Kegagalan Nasdem Manfaatkan Popularitas Jokowi

| 19 Jul 2018 20:13
Kegagalan Nasdem Manfaatkan Popularitas Jokowi
Presiden Jokowi dan Ketum Nasdem Surya Paloh (Foto: Setkab)
Jakarta, era.id - Partai Nasdem jadi salah satu partai yang sudah dulu mendeklarasikan dukungannya kepada Joko Widodo di banding PDIP. Di berbagai baliho dan spanduk Nasdem, mereka rutin 'menjual' sosok Jokowi. Efektifkah strategi itu?

Mari kita melihat hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang digelar sejak 19 April-5 Mei 2018 dengan melibatkan 2.100 responden.  Margin of error (MoE) survei sebesar +/- 2,14 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Survei ini jadi alat kita untuk menganalisa.

Hasilnya, elektabilitas PDI Perjuangan berada di posisi pertama, diikuti Golkar dan Gerindra. Sedangkan elektabilitas Partai Nasdem berada di urutan 10 dari 15 partai yang disurvei. Biar kamu ada gambaran, seperti ini hasil surveinya.

1. PDI Perjuangan 24,1 persen

2. Golkar 10,2 persen

3. Partai Gerindra 9,1 persen

4. PKB 6 persen

5. PPP 4,9 persen

6. Partai Demokrat 4,4 persen

7. PKS 3,7 persen

8. Perindo 2,6 persen

9. PAN 2,3 persen

10. NasDem 2,1 persen

11. Hanura 1,2 persen

12. PBB 0,7 persen

13. Partai Garuda 0,2 persen

14. PSI 0,2 persen

15. Partai Berkarya 0,2 persen

Ada apa dengan Nasdem? Menurut pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin, upaya Partai NasDem meningkatkan elektabilitas dengan menjual Jokowi tak berpengaruh apa-apa. Tetapi tetap saja PDIP sebagai 'partai pemilik' Jokowi yang paling terkena imbas positifnya.

"Tidak ada yang salah dengan strategi NasDem yang terdepan dan selalu mengkampanyekan Jokowi. Memang tidak ada yang menikmati elektoral Jokowi selain PDIP. PDIP lah yg menikmati elekoral dari Jokowi. Nasdem tidak," jelas Ujang kepada era.id, di Jakarta, Kamis (19/7/2018).

Menurut Ujang, satu-satunya partai yang mendapatkan dampak elektoral dari Jokowi adalah PDIP. Partai itu sudah identik dengan Jokowi. 

"PDIP selaras dengan Jokowi yang mengklaim diri partai wong cilik. Di mana Jokowi juga sering blusukan mendekati wong cilik. Sedangkan Nasdem masih terlihat elitis dan tidak identik dengan Jokowi," tuturnya.

"Jokowi sudah terlanjur identik dengan PDIP. Jadi ruang Nasdem untuk mengidentifikasi diri dengan Jokowi menjadi sulit. Maka yang terjadi tidak ada linearitas antara kampanye Nasdem untuk Jokowi, terhadap elektabilitas Nasdem," sambungnya.

Ujang menilai, NasDem menyadari hal tersebut maka langkahnya membeli caleg dari partai politik lain menjadi alternatif untuk meningkatkan elektabilitasnya guna mempertahankan 2019 NasDem tetap ada di Parlemen.

"Memang salah satu cara yang efektif untuk menaikan elektabilitas Nasdem adalah dengan cara merekrut artis sebagai Caleg. Bisa dibilang begitu dan itu wajar. Karena Nasdem harus lolos lagi ke Senayan," jelasnya.

Menurut Ujang, bajak-membajak dalam politik itu biasa, maka tak heran jika jelang Pileg banyak artis yang memutuskan pindah. "Yang dibajak (artis) dan yang membajak (partai) sama-sama untung.

"Itu semua karena proses kaderisasi di partai politik tidak berjalan dengan baik. Dan juga pesta demokrasi di Indonesia, seperti Pilkada, Pileg, dan Pilpres berbiaya mahal, maka yang dibutuhkan partai adalah figur yang populer dan banyak uang," tutupnya.

Tags : pemilu 2019
Rekomendasi