Patri Handoyo, penulis buku “Menggugat Perang Terhadap Narkoba”, bilang penelitian mutakhir ganja sudah dilakukan oleh Thailand dan Malaysia. Menurut Patri, penelitian ganja antara lain diarahkan untuk pengobatan penyakit kanker dan diabetes.
Menurutnya, Indonesia berpeluang besar melakukan penelitian ganja jika didukung dengan kebijakan negara. Padahal, ganja masuk dalam jenis narkotika golongan 1 seperti diatur Undang-undang Narkotika dan Psikotropika. Upaya mendorong ganja agar bisa diteliti telah dilakukan elemen masyarakat, di antarnya lewat judicial review terhadap pasal tentang ganja ke Mahkamah Konstitusi.
“Baru-baru ini judicial review pasal ganja untuk pengobatan sedang didaftarkan ke MK oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR),” kata Patri, dalam diskusi “Saatnya Negara Kelola Narkoba” di Bandung, baru-baru ini.
Pegiat komunitas Rumah Cemara tersebut membeberkan best practice legalisasi ganja di sejumlah negara, seperti Portugal. Bahkan Portugal tidak hanya melegalkan ganja, tetapi juga jenis napza lainnya.
Diskusi “Saatnya Negara Kelola Narkoba” (Iman Herdiana/era.id)
Tapi Portugal tetap mengawasi peredaran napza dengan ketat. Portugal membuat regulasi tentang berat atau ukuran narkoba yang boleh dibawa konsumen, yakni hanya 1 gram heroin, 1 gram sabu-sabu (methamphetmine), dan 25 gram ganja kering yang boleh dibawa-bawa.
“Seseorang membawa narkoba dengan jumlah sesuai aturan tersebut, tidak akan ditangkap,” katanya.
Portugal juga menyiapkan layanan kesehatan untuk merujuk konsumen heroin agar mendapat layanan jarum suntik steril. Ini dilakukan untuk mencegah penularan HIV lewat jarum suntik dan over dosis.
Patri pun menegaskan, legalisasi ganja bukan berarti liberalisasi di mana semua orang bebas berdagang dan mengiklankan seperti menjual minuman atau rokok. Negaralah yang mengatur tata kelolanya dengan menghilangkan motif ekonomi atau profit.
Ia mengacu pada tata kelola Metadon sebagai narkoba substitusi untuk terapi pecandu narkoba di Indonesia.
“Metadon kan tak ada iklannya, tapi ada orang yang bisa mengaksesnya. Jadi motif profitnya harus dihilangkan. Harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” terangnya.
Ia mengklaim legalisasi ganja diyakini tidak akan menimbulkan gejolak negatif di masyarakat. Sebagai contoh, bir atau rokok yang diperjualbelikan secara legal. Tapi tidak membuat orang lantas mengkonsumsi bir dan rokok besar-besaran. “Begitu juga dengan ganja, jika dilegalkan tidak akan semua orang ngeganja. Ini yang harus diatur negara,” katanya.
Narasumber diskusi lainnya, Aditia Taslim yang juga Direktur Rumah Cemara menambahkan negara lain yang menerapkan kebijakan legalisasi ganja adalah Belanda. Dengan kebijakan ini, tidak berarti orang Belanda bisa merokok ganja di mana saja.
“Itu semua diatur negara. Hanya tempat-tempat khusus yang diizinkan memperdagangkan ganja. Dan untuk mendapat izinnya pun sangat susah. Jadi bukan karena negara melegalkan tiba-tiba orang mudah menggunakannya di mana-mana. Tidak seperti itu,” terang Aditia.
Alasan Ganja Perlu Dilegalkan
Patri mengungkapkan, menurut data BNN, ganja merupakan jenis narkoba yang paling diminati, yakni sekitar 1,9 juta konsumen, di urutan kedua adalah konsumen sabu 800.000 orang, dan pengguna heroin yang jumlahnya tidak sampai 50.000 orang.
Stigma terhadap ganja juga tidak seburuk terhadap narkoba jenis lain seperti sabu dan napza jenis suntik lain. Begitu juga efeknya terhadap tubuh dinilai tak sebesar sabu atau narkoba lainnya. Menurut Patri, orang yang putus dari ganja tidak mengalami sakaw.
Di sisi lain, selama ini peredaran napza ilegal dikendalikan pasar gelap. Mereka mengeruk keuntungan secara ilegal dari jutaan konsumen napza. Dalam bukunya, “Menggugat Perang terhadap Narkoba” (Sva Tantra, 2018), Patri bilang jumlah konsumen narkoba terus meningkat. Pada 2008, biaya konsumsi narkoba di Indonesia mencapai Rp15,37 triliun, pada 2014 naik menjadi Rp42,94 triliun.
“Tahun ini Rp69 triliun omzet penjualan narkoba di pasar gelap,” kata Patri.
Sementara kebijakan negara terhadap masalah narkoba sejak 50 tahun terakhir lebih mengedepankan perang atau pemidanaan. Sasaran yang lebih banyak terkena kebijakan perang terhadap narkoba ialah konsumen, padahal seharusnya bandar atau pengedar. Konsumen merupakan korban dari peredaran napza yang dikendalikan pasar gelap.
Pendekatan pidana terhadap masalah narkoba menimbulkan lonjakan jumlah penghuni penjara. Masalah ini jelas membebani negara karena operasional penjara harus dibiayai. Maka Patri dan kawan-kawannya yang konsen pas isu narkoba, mendorong negara mengambil alih tata kelola narkoba yang selama ini dikuasi penjahat di pasar gelap.
Salah satu langkah yang paling berpeluang dalam jangka pendek ini ialah melegalkan ganja untuk penelitian medis. Target lainnya ialah mendorong para pengguna napza untuk direhabilitasi, bukan dipenjarakan.