ERA.id - Di awal tahun 2017, negara menghadapi satu kasus yang problematis, yaitu Fidelis Ari Suderwato di Kalimantan Barat menanam ganja untuk keperluan pengobatan istrinya. Selama menggunakan ganja, sang istri mampu bertahan dari terpaan penyakit Syringomyelia—kanker sumsum tulang belakang—yang dideritannya.
Akan tetapi, negara punya alasan untuk memenjerakan Fidelis bahwa ganja di negeri ini masih dalam kategori Narkotika. Artinya, dilarang keras menanam, mengedar, menjual, dan memakai. Apa pun alasannya, bahkan sekalipun demi keselamatan satu nyawa, ganja tetap terlarang.
Fidelis ditangkap atas perbuatannya menanam ganja. Satu bulan di penjara, sang istri meninggal dunia karena tak dapat pengobatan (ganja) darinya. Pada tahun itu, media sosial disesakkan atas pemberitaan mereka. Suami dipenjara, istri meninggal, dan sang anak hidup tanpa kedua orang tuanya. Siapa yang tega melihat peristiwa itu? Mungkin satu yang mampu melihatnya, yakni negara.
Yayasan Sativa Nusantara dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) merilis satu video dokumenter yang juga tak kalah sentimental, yang diberi judul Musa, terunggah pada 24 Maret 2022 di kanal YouTube LGN ID TV.
Musa adalah bocah kecil yang mengidap penyakit Cerebral Palsy. Setiap hari Musa akan kejang-kejang sekitar 4—5 kali. Ibunya bernama Dwi Pertiwi pernah membawanya ke Australia untuk pengobatan menggunakan ganja. Menurutnya, Musa tak kejang lagi selama pengobatan itu.
“Aku lihat ekstrak [ganja] itu bantu banget di Musa. Bayangkan satu tahun setengah lebih dia tak kejang. Itu progresif paling bagus saat itu,” ujar Dwi.
Dari perubahan yang dirasakan anaknya, Dwi mengajak beberapa orang tua yang memiliki anak pengidap penyakit Cerebral Palsy, yakni Santi Wirastuti dan Nafiah Murhayanti.
Dwi, Santi, dan Nafiah menjadi pemohon utama dalam pengajuan uji materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka didampingi beberapa kuasa hukum.
Perjuangan dari para sang ibu untuk anaknya adalah perjuangan tak kenal lelah. Mereka hanya meminta agar ganja bisa digunakan untuk pengobatan, bukan yang lain. Toh, yang mengajukan bukanlah kartel narkoba atau pencandu Narkotika, melainkan tiga seorang ibu yang berjuang untuk kesembuhan anaknya.
Saat proses persidangan di MK berlangsung, di akhir 2020, Musa meninggal dunia. Dan hingga kini, ganja masih terlarang. Namun, perjuangan untuk melegalkan ganja demi kesehatan tidak berhenti di ruang sidang MK, Santi Wirastuti bersama anaknya yang duduk di kursi roda turun ke jalan, membawa poster bertuliskan “TOLONG, ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS”.
Perjuangan dan pesan dari Santi tersebut diunggah penyanyi Andien di akun Twitter pribadinya pada 26 Juni 2022. Warganet tidak tinggal diam. Mereka menggunakan fitur bagikan yang tersedia sebagai bukti dukungan bahwa ganja juga punya manfaat kesehatan—tidak sekadar fly.
Perihal dukung-mendukung ganja ini tidak hanya di kalangan masyarakat biasa atau yang membutuhkannya, tetapi juga pejabat Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar dan Guru besar di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Musri Musman.
Juga Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, intelektual muslim Indonesia, yang menulis pengantar buku Hikayat Pohon Ganja: 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia (2011) yang diberi judul “Tiada Ciptaan Tuhan yang Sia-Sia”.
Menurut Komaruddin bahwa sebagai orang beriman saya memiliki keyakinan dan pandangan positif, apa pun yang ada di muka bumi ini adalah ciptaan Allah dan Allah tidak mungkin menciptakan tanpa tujuan yang baik bagi manusia, mengingat manusia merupakan puncak kreasi-Nya.
“Salah satu tumbuhan yang ajaib adalah pohon ganja. Manfaat besar yang dianugerahkan Tuhan melalui tumbuhan ini seolah sirna begitu saja ketika segelintir manusia berusaha menafikannya dengan menggolongkan tumbuhan ini sebagai narkotika, atau bahkan lebih jauh lagi dengan memberi predikat ‘barang haram’. Persepsi negatif yang sudah tertanam demikian kuatnya pada masyarakat, hendaknya perlu kita luruskan bersama,” tambah penulis buku Masa Depan Agama ini.
Shabela Abubakar berkisah bahwa ketika ia kecil, orang tuanya mengonsumsi ganja untuk kesehatan. Misal, ibunya yang mengonsumsi ganja untuk pengobatan darah tinggi. Kemudian, bapak-bapak dulu memakai akar ganja untuk menambah tenaga atau stamina.
Ganja di Indonesia bukanlah tanaman asing yang dibawa oleh bangsa lain, dibawa oleh pelaut atau pedagang tempo dulu ke Nusantara.
Seperti pernyataan pendiri LGN, Dhira Narayana, yang aktif menyuarakan pelegalan tanaman ganja untuk kesehatan. Menurutnya, “Tanaman ini di Indonesia tanaman endemik. Jadi, tanaman yang emang ada. Enggak perlu susah payah kita budidaya dia sudah secara natural sudah cocok tumbuh di Indonesia. Artinya, tanaman itu punya kualitas dan kuantitas yang cukup baik. Potensinya besar.”
Sehingga, menjadi pertanyaan besar, mengapa Indonesia masih melarang ganja? Kalau memang berdampak negatif kepada pemakainya, mengapa orang tua dulu di Aceh mengonsumsi tanaman tersebut?
Sudah banyak negara di dunia yang melegalkan ganja diperuntukkan kesehatan. Baru-baru ini, Thailand menjadi negara Asia Tenggara pertama yang melegalkan tanaman ganja dengan dalil bahwa ganja punya efek positif terhadap pengobatan tubuh manusia. Warga Thailand sedang merayakan pelegalan itu.
Dampak dari pelegalan ganja adalah negara bisa meraih pundi-pundi rupiah. Jika selama ini ganja beredar secara ilegal dan negara tidak mendapatkan keuntungan dari penjualan tersebut, mungkin sudah saatnya untuk dibuka secara legal dan ceruk ekonomi pun terbuka untuk negara.
Mungkin secara ilmiah dan medis bahwa ganja belum ada tanda-tanda mampu mengatasi satu penyakit. Mengapa demikian? Sebab, peneliti belum dikasih kesempatan untuk meneliti dalam khasiat dari tanaman ganja ini karena terbentur oleh dinding Undang-Undang Narkotika.
Maka dari itu, para aktivis ganja dan orang tua seperi Dwi, Santi, dan Nafiah punya dorongan untuk berjuang ke MK agar undang-undang tersebut ditinjau kembali. Toh, undang-undang berfungsi untuk melindungi warganya. Bila undang-undang sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya, alasan apa yang menguatkan bahwa undang-undang tersebut harus dipertahankan?
Menukil paragraf terakhir Komaruddin dalam pengantarnya, bahwa “... tak ada ciptaan yang sia-sia, melainkan manusia yang karena tidak mengerti atau sombong membuatnya tidak mampu melihat keindahan dan manfaatnya untuk kebaikan manusia sendiri, termasuk terhadap pohon ganja.”