pada 9 April, malam hari. Ia dihentikan di sebuah pos militer, dan tas serta ponselnya digeledah. Di situlah para tentara menemukan fotonya menenteng perisai bersama pengunjuk rasa lainnya.
Malam itu, kata si remaja, ia dibawa ke dalam kompleks militer dalam kondisi kedua tangan diikat. Di situ juga ia mendapat banyak sabetan, dipukul dengan popor senjata hingga botol kaca.
Penuturan remaja tersebut berlanjut demikian, dikutip dari CNN:
"Si komandan mengikat tanganku di belakang dan menggunakan gunting kecil untuk memotong kedua telinga, ujung hidung, leher, dan area tenggorokanku. Dia memukul kepalaku dengan gelas kaca, memukuliku, menodongkan senjata padaku," kata dia.
Ia mengetahui bahwa tentara itu menuduh dirinya telah memberi uang ke penggagas gerakan pembangkangan sipil, yaitu gerakan yang diikuti dokter, buruh, dan ASN untuk melumpuhkan ekonomi Myanmar yang kini diambil alih pemerintahannya oleh Jenderal senior Min Aung Hlaing.
Teror oleh Militer
Tiga pekan sejak dibebaskan, remaja itu masih bersembunyi, sebut CNN. Lukanya perlahan-lahan sembuh, namun, ia mengaku masih kesulitan menggerakkan jarinya untuk menutup kancing baju.
Ditanyai apa yang membuatnya terus bertahan ketika dianiaya aparat, remaja tersebut mengaku sempat pasrah bakal mati di tangan aparat. Ia bahkan sempat meminta "lebih baik bunuh saya, daripada menyiksa seperti ini."
"Saya tak kuat makan, tapi saya memaksa memakan apapun yang mereka berikan agar saya tetap hidup. Kami harus bebas, dan saat kami dibebaskan, kami akan kembali ikut berdemonstrasi," sebut remaja 19 tahun itu.
Remaja tersebut akhirnya bisa dibebaskan. Namun, ada lebih dari 750 warga Myanmar yang tak seberuntung dirinya, yang kehilangan nyawa akibat tindakan represif aparat, sebut organisasi AAPP. Kebanyakan dari para korban itu terbunuh saat berdemonstrasi atau saat dalam tahanan.
"Tim kami telah mendokumentasikan kasus penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, dan pemukulan sejak peristiwa 1 Februari," sebut Zaw Win, pakar HAM dari grup Fortify Rights.
"Taktik militer dalam menangkap dan menganiaya menciptakan suasana teror dan kegelisahan di masyarakat. Namun, para pengunjuk rasa akan tetap turun ke jalan untuk mendesak berakhirnya rezim militer."
CNN menyatakan belum bisa mendapat konfirmasi dari pihak junta militer Myanmar.
Di media nasional pemerintah Myanmar, pihak militer selama ini menyatakan bersikap hati-hati dalam menangani demonstrasi, yang mereka sebut didalangi oleh "pengunjuk rasa liar" yang mereka tuduh telah menyerang polisi dan membahayakan keamanan negara.